05 Jaka Lola

"Wah, celaka! Aku masuk perangkap musuh! He, orang she Bun, kalau memang kau dan ayahmu orang-orang gagah, kalau memang mau membela Pendekar Buta, hayo lepaskan aku, kembalikan pedangku dan kita bertempur secara orang-orang gagah. Mengapa menggunakan akal curang untuk menahanku di sini?"

"Wah, harap Nona bersabar dan jangan salah sangka. Maksudku hanya untuk menolongmu keluar dari kesulitan, Nona. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan siapapun juga, sungguhpun sedih hatiku melihat kau memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san. Maksudku, kalau saja besok kau suka berkata kepada ayah bahwa kau membatalkan niatmu memusuhi Pendekar Buta di Liong-thouw-san, tentu kau akan mudah dibebaskan. Setelah bebas, terserah kepadamu. Ini hanya untuk menolongmu, Nona...."

"Ihhh, apa maksudmu dengan pertolonganmu ini? Hayo bilang, orang she Bun, jangan bersembunyi di balik kata-kata manis. Kenapa kau begini ngotot hendak menolongku?"

Wajah pemuda itu merah seluruhnya. Sukar sekali menjawab pertanyaan yang merupakan penyerangan tiba-tiba ini. "Kenapa? Ah...... kenapa, ya? Aku sendiri tidak tahu pasti, Nona...... hanya agaknya..... aku tidak suka melihat kau mendapatkan kesukaran. Aku kagum kepadamu, Nona..... aku..... aku ingin menjadi sahabatmu. Nah, itulah! Aku ingin menjadi sahabat baikmu karena aku kagum dan suka padamu."

Kini Siu Bi yang tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya. Celaka, pikirnya. Pemuda ini benar-benar tak tahu malu, terang-terangan bilang suka dan kagum dan ingin menjadi sahabat baik! Sekarang dia yang kebingungan dan tidak segera dapat membuka mulut.

"Sejak aku melihat kau menolong petani-petani miskin, dengan gagah kau melawan tukang-tukang pukul jahat di Pau-ling itu, aku amat kagum dan tertarik kepadamu, Nona. Aku tahu, juga ayah tentu yakin bahwa dalam urusan ini kau tidak bersalah malah kau berjasa bagi perikemanusiaan, bagi kebenaran dan keadilan, kau menolong yang tergencet, menghajar yang menindas.

Akan tetapi, hukum tetap hukum yang harus dilaksanakan dengan tertib. Kalau ayah mengambil keputusan begitu saja tanpa mengadili terus membenarkan kau, apakah akan kata orang? Terhadap urusan di Pau-ling itu, aku tidak khawatir sama sekali. Akan tetapi urusan kedua ini.... ah, kau tidak tahu, Nona. Ayah pasti akan mencegah maksud hatimu itu, bukan hanya karena menjadi sahabat baik, melainkan masih ada ikatan keluarga. Ketahuilah bahwa isteri Pendekar Buta adalah enci angkat dari ibuku. Nah, kau tahu betapa tidak bijaksananya kau mengaku akan hal itu di depan ayah!"

"Ah, begitukah? Jadi kau masih keponakan isteri musuh besarku? Wah, celaka, aku terjebak. Tentu kau mengajakku ke sini untuk menipuku..... ah, mengapa aku begitu bodoh?"

"Nona, harap jangan bicara begitu. Urusan itu baru kami ketahui setelah kau berada di sini dan mengaku di depan ayah. Aku..... aku tidak memandang kau sebagai musuh, sebaliknya dari itu. Aku bersedia menolongmu, Nona. Aku akan membujuk ayah untuk membebaskanmu, asal saja kau suka berjanji kepada ayah bahwa kau takkan memusuhi Pendekar Buta....."

"Aku mau memusuhi siapapun juga, apa pedulinya dengan kau?"

"Nona....." suara Bun Hui penuh penyesalan, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua yang cantik telah berdiri di sebelah Bun Hui.

"Ibu...... kau di sini.....?" Bun Hui bertanya gagap."

"Hui-ji (anak Hui), aku mendengar dari ayahmu bahwa seorang gadis yang liar mengancam hendak menyerbu Liong-thouw-san dan membuntungi lengan Kun Hong dan enci Hui Kauw? Mana dia? Apakah ini?" telunjuk yang runcing menuding ke arah Siu Bi yang memandang dengan bengong. Wanita itu luar biasa cantiknya, suaranya nyaring, matanya bersinar-sinar, pakaiannya amat indah namun tidak mengurangi gerakannya yang gesit tanda bahwa nyonya ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Siu Bi kagum. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya sendiri. Ibunya wanita lemah.

"Betul, Ibu. Aku..... aku sedang membujuknya supaya maksud hatinya itu tidak dilanjutkan," kata Bun Hui sambil menundukkan muka, khawatir kalau-kalau ibunya akan dapat membaca isi hatinya.

Wanita itu adalah Giam Hui Siang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita ini adalah puteri dari Ching-toanio, ilmu kepandaiannya tinggi dan di waktu mudanya ia sendiri merupakan seorang gadis yang selain cantik dan lihai, juga amat ganas, malah pernah bentrok dengan cici angkatnya dan Kwa Kun Hong (baca Pendekar Buta). Kini ia melangkah maju dan, memandang Siu Bi penuh perhatian.

"Kau anak siapa? Kenapa hendak memusuhi Pendekar Buta dan isterinya?" la bertanya memandang tajam.

Ditanya tentang orang tuanya, hati Siu Bi menjadi panas dan jengkel. la bukan anak The Sun yang semenjak kecil ia anggap seperti ayah sendiri. Semenjak rahasia bahwa ia bukan anak The Sun ia ketahui dari ucapan Hek Lojin dan ia tidak mau mengaku The Sun sebagai ayahnya lagi. la sendiri tidak tahu siapakah orang tuanya, atau lebih tepat lagi, siapa ayahnya. la tidak pernah meragu bahwa ia bukan anak ibunya. Mudah saja diketahui akan hal ini. Wajahnya serupa benar dengan wajah ibunya. Akan tetapi ayahnya? la tidak tahu! Karena pertanyaan itu membuatnya mendongkol, ia menjawab seenaknya.

"Sudah kukatakan bahwa orang tuaku tak perlu disebut-sebut di sini. Aku memusuhi Pendekar Buta karena aku benci kepadanya, karena ia memang musuhku. Habis perkara ."

Giam Hui Siang tercengang mendengar jawaban dan melihat sifat berandalan ini. Teringat ia akan masa mudanya. Dia dahulu juga seperti nona ini, penuh keberanian, penuh kepercayaan akan kepandaian sendiri. Apakah nona ini selihal dia? Mungkinkah dapat mengalahkan Pendekar Buta dan cicinya yang amat lihai itu? Diam-diam ia mengharapkan akan ada orang yang dapat mengalahkan Pendekar Buta, kalau perlu dapat membuntungi lengannya dan lengan Hui Kauw!

Diam-diam nyonya ini masih merasa mendendam dan benci kepada Pendekar Buta dan isterinya. Hal ini ada sebabnya. Pertama karena ketika ia masih muda, dua orang itu pernah menjadi musuhnya. Kedua kalinya, karena suaminya, Bun Wan, menjadi buta sebelah matanya karena Pendekar Buta pula. Sungguhpun suaminya itu membutakan sebelah mata sendiri karena malu dan menyesal atas perbuatannya sendiri yang menyangka buruk kepada Pendekar Buta, namun secara tidak langsung, suaminya buta karena Pendekar Buta (baca cerita Pendekar Buta)! Inilah sebabnya terselip rasa dendam di sudut hati kecil nyonya ini. Akan tetapi, dara remaja yang masih setengah kanak-kanak ini, mana mungkin dapat melawan Kun Hong?

"Lihat senjata!" tiba-tiba Giam Hui Siang berseru nyaring, tangannya bergerak dan sinar hijau menyambar ke arah Siu Bi, melalui sela-sela jeruji baja. Itulah belasan batang jarum Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau), senjata rahasia maut dari Ching-coa-to yang amat ditakuti lawan karena selain halus dan amat cepat menyambarnya, juga racunnya amat ampuh. Lebih hebat lagi, serangan ini masih ia susul dengan pukulan jarak jauh oleh sepasang lengannya yang didorongkan ke depan!

"Ibu.....!" Bun Hui terkejut bukan main, namun tidak sempat mencegah karena gerakan ibunya itu sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya. la maklum akan kehebatan serangan ibunya ini, maka dengan muka pucat ia memandang kepada Siu Bi.

Siu Bi juga terkejut menghadapi Serangan mendadak itu. Akan tetapi karena sejak tadi ia sudah mengambil sikap bermusuhan, tentu saja ia waspada dan tidak kehilangan akal. la mengerahkan Hek-in-kang dan menggerakkan kedua lengannya menyampok sambil mendoyongkan tubuh ke kiri, kemudian ia susul dengan dorongan ke muka yang mengandung tenaga Hek-in-kang yang amat kuat.

Giam Hui Siang dan Bun Hui hanya melihat uap menghitam bergulung dari kedua lengan Siu Bi dan di lain saat tubuh Hui Siang sudah terhuyung-huyung ke belakang. Hampir saja nyonya ini roboh terjengkang kalau saja ia tidak lekas-lekas melompat dan berjungkir balik. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi mulutnya tersenyum.

"Hebat.....! Kau cukup lihai untuk menghadapi dia! Hui-ji, hayo kita pulang."

Bun Hui menghadapi Siu Bi, suaranya terdengar sedih, "Nona, harap Kau suka maafkan ibuku yang sebetulnya hanya hendak mencoba kepandaianmu."

"Hemmm.....!" Siu Bi mendengus, masih belum hilang kagetnya. Nyonya itu benar-benar ganas dan galak, juga lihai sekali. Jarum-jarum yang lewat di dekat tubuhnya tadi mengandung hawa panas yang luar biasa, juga pukulan jarak jauh tadi amat kuat. Baiknya ia memiliki Hek-in-kang, kalau tidak, tentu ia akan menjadi korban jarum atau pukulan sin-kang.

Setelah ibu dan anak itu pergi, Siu Bi kembali duduk di atas pembaringan di sudut, berusaha untuk istirahat mengumpulkan tenaga. la dapat duduk tenang, kemudian menjelang tengah malam yang sunyi, tiba-tiba ia berjungkir balik, kepala di bawah, kaki yang tetap bersila itu di atas, untuk melatih Iweekang menurut ajaran Hek Lojin.

Belum ada setengah jam ia berlatih, terdengar suara orang perlahan,

"Selagi kesempatan lari terbuka, mengapa membiarkan diri terkurung?"

Cepat sekali gerakan Siu Bi, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke dekat jeruji. Di luar jeruji berdiri seorang laki-laki yang mengeluarkan seruan kagum akan gerakannya yang memang luar biasa tadi. Laki-laki ini berdiri tegak, bersedekap dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. Sukar menduga apa yang berada dalam pikiran laki-laki ini. Siu Bi memandang tajam, memperhatikan dan siap untuk memaki atau menyerang melalui sela-sela jeruji.

Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa laki-laki itu bukanlah seorang penjaga atau pengawal, pakaiannya serba putih sederhana, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus kain putih. Muka yang membayangkan ketenangan luar biasa dengan sepasang mata yang sayu, membayangkan kematangan jiwa dan penderitaan lahir batin. Orang ini bukan lain adalah Si Jaka Lola, Yo Wan.

Seperti kita ketahui, Yo Wan melihat bagaimana gadis yang luar biasa dan mengagumkan hatinya itu merobohkan para tukang pukul, kemudian ikut dengan pemuda yang memimpin barisan. la tidak turun tangan menolong karena ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, dan apa pula yang akan dilakukan oleh gadis itu untuk menolong diri sendiri. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu membiarkan dirinya ditahan.

Malam tadi dia diam-diam memasuki bagian belakang gedung ini dan ia sempat melihat betapa ibu pemuda itu menyerang dengan jarum hijau dan pukulan sinkang. la kaget sekali, akan tetapi kembali ia dibuat kagum oleh kepandaian Siu Bi. la tidak sempat mendengar percakapan mereka tentang niat Siu Bi membuntungi lengan Pendekar Buta, karena kedatangannya tepat pada saat Giam Hui Siang melakukan penyerangan tadi. la benar-benar merasa heran akan sikap tiga orang itu. Lebih-lebih lagi rasa herannya mengapa gadis ini membiarkan dirinya dijebloskan kamar tahanan, maka ketika menyaksikan sampai jauh malam betapa gadis itu tidak berusaha melarikan diri, melainkan berlatih Iweekang secara aneh, dia tidak dapat menahan keheranannya dan muncul sambil mengucapkan kata-kata tadi.

Mengapa ia terlambat muncul? Yo Wan tadi ketika berhasil memasuki gedung, diam-diam menculik seorang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya. la melompati tembok dan membawa lari penjaga itu ke luar kota, lalu memaksanya bercerita tentang gadis itu. Si penjaga ketakutan setengah mati karena ia tidak dapat melihat siapa penculiknya dan baru dilepaskan ketika berada di tempat yang gelap dan sunyi di luar kota, di bawah pohon yang besar. la hanya merasa tubuhnya tak mampu berkutik dan seakan-akan dibawa terbang. Saking takutnya, mengira bahwa ia diculik iblis tubuhnya menggigil dan tak berani ia membantah.

Dengan suara gemetar ia menceritakan betapa Bun-goanswe menahan gadis itu karena urusan ini akan diselidiki ke Pau-ling pada esok hari oleh Goanswe sendiri, dan besok baru akan diberi keputusannya. Juga ia menceritakan betapa gadis itu tidak membantah, malah menyerahkan pedangnya.

Demikianlah, dengan penuh keheranan Yo Wan lalu kembali ke dalam gedung setelah menotok penjaga itu dan meninggalkan di tempat sunyi. la tahu bahwa penjaga itu tak mungkin akan dapat melepaskan diri sebelum besok pagi. la tidak langsung mencari tempat gadis itu ditahan melainkan mencuri masuk secara diam-diam ke dalam kamar Bun-goanswe dan dengan kepandaiannya yang luar biasa ia berhasil mencuri pedang Siu Bi yang disimpan di dalam kamar itu! Setelah menyimpan pedang di balik jubahnya, baru ia mencari tempat tahanan di belakang dan tepat kedatangannya pada saat Hui Siang menyerang Siu Bi.

Siu Bi kini berdiri dekat jeruji. Mereka saling pandang dan gadis itu berdebar jantungnya karena merasa serem melihat laki-laki itu berdiri seperti patung di luar kamar tahanan.

"Kau siapa? Apa maksud ucapanmu tadi?" Akhirnya ia menegur, sambil menatap wajah yang tampan dan agak pucat, tubuhnya yang kurus sehingga tulang pundaknya tampak menjendul di balik bajunya yang sederhana.

"Maksud ucapanku tadi sudah jelas, Nona. Selagi ada kesempatan untuk lari, mengapa membiarkan dirimu terkurung di sini".

Siu Bi merasa heran. Apa kehendak orang ini dan siapa dia? Apa yang diucapkan orang ini memang menjadi suara hatinya. Memang ingin ia melarikan diri, tidak sudi ditahan seperti binatang buas. Akan tetapi bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ia tidak kuat membongkar daun pintu dan jeruji baja? Bahkan pedangnya pun ditahan, bagaimana ia suka pergi tanpa mendapatkan pedangnya kembali? Akan tetapi untuk menjawab seperti ini, tentu saja ia tidak sudi. Hal itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri, mengakui kebodohan dan kelemahannya. Maka ia menjawab dengan suara ketus,

"Kau peduli apa? Aku harus tunduk kepada hukum, aku bukan manusia liar yang tidak mengenal hukum."

Laki-laki muda itu tertawa, hanya sebentar saja. Akan tetapi dalam waktu beberapa detik itu, selagi tertawa, laki-laki itu dalam pandang mata Siu Bi kelihatan tampan dan lenyap semua kekeruhan pada mukanya. Akan tetapi hanya sebentar saja, senyum dan tawa itu melenyap, kembali wajah itu tampak suram muram.

"Hukum, kau bilang? Nona, aku lebih banyak mengalami hal-hal mengenai hukum. Semua pembesar bicara tentang hukum, bersembunyi di belakang hukum, dan tahukah kau apa arti hukum sebenarnya? Hukum hanya menjadi alat penyelamat mereka belaka, bahkan alat penindas mereka yang lebih lemah! Hukum dapat mereka putar balik, dapat ditekuk-tekuk ke arah yang menguntungkan dan memenangkan mereka. Kau akan kecewa kalau kau mempercayakan keselamatanmu kepada hukum, Nona. Karena itu, pokok terpenting, kau tidak bersalah dalam suatu persoalan. Perbuatanmu membela para petani miskin yang tertindas itu adalah perbuatan orang gagah, sama sekali tidak seharusnya dihukum atau ditahan."

Di dalam hatinya, Siu Bi setuju seribu persen. Akan tetapi bagaimana ia dapat menyatakan setuju kemudian menyatakan bahwa ia tidak mampu keluar?

"Eh, kau ini siapakah, berlagak pandai dan membelaku? Hemmm, lagaknya saja hendak menolong. Apa sih yang dapat kaulakukan untuk menolongku? Pula, aku pun tidak membutuhkan pertolonganmu, dan andaikata kau mau menolong, mengapa pula kau yang sama sekali tidak kukenal ini hendak menolongku? Apakah bukan maksudmu untuk mencari muka belaka?"

Yo Wan tersenyum kecut. la kagum menyaksikan sepak terjang gadis ini, juga senang menyaksikan ketabahan dan kelincahannya, akan tetapi watak gadis ini amat sombong. Yo Wan sudah mencapai tingkat tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu batin, berkat gemblengan selama sepuluh tahun di puncak Pegunungan Himalaya. Maka ia tidak menjadi marah oleh sikap kasar dan ketus dari gadis itu. Dengan tenang ia lalu mengeluarkan pedang Cui-beng-kiam dari balik jubahnya, menaruh pedang itu di atas lantai, kemudian ia menggunakan kedua tangannya memegang jeruji baja, mengerahkan sedikit sinkang dan..... jeruji-jeruji itu melengkung, membuka lubang yang cukup lebar untuk dilalui tubuh orang!

"Aku datang sekedar memenuhi kewajiban membantu yang benar, tak perlu bicara tentang pertolongan. Tentang kau mau ke luar atau tidak, adalah menjadi hakmu untuk menentukan, Nona. Pedangmu ini tadi kuambil dari kamar Bun-goanswe. Tidak baik seorang gagah berjauhan dari senjatanya. Selamat tinggal."

Siu Bi bengong terlongong. la berdiri seperti patung memandang bayangan laki-laki itu yang berjalan perlahan, meninggalkannya dan menghilang di dalam gelap. Setelah bayangan orang itu tidak tampak, baru ia sadar. Kerangkeng terbuka, pedangnya di situ, mau tunggu apa lagi? Cepat ia menyelinap ke luar di antara dua jeruji yang sudah melengkung, disambarnya pedang Cui-beng-kiam dan di lain saat ia sudah melompat ke atas genteng, memandang ke sana ke mari. Namun sunyi di atas gedung itu, tidak tampak bayangan laki-laki tadi.

Hatinya bimbang. Apakah ia akan pergi melarikan diri sekarang juga ke luar kota. Memang sesungguhnya lebih baik dan lebih aman begitu. Akan tetapi, setelah Jenderal Bun itu melakukan hal yang tak patut terhadapnya, mengurungnya dalam kerangkeng seperti binatang, kemudian nyonya jenderal itu tanpa sebab menyerangnya dengan jarum dan pukulan, masa ia harus pergi begitu saja seperti orang lari ketakutan? Tidak, tidak ada penghinaan yang tidak dibalas. Sebelum ia pergi meninggalkan kelihaiannya dan memberi sedikit hajaran kepada Jenderal Bun dan isterinya yang galak. Tentu saja Bun Hui tidak termasuk dalam daftarnya untuk diberi hukuman karena pemuda itu bersikap baik sekali kepadanya.

Pikiran ini mendorong Siu Bi membatalkan niatnya untuk melarikan diri. la lalu bergerak-gerak seperti seekor kucing ringannya, meloncati genteng di atas gedung itu menuju ke bangunan besar, kemudian ia mengintai untuk mencari di mana adanya kamar Jenderal Bun dan isterinya, mendekam dan mendengarkan. la mendengar suara Jenderal Bun dan isterinya.

"Masa tengah malam begini hendak pergi? Urusan bagaimana pentingnya pun, kan dapat diurus besok pagi?" terdengar suara nyonya Jenderal Bun, suara yang merdu dan halus.

"Harus sekarang kuselesaikan. Selain menyelidiki ke Pau-ling, aku juga harus cepat menyuruh seorang pengawal yang tangkas untuk mengabarkan kepada Kwa Kun Hong di Liong-thouw-san tentang ancaman gadis liar itu." suara yang berat dari Jenderal Bun ini mendebarkan hati Siu Bi yang mendengarkan terus.

"Ah, tentang urusan itu, apa sangkut-pautnya dengan kita? Kalau dia mempunyai dendam pribadi dengan Kun Hong, biarlah ia menyelesaikannya sendiri. Urusan pribadi orang lain, bagaimana kita dapat ikut campur?" Isterinya mencela.

"Orang lain? Kurasa Kwa Kun Hong dengan keluarganya tidaklah dapat dikata orang lain!" Bun-goanswe berseru keras, suaranya mengandung penasaran. "Bukankah isterinya adalah cicimu (kakakmu)?"

"Enci Hui Kauw hanyalah saudara pungut."

Hening sejenak, lalu terdengar suara jenderal itu penuh penyesalan.

"Hui Siang, isteriku, harap kau jangan merusak perasaan hatiku dengan sikapmu seperti ini terhadap mereka. Aku tahu bahwa kau masih menaruh dendam akan urusan lama, bukankah itu merupakan sifat kanak-kanak? Kita bukan kanak-kanak lagi. Perbuatanmu tadi mendatangi kamar tahanan dan menyerang gadis itu, juga merupakan sisa dari sifat waktu mudamu. Ah, Hui Siang, aku dapat menduga isi hatimu, setelah kau menguji, gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa dia cukup lihai, kau ingin sekali melihat dia itu mengacau Liong-thouw-san. Begitukah?"

Nyonya itu berseru kaget. "Kau..... kau mengintai.....?" Kemudian disusul suaranya menantang, "Betul, aku ... aku memang masih benci kepada Kun Hong dan enci Hui Kauw!" Disusul isak tangis tertahan dan tarikan nafas panjang Jenderal itu,

"Hui Siang, mengapa kau masih juga belum dapat memadamkan api dendam terhadap mereka? Lupakah kau bahwa Kun Hong adalah penolong kita? Dia seorang pendekar besar yang telah terkenal kegagahan dan budi pekertinya. Dia merupakan penolong kita!"

Isak tangis itu makin keras. "Aku..... aku pun tidak bisa lupa..... bahwa kau..... kau membutakan mata kananmu karena dia ...?"

Bun-goanswe tertawa. "Ha..ha..ha, itukah yang membuat dendammu tak dapat hilang? Tak usah dipusingkan, isteriku. Kebutaan sebelah mataku dapat membuka kebutaan mata hatiku, bukankah itu baik sekali?"

"Lalu, apa yang hendak kaulakukan terhadap gadis itu?" "Aku akan membujuknya agar supaya ia membatalkan niatnya mengacau tempat tinggal Kun Hong. Kalau ia bersikeras, apa boleh buat, aku akan memasukkannya ke dalam tahanan sampai ia bertobat."

"Jenderal busuk, kau benar-benar hendak mempergunakan hukum untuk mencari kebenaran dan kemenangan sendiri. Aku, Cui-beng Kwan Im, mana sudi kau perlakukan demikian?" Sesosok bayangan melayang turun dari jendela dan sinar pedang hitam menerjang Bun-goanswe, Jenderal ini kaget sekali, cepat dia menghunus pedangnya dan menangkis. Adapun Hui Siang, isteri jenderal itu, kaget dan khawatir, untuk sejenak hanya dapat memandang dengan kaget. Akan tetapi, beberapa menit kemudian nyonya ini sudah mendapatkan pedangnya lalu menyerbu dan mengeroyok Siu Bi.

Dara ini tidak menjadi gentar, malah berseru keras dan segera pedangnya berubah menjadi gulungan sinar kehitaman, diseling pukulan-pukulannya yang mengandung tenaga Hek-in-kang! Memang hebat gadis ini, ilmunya tinggi nyalinya sebesar nyali harimau, akan tetapi dia terlalu memandang rendah orang lain. Terjangnya yang dahsyat dan ganas memang membuat suami isteri itu kaget dan terdesak mundur.

Akan tetapi, jenderal itu adalah Bun Wan putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya juga hebat. Dan isterinya adalah puteri dari Ching-toanio yang memiliki ilmu silat segolongan dengan Siu Bi, yaitu goiongan hitam. Biarpun tingkat ilmu silat kedua orang suami isteri ini tidak sedahsyat ilmu silat Siu Bi warisan dari kakek sakti Hek Lojin, namun gadis itu kalah ulet dan kalah pengalaman sehingga terjangan-terjangannya biarpun mendesak dan mengejutkan, namun belum mampu merobohkan mereka.

Pada saat itu, Bun Hui datang berlari-lari dengan muka pucat. Cepat pemuda yang juga lihai ini memutar pedangnya menahan pedang Cui-beng-kiam, lalu berkata, suaranya menggetarkan penuh perasaan, "Nona.....! Kenapa kau tidak memegang janji, malah melarikan diri dan menyerbu ke sini? Ah..... Nona, mengapa kau menyerang ayah bundaku? Mengapa kaulakukan hal ini..... Kau, yang kupandang gagah perkasa....."

Getaran suara yang terkandung dalam ucapan Bun Hui ini tidak menyembunyikan perasaannya. Jelas terdengar dan terasa, baik oleh Siu Bi maupun oleh ayah bunda pemuda itu, bahwa Bun Hui menaruh hati cinta kepada gadis ini!

"Hui-ji, mundur kau!" bentak Jenderal Bun.

"Hui-ji, kenapa kau merengek-rengek kepada bocah ini?" seru pula ibunya penuh teguran dan suami isteri itu sudah menerjang Siu Bi dengan hebat. Terpaksa Siu Bi mundur tiga langkah karena terjangan kedua orang itu dalam serangan balasan bukanlah main-main. Namun dengan Hek-in-kang, ia dapat mengusir mundur lagi kedua orang pengeroyoknya. Ternyata Hek-in-kang amat ampuh, hawanya saja cukup membuat kedua orang suami isteri tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi itu tergetar mundur dan tidak berani terlalu mendekat.

Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang pengawal menerjang masuk dan melihat betapa Jenderal Bun dan isterinya bertempur melawan gadis tahanan yang entah bagaimana kini telah berada di situ, mereka cepat mencabut senjata masing-masing dan siap. Sementara itu, dengan hati hancur saking menyesal dan kecewanya, Bun Hui menggunakan pedangnya membantu ayah bundanya sambil berkata lirih,

"Betapapun berat bagiku, aku harus memihak ayah bundaku, Nona ."

"Cih, cerewet amat . Mau keroyok, keroyoklah. Hayo semua orang di sini boleh masuk mengeroyokku. Aku Cui-beng Kwan Ini tidak gentar seujung rambutpun!"

Bukan main marahnya Bun-goanswe. "Hayo tangkap dia! Jangan bunuh, tangkap kataku. Mana akal kalian? Masa tidak mampu menangkap hidup-hidup seorang bocah nakal?"

Belasan orang pengawal yang cukup tinggi kepandaiannya datang, mereka membawa tali-tali yang besar dan kuat. Dengan senjata ini mereka mengurung Siu Bi dari segala penjuru, kemudian mereka mengayunkan tambang itu ke arah kaki untuk merobohkan Siu Bi. Gadis ini kaget sekali karena suami isteri yang kosen itu, dibantu puteranya yang tak boleh dipandang ringan, membuat ia cukup repot menjaga diri. Sekarang ada tambang-tambang yang menyambar dari segala jurusan melibat dan menjegal kedua kaki. la terpaksa berlonoatan untuk menyelamatkan diri, menendang sana-sini sambil tetap melayani tiga orang lawannya. Akan tetapi, mana mungkin gadis yang kurang pengalaman bertempur ini memecah perhatiannya menghadapi serangan yang sekian banyaknya.

Tiga batang pedang dengan dahsyat mengurungnya dan mengancamnya dari atas, ini saja sudah membutuhkan pemusatan perhatian karena tiga batang pedang itu digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Belasan jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi karena kebingungannya, akhirnya kakinya terlibat tambang dan tak dapat ia pertahankan lagi, kakinya kena dijegal dan ia terguling dengan pedang masih di tangan.

Pada saat itu, selagi Bun-goanswe dan para pengawalnya siap menubruk dan menangkap Siu Bi, mendadak mereka kelabakan karena lampu penerangan tiba-tiba menjadi padam. Perubahan serentak antara keadaan terang benderang menjadi gelap hitam ini benar-benar membingungkan mereka.

"Pasang lampu.....! Lekas pasang lampu.....!" bentak Bun-goanswe. Tak seorang pun berani menubruk ke depan untuk meringkus Siu Bi. Mereka cukup maklum akan kelihaian nona itu yang masih memegang pedang. Di dalam keadaan gelap itu, mana ada yang berani mempertaruhkan nyawa?

Setelah suasana gelap yang hiruk-pikuk ini diakhiri dengan penerangan lampu, keributan lain timbul ketika mereka melihat bahwa gadis yang tadinya terguling miring itu sudah tiada di tempatnya lagi. Gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas, Bun-goanswe cepat memerintah para pengawalnya melakukan pengejaran. Dia sendiri menjatuhkan diri di atas kursi, penasaran, malu dan marah. Hui Siang dan Bun Hui saling pandang.

"Wah, dia dapat melarikan diri!" Kata Hui Siang, diam-diam girang karena sesungguhnya la ingin sekali mendengar gadis itu menyerbu rumah tangga Kun Hong apalagi setelah sekarang ia yakin benar akan kelihaian gadis itu.

"Siapa bilang lari?" Jawab jenderal itu marah. "Terang ada orang sakti yang menolong dan membawanya lari. Siapa yang memadamkan lampu serentak seperti itu tadi? Tentu bukan gadis itu. Dan cara ia meloloskan diri, sama sekali  tidak terdengar olehku."

"Mudah-mudahan ia tidak membikin ribut lagi...." Bun Hui menggumam seorang diri.

"He, kau Hui-ji . Sikapmu tadi sungguh memalukan! Apa maksudmu? Apakah kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu?"

Bentakan ayahnya ini membuat Bun Hui merah mukanya dan ia tergagap mencari jawaban, "Aku..... aku..... tidak begitu, Ayah. Aku hanya..... kagum akan sepak terjangnya dan aku..... aku kasihan..

"Hemmm, menilai seseorang, apalagi wanita, jangan sekali-kali dari kecantikan wajah atau kepandaiannya. Akan tetapi wataknya! Gadis itu wataknya keranjingan, seperti iblis betina. Hui-ji, besok kau berangkat pagi-pagi ke Liong-thouw-san, menemui pamanmu Kwa Kun Hong dan berikan sepucuk suratku. Urusan ini terlampau penting untuk kuserahkan kepada seorang pengawal, maka harus kau sendiri yang membawanya ke Liong-thouw-san."

"Baik, Ayah." Diam-diam pemuda ini menjadi girang juga, karena memang sudah amat lama ia ingin bertemu dengan orang yang selalu disebut-sebut ayahnya dengan penuh penghormatan, yaitu Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta.

* * * *

Siu Bi mencoba tenaganya untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi sia-sia. Orang itu memanggulnya dengan menekan tengkuk dan punggung, di mana pusat tenaganya ditekan dan menjadi hilang kekuatannya. la merasa dibawa lari cepat sekali dan angin dingin membuat ia mengantuk sekali. Akhirnya, saking lelahnya bertempur tadi dan semalam tidak tidur sedikit pun juga, ia tertidur di atas pundak orang yang memanggulnya itu.

Ketika Siu Bi sadar dari tidurnya, sedetik ia tertegun, hendak mengulet (menggeliat) tidak dapat, tubuhnya serasa kesemutan dan pipi kanannya yang berada di atas panas. Kiranya matahari sudah menyorot agak tinggi juga. Segera ia teringat. la masih berada di atas pundak orang, masih dipanggul! Sejak lewat tengah malam sampai sekarang, lewat pagi! Dan ia tertidur di dalam pondongan orang! Dan selama itu ia masih belum tahu siapa orang yang menculiknya ini, yang membawanya lari dari dalam gedung Jenderal Bun selagi ia roboh dalam keroyokan para pengawal.

"Hemmm, perawan apa ini? Dipondong orang sejak malam, enak-enak tidur mendengkur. Malas dan manja, ihhh, benar-benar celaka....." Orang yang memanggulnya itu terdengar bersungut-sungut.

 

Kemarahan memenuhi kepala Siu Bi. "Siapa mendengkur? Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Hayo lepasKan kau laki-laki kurang ajar!"

"He? Kau sudah bangun? Nah, turunlah!" Dengan gerakan tiba-tiba orang itu melepaskan pondongan sambil mendorong sedikit sehingga Siu Bi terlempar dan jatuh berdiri di depannya dalam jarak dua meter. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, dan marahnya ketika melihat bahwa orang yang memanggulnya tadi adalah laki-laki muda sederhana berpakaian putih yang semalam mengunjunginya di dalam kerangkengnya!

"Heeeiiiii! Kenapa kau memondongku? Aku bukan anak kecil!" Siu Bi membanting kaki dengan gemas.

Yo Wan, orang itu, tersenyum kecil. Matahari pagi serasa lebih gemilang cahayanya menghadapi seorang dara lincah nakal ini.

"Kau masih kanak-kanak," katanya tenang.

"Siapa bilang? Aku bukan anak Kecil, aku bukan kanak-kanak lagi!" Siu Bi bersitegang. Disebut kanak-kanak baginya sama dengan penghinaan. Masa dia yang sudah mempunyai julukan Cui-beng Kwan Im sekarang di "cap" kanak-kanak? "Aku Cui-beng Kwan Im, aku seorang dewasa. Jangan kau main-main!"

"Bagiku kau masih kanak-kanak," kata pula Yo Wan, memalingkan muka seperti seorang yang tidak acuh. Padahal pemuda ini memalingkan muka karena merasa "silau" akan kecantikan wajah Siu Bi. Kebetulan sekali cahaya matahari yang menerobos melalui celah-celah daun pohon, menyoroti muka dan rambut itu, sehingga wajah gadis itu gemilang dan rambutnya membayangkan warna indah, benar-benar seperti Dewi Kwan Im turun melalui sinar matahari pagi. Yo Wan memalingkan muka agar jangan melihat keindahan di depannya ini, yang membuat isi dadanya tergetar.

"Wah, kau ini kakek-kakek, ya? aksinya!" Siu Bi membentak gemas.

"Aku jauh lebih tua dari padamu." Suara Yo Wan perlahan, seperti berkata kepada diri sendiri. Memang ini suara hatinya yang membantah gelora di dalam dada, untuk memadamkan api aneh yang mulai menyala dengan peringatan bahwa dia jauh lebih tua daripada gadis remaja yang berdiri di depannya dengan sikap menantang itu.

"Hanya beberapa tahun lebih tua. Hemmm, lagakmu seperti kakek-kakek berusia lima puluh tahun saja. Kurasa kau belum ada tiga puluh."

"Dua puluh enam tahun umurku, dan kau ini paling banyak lima belas....."

"Siapa bilang? Ngawur! Sudah tujuh belas lebih, hampir delapan belas aku "

"Ya itulah, masih kanak-kanak kataku."

"Setan kau. Delapan belas tahun kau anggap kanak-kanak? Kau baru umur dua puluh enam tahun sudah berlagak tua bangka. Biarlah kusebut kau lopek (paman tua) kalau begitu. Heh, Lopek yang sudah pikun, kenapa kau tadi memondongku? Siapa yang beri ijin kepadamu?"

Yo Wan panas perutnya. Masa ia disebut lopek? Ngenyek (ngece) benar bocah ini. la mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya pada lehernya, seakan-akan kepanasan, memang ada rasa panas, tapi bukan di kulit melainkan di hati. Lalu ia memilih akar yang bersih, akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah. Didudukinya akar itu tanpa menjawab pertanyaan Siu Bi.

"He, Lopek  Apakah kau sudah terlalu tua sehingga telingamu sudah setengah tuli?" bentak Siu Bi dengan suara nyaring. "Kau anak kecil jangan kurang ajar terhadap orang tua. Duduklah, anakku, duduk yang baik dan kakekmu akan mendongeng, kalau kau mendengarkan baik-baik, nanti kuberi mainan."

Siu Bi meloncat-loncat marah. "Nak-nak-nak? Aku bukan anakmu, aku bukan cucumu. Jangan sebut nak, aku bukan anak kecil " la menjerit-jerit, kedua pipinya merah padam, kemarahannya melewati takaran.

Yo Wan bersungut-sungut, "Kalau kau bukan anak kecil, aku pun bukan kakek-kakek yang sudah tua renta, kenapa kau sebut aku lopek?"

"Kau yang mulai dulu"

"Siapa mulai? Kau yang mulai," jawab Yo Wan mulai mendongkol hatinya.

"Kau yang mulai."

"Kau."

"Kau! Kau! Kau! Nah, aku bilang seribu kali, kau yang mulai, mau apa?", Siu Bi menantang.

Yo Wan mengeluh, lalu menarik nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar dara lincah nakal ini telah menyeretnya kembali ke alam kanak-kanak dan berhasil mengaduk isi dada dan isi perutnya menjadi panas. Sepuluh tahun ia bertapa di Himalaya menguasai tujuh macam perasaan, sekarang perasaannya diawut-awut oleh gadis remaja ini.

"Dibebaskan dari bahaya, dipondong sampai setengah malam suntuk, tahu-tahu upahnya hanya diajak bertengkar. Di dunia ini mana ada aturan bo cengli tidak benar macam ini?" Ia mengomel panjang pendek.

"Siapa suruh kau mondong aku? Siapa? Aku tidak sudi kaupondong, tahu?"

"Tidak sudi masa bodoh, pokoknya aku gudah memondongmu sampai setengah malam, tangan dan pundakku sampai njarem (pegel) rasanya.

Siu Bi makin marah, kedua tangannya dikepal, "Aku tidak sudi, tidak sudi, tidak sudi! Hayo jawab, kenapa kau memondongku? Kalau kau tidak jawab, jangan menyesal kalau aku marah dan menghajarmu. Aku Cui-beng Kwan Im, ingat?"

"Kenapa aku memondongmu? Habis kalau tidak dipondong, apa minta digendong? Atau harus kuseret? Kau dikepung, berada dalam bahaya maut, tapi masih membuka mulut besar. Tak tahu diri benar!"

"Biar aku dikepung, biar dicengkeram maut, apa pedulimu? Aku tidak sudi pertolonganmu, mengapa kau tolongaku?"

"Aku pun tidak bermaksud menolongmu. Aku hanya tidak senang melihat seorang gadis dikeroyok oleh para pengawal jenderal itu, maka aku berusaha menggagalkan pengeroyokan mereka dah membawamu pergi."

Siu Bi seakan-akan tidak mendengarkan omongan Yo Wan, ia termenung lalu berkata penuh penyesalan, "Celaka betul, karena kau membawaku pergi, pedangku hilang! Ah, Cui-beng-kiam itu tentu ketinggalan di tempat pertempuran dan....." Siu Bi menghentikan kata-katanya karena melihat sinar kehitaman ketika pedang itu dicabut oleh Yo Wan dari balik jubahnya. Tanpa berkata sesuatu Yo Wan memberikan pedang kepada Siu Bi yang cepat menyambarnya.

"Juga kebetulan aku melihat pedang ini terlepas dari tanganmu, aku tidak ingin pengawal-pengawal itu merampasnya, maka kubawa sekalian. Nah, kiranya cukup obrolan kita yang amat menyenangkan hati ini. Aku tak pernah tolong kau dan kau tak pernah ada urusan denganku. Kita sama-sama bebas, tidak ada urusan apa-apa. Selamat tinggal." Yo Wan berdiri, lalu berjalan perlahan meninggalkan Siu Bi. Seperti malam tadi, Siu Bi memandang dengan mata tak berkedip, ketika bayangan Yo Wan hampir lenyap di sebuah tikungan, ia teringat sesuatu dan cepat melompat mengejar sambil berseru,

"Heee, berhenti dulu!!"

Yo Wan berhenti dan membalikkan tubuh perlahan. Dilihatnya gadis itu berloncatan sambil membawa pedang. Hemm, jangan-jangan gadis itu akan menyerangnya, siapa dapat menduga isi hati gadis liar dan buas seperti itu?

"Ada apa lagi? Hendak menghajarku?" tanyanya.

 

Siu Bi menggelengkan kepala, tapi mulutnya masih cemberut. "Tergantung dari jawabanmu," katanya, lalu disambungnya cepat-cepat, "Aku tidak pernah mendengkur kalau tidur. Kau tadi bilang aku mendengkur, kau bohong! Aku tidak pernah mendengkur, memalukan sekali!"

Hampir Yo Wan terbahak ketawa. Benar-benar gadis yang liar dan aneh.

Masa menyusulnya hanya akan bicara tentang itu?

"Tidak mendengkur, hanya..... ngo…rok....."

"Bohong! Kau berani sumpah? Aku tak pernah ngorok, mendengkur pun tidak."

"Ngorok pun mana kau bisa tahu? Kan kau sedang tidur? Yang tahu hanya orang lain tentu."

"Tidak, tidak! Aku tidak ngorok, hayo katakan, aku tidak pernah ngorok!" Siu Bi hampir menangis ketika membanting-banting kaki di depan Yo Wan. la marah dan malu sekali, kedua matanya sudah merah, air matanya sudah hampir runtuh. la bukan seorang gadis cengeng, jauh dari itu, menangis sebetulnya merupakan pantangan baginya, hatinya keras, nyalinya besar, tak pernah ia mengenal takut. Akan tetapi dikatakan ngorok dalam tidur, benar-benar merupakan hal yang menyakitkan hati, memalukan dan menjengkelkan.

Kasihan juga hati Yo Wan melihat keadaan gadis ini. "Ya sudahlah, tidak ngorok ya sudah. Agaknya karena terlampau lelah bertanding dan terlalu enak kau pulas, nafasmu menjadi berat seperti orang mengorok. Tidurmu memang enak sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkan dan terpaksa memondongmu terus sampai kau bangun."

Memang watak Siu Bi aneh. Mana bisa tidak aneh watak gadis ini yang semenjak kecil hidup dekat Hek Lojin, manusia aneh yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw? Kini ia memandang kepada Yo Wan dengan sinar mata berseri, melalui selapis air mata yang tidak jadi tumpah.

"Kau baik sekali....."

Yo Wan tertegun. Alangkah bedanya dengan tadi. Kini ia benar-benar melihat seorang Dewi Kwan Im di depannya, seorang dewi yang cantik jelita, bersuara lembut dan bersinar mata mesra.

"Ahhh...... sama sekali tidak baik, biasa saja," katanya. "Aku melihat kau menolong para petani miskin, tentu saja aku tidak suka melihat kau celaka di tangan para pengawal."

Hening sejenak, dan agaknya Yo Wan lupa sudah bahwa baru saja dia mengucapkan selamat tinggal. Juga Siu Bi seperti orang termenung, tidak memandang Yo Wan, melainkan memandang ke tempat jauh di sebelah kiri. Tiba-tiba ia menengok, agak berdongak untuk mencari mata Yo Wan dengan pandangannya,

"Kau..... lapar.....?"

Yo Wan melongo beberapa detik. "Lapar? Tentu saja....." jawabnya otomatis, karena memang perutnya terasa perih minta diisi.

Wajah Siu Bi berseri gembira. "Kau tunggu di sini sebentar, kutangkap kelinci gemuk di sana itu!" Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan di lain saat ia telah menguber-uber seekor kelinci putih yang gemuk.

Yo Wan kembali tertegun, kemudian ia tersenyum geli dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu ia mengumpulkan daun dan ranting kering dan duduk di atas sebuah batu, menunggu.

Siu Bi datang sambil berloncatan dan menari-nari kegirangan. Seekor kelinci gemuk sekali meronta-ronta di bawah pegangannya. Siu Bi memegang kedua telinga itu. "Lihat, wah gemuk sekali! Masih muda lagi!" teriaknya sambil tertawa-tawa.

Wajah Yo Wan berseri dan untuk sejenak lenyaplah kemuraman wajahnya.

"Hemmmm, tentu lezat sekali dagingnya. Biar kubuatkan api." la lalu membuat api dan matanya melirik ke arah gadis itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu mengulitinya dengan cepat. Sambil bekerja, Siu Bi bersenandung dan Yo Wan beberapa kali melirik ke arah gadis ini. Seorang gadis yang benar-benar aneh, pikirnya. Watak yang luar biasa dan sukar diselami.

"Lihat nih, gajihnya sampai tebal? Hemmm......  Makin lapar perutku," kata Siu Bi sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi.

"Lekas panggang, tak kuat lagi aku." Yo Wan berkata, menelan air ludah sendiri beberapa kali. 

Seperti seorang anak kecil, sambil tertawa-tawa gembira Siu Bi lalu menusuk daging kelinci dengan bambu dan memanggangnya. Bau yang sedap gurih memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut. Selama mengerjakan itu, Siu Bi tidak bicara, hanya beberapa kali melirik ke arah Yo Wan, akan tetapi kalau pemuda itu membalas pandangnya, ia mengalihkan kerling sambil tersenyum.

Biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun di dalam hatinya Siu Bi tiada hentinya berkata-kata. Pikirannya diputar terus. Pemuda ini baik, pikirnya. Tidak kurang ajar, biarpun kelihatan agak tolol. Terang bahwa dia itu lihai sekali, sudah berkali-kali dibuktikan biarpun tidak berterang. Dapat memasuki rumah gedung Jenderal Bun tanpa diketahui, seperti setan saja, dapat membebaskannya dari kerangkeng, kemudian ia harus mengakui bahwa ketika ia roboh terjegal kakinya oleh tambang-tambang itu, keadaannya memang amat berbahaya. Pemuda itu tiba-tiba muncul dalam gelap, dapat membawanya pergi tanpa diketahui semua pengeroyok, malah tidak lupa membawa pula pedangnya. Kalau tidak lihai sekali mana mungkin melakukan semua itu?

Kembali ia melirik Yo Wan duduk termenung, tapi lubang hidungnya kembang-kempis, jakunnya naik turun, jelas bahwa dalam termenung, pemuda itu tergoda hebat oleh asap panggang kelinci yang sedap gurih. Melihat ini, Siu Bi tertawa mengikik sehingga terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ibunya yang selalu marah kalau melihat ia ketawa tanpa menutupi mulutnya dan terlalu sering Siu Bi melupakan hal ini, baiknya sekarang ia tidak lupa, mungkin karena sadar bahwa ada orang lain, laki-laki pula, di dekatnya.

"Hemmm, mengapa kau tertawa?" Yo Wan bertanya, kaget dan sadar dari lamunannya.

"Tidak apa-apa, tak bolehkah orang tertawa?" Siu Bi menjawab sambil melirik nakal, tangannya memutar-mutar daging kelinci di atas api.

Jawaban ini merupakan tangkisan yang membuat Yo Wan gelagapan. "A..... a..... aku tidak melarang..... tentu saja, siapapun boleh tertawa. Kau mentertawai aku?"

Siu Bi hanya tersenyum, tidak menjawab, melirik pun tidak. Daging itu sudah hampir matang. Yo Wan juga tidak mendesak, tapi cukup mendongkol hatinya. Gadis remaja ini benar-benar pandai mengobrak-abrik hati orang dengan sikapnya yang aneh, sebentar marah, sebentar ramah, sebentar menggoda.

Pemuda ini terang pandai sekali, Siu Bi melanjutkan lamunannya. Kalau aku berbaik kepadanya dan mendapat bantuannya, agaknya akan lebih besar hasilnya di Liong-thouw-san. Menurut ucapan Bun Hui pemuda putera jenderal itu, Pendekar Buta adalah seorang yang sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi bagai-mana kalau ia gagal? Tentu akan mengecewakan sekali jika ia tidak berhasil membalaskan dendam kakek Hek Lojin. Akan tetapi kalau mendapat bantuan pemuda ini, hemmm, kepandaian mereka berdua dapat disatukan untuk menghadapi dan mengalahkan Pendekar Buta.

Akan tetapi apakah benar-benar pemuda ini lihai? Kembali ia melirik. Yo Wan tampak mengantuk sepasang matanya hampir meram dan kepalanya terangguk-angguk ke kanan kiri, seakan-akan lehernya tidak kuat pula menyangga kepalanya. Kasihan! Tentu dia amat mengantuk, mengantuk dan lapar karena semalam tidak tidur sama sekali, memondongnya pergi sejauh ini. Kalau sedang mengantuk dan "tidur ayam" begini sama sekali tidak patut menjadi seorang yang berkepandaian tinggi. Juga tidak nampak membawa senjata. Makin ia perhatikan, makin tidak memuaskan kesan di hati Siu Bi. Pemuda yang tidak muda lagi, sungguhpun belum tua. Rambutnya kering tidak terpelihara baik-baik. Wajahnya biarpun tampan, namun tampak muram seperti orang yang sedih selalu. Pakaiannya yang serba putih itu tidak bersih lagi, juga ada beberapa bagian yang robek. Pemuda miskin! Tiba-tiba Yo Wan yang benar-benar amat mengantuk itu terangguk ke depan, menjadi kaget dan membuka matanya, memandang bingung.

"Hi..hi..hik.....!" kembali Siu Bi terkekeh. Lucu sekali keadaan pemuda itu,

"Kenapa kau tertawa?"

"Siapa tidak tertawa melihat kau terkantuk-kantuk seperti ayam keloren (menderita penyakit kelor)? Hayo bangun, daging sudah matang!" Siu Bi mengangkat panggang daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun bersih yang sudah disediakan di situ, depan Yo Wan.

"Wah, gurih baunya!" Yo Wan memuji. "Hayo, kauambil dulu."

"Kauambillah dulu."

"Kau yang tangkap dan masak kelinci, masa aku harus makan dulu?"

"Sudahlah, kauambil dulu, mengapa sih? Aku tidak selapar engkau!"

Yo Wan tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia merobek daging itu, mengambil bagian yang ada tulangnya, lalu langsung menggerogotinya dengan lahap. "Wah, hebat.....! Lezat bukan main.....!" katanya sambil mengunyah. Memang gemuk kelinci itu, gajihnya banyak sehingga begitu menggigit daging, gajih yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Yo Wan.

"Sayang tidak ada arak.....Heee! Kau ke mana, Nona?"

"Tunggu dulu sebentar, aku ambil air minum!" Cepat Siu Bi berlari meninggalkan Yo Wan. Pemuda ini mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Siu Bi. Gadis itu benar-benar hebat, wataknya aneh sekali. Sekarang amat ramah dan baik kepadanya. Siapakah dia ini?

Siu Bi kembali membawa dua buah kulit labu yang penuh air jernih, dan selain air, juga ia membawa banyak buah-buah manis yang dipetiknya dari dalam hutan. Dengan hati-hati agar jangan tumpah, ia menaruh kulit labu yang dipakai menjadi tempat air itu di atas tanah, kemudian ia pun mulai makan daging kelinci. Keduanya makan dengan lahap, tanpa bicara, hanya kadang-kadang pandang mata mereka bertemu sebentar. Yo Wan duduk di atas batu, Siu Bi duduk bersila di atas tanah berumput. Api bekas pemanggang daging masih bernyala sedikit.

Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci, tinggal tulang-tulangnya. Setelah minum air dan mencuci mulut dengan air, keduanya makan buah. Barulah Yo Wan berkata,

"Nona, kau baik sekali kepadaku. Terima kasih, daging kelinci tadi gurih dan mengenyangkan perut airnya jernih segar sekali, dan buah-buah ini pun manis. Kau memang baik".

"Terima kasih segala, untuk apa? Tidak ada kau pun aku toh harus makan dan minum. Kau berkali-kali menolongku, aku pun tidak bilang terima kasih padamu."

Yo Wan tersenyum. Dekat dan bicara dengan nona ini memaksanya untuk sering tersenyum. "Aku tidak menolongmu, tak perlu berterima kasih, Nona."

"Siapakah kau ini? Siapa namamu?"

Yo Wan menggerakkan alisnya yang tebal. Baru terasa olehnya betapa lucu dan janggal keadaan mereka berdua. "Ah, kita sudah cekcok bersama, makan minum bersama, mengobrol bersama, tapi masih belum saling mengenal. Namaku orang menyebutku Jaka Lola, Nona."

"Jaka Lola? Ayah bundamu..... sudah tiada?"

Yo Wan mengangguk sunyi. Kemudian balas bertanya, "Kau sendiri? Siapakah namamu kalau aku boleh bertanya?"

"Orang-orang di dusun, para petani" itu menyebutku Cui-beng Kwan Im. Adapun namaku..... ah, kau tidak memperkenalkan namamu, masa aku harus menyebutkan namaku?"

"Kembali Yo Wan tersenyum. "Namaku Yo Wan, hidupku sebatangkara, tiada sanak tiada kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku dunia ini, atapnya langit, lantainya bumi, dindingnya pohon, lampu-lampunya matahari, bulan dan bintang."

Siu Bi tertawa, lalu bangkit berdiri dan menirukan lagak dan suara Yo Wan ia berkata, "Namaku Siu Bi, hidupku sebatangkara, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal tertentu, rumahku di mana aku berada, atap, lantai dan dindingnya, apa pun jadi!" Dan ia tertawa lagi. Yo Wan mau tidak mau ikut pula tertawa. Kalau gadis ini sedang berjenaka, sukar bagi orang untuk tidak ikut gembira. Suara ketawa dan senyum gadis ini seakan-akan menambah gemilangnya sinar matahari pagi.

"Nona, namamu bagus sekali. Akan tetapi siapakah shemu (nama keturunan)"

"Cukup Siu Bi saja, tidak ada tambahan di depan maupun embel-embel di belakangnya. Nah, sekarang kita sudah tahu akan nama masing-masing. Kau siap dan keluarkan senjatamu!" kata Siu Bi sambil mencabut Cui-beng-kiam yang ia selipkan di ikat pinggangnya. Pedang itu berada di tangannya, digerakkan di depan dada dengan sikap hendak menyerang.

Yo Wan terkejut. "Eh, eh, eh, apa pula ini?"

"Artinya, aku hendak menguji kepandaianmu. Gerak-gerikmu penuh rahasia, aku masih belum yakin benar apakah kau memang memiliki kelihaian seperti yang kusangka."

"Wah, aneh-aneh saja kau ini, nona Siu Bi. Aku orang biasa, tidak punya kepandaian apa-apa, jangan kau main-main dengan pedang itu, Nona."

"Tak usah kau pura-pura, kau mau atau tidak, harus melayani aku beberapa jurus. Bersiaplah! Awas, pedang!" Serta merta Siu Bi menerjang dan mengirim tusukan secepat kilat.

"Wah, gila.....!" Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. la cepat membuang diri mengelak, maklum akan keampuhan pedang bersinar hitam itu. Akan tetapi Siu Bi sudah menyerangnya secara bertubi-tubi, malah gadis itu mulai menggerakkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Hek-in-kang! Yo Wan yang menangkis sambaran tangan kiri ini terpental dan merasa betapa lengannya yang menangkis terasa panas dan sakit. la kaget sekali dan timbul rasa gemasnya. Gadis ini benar-benar liar pikirnya.

Akan tetapi pedang bersinar hitam itu sudah datang lagi mengirim tusukan bertubi-tubi diseling dengan pukulan yang membawa uap berwarna kehitaman. Hebat! Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang amat ganas dan dahsyat. Kalau aku tidak memperlihatkan kepandaian, ia akan terus berkepala batu dan tinggi hati. Cepat tangan kanan Yo Wan merogoh ke balik jubahnya dan di lain saat pedang kayu cendana sudah berada di tangannya, pedang buatannya sendiri di Himalaya. Ketika sinar hitam menyambar dia menangkis.

"Dukkk!" Siu Bi melangkah mundur tiga tindak, tangannya linu dan pegal. Heran ia mengapa pedang lawannya itu ketika bertemu dengan pedangnya terasa seperti benda lunak, seperti kayu, tidak menimbulkan suara nyaring. Ketika ia memandang lebih jelas, betul saja bahwa pedang itu memanglah sebatang pedang kayu! Mukanya seketika menjadi merah sekali. Penasaran ia. Masa pedangnya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu hanya dilawan oleh Yo Wan dengan sebatang pedang kayu? la mengeluarkan seruan keras dan menerjang lagi, mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang untuk membabat putus pedang kayu itu.

Akan tetapi ia salah duga. Pedang di tangan Yo Wan biarpun hanya terbuat dari kayu cendana yang mengeluarkan bau harum kalau diayun, namun yang mengerahkan adalah tangan yang terisi ilmu, tangan yang mengandung hawa sinkang dan mempunyai tenaga dalam yang sudah amat tinggi tingkatnya. Bukan saja pedang kayu itu tidak rusak, malah dia sendiri beberapa kali hampir melepaskan pedangnya karena tangannya terasa panas dan sakit apabila kedua senjata itu bertemu. Ia mulai kagum bukan main. Tidak salah dugaannya. Pemuda ini lihai bukan main. Akan tetapi di samping kekagumannya, ia pun penasaran dan marah sekali. Masa dia, Cui-beng Kwan Im, hanya dilawan dengan pedang kayu? Bukan pedang sungguh-sungguh, melainkan pedang-pedangan yang patut dipakai mainan anak kecil.

Rasa penasaran dan marah membuat Siu Bi bergerak makin ganas dan dahsyat. Yo Wan diam-diam mengeluh. Kepandaian gadis ini kalau sudah matang, benar-benar berbahaya sekali, apalagi pukulan-pukulan tangan kiri yang melontarkan hawa beracun, benar-benar sukar dilawan kalau tidak menggunakan sinkang yang kuat. la pun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu pedangnya dari Sin-eng-cu. Namun, ilmu pedangnya itu hanya sanggup menandingi Ilmu Pedang Cui-beng Kiam-sut dari Siu Bi dan perlahan-lahan gadis itu mendesaknya dengan pukulan-pukulan Hek-in-kang. Kini Siu Bi tidak hanya menguji ilmu atau main-main, melainkan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kalau tidak dilayani dengan sepenuhnya, tentu akan lama pertandingan itu dan akan berubah menjadi pertandingan mati-matian.

 "Benar-benar kau aneh sekali. Nona", seru Yo Wan ketika dia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah pukulan tangan kiri gadis itu. Tangan kiri itu kini mengeluarkan uap hitam dan makin lama makin dahsyat pukulannya sehingga Yo Wan tidak berani menangkis, bukan takut kalau ia terluka, melainkan khawatir kalau-kalau tangkisannya yang terlalu kuat akan mencelakai nona itu. Sambil berjungkir balik ini, la mencabut keluar cambuknya yang melingkar di pinggang. Kini tangan kirinya memegang cambuk dan "tar-tar-tar " cambuk itu menyambar-nyambar bagaikan petir di atas kepala Siu Bi.

"Ayaaa.....!" Siu Bi kaget bukan main. Apalagi ketika melihat betapa cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang membingungkan. Seketika itu juga keadaan menjadi berubah Dia terdesak hebat, beberapa kali pedangnya hampir terlibat cambuk lawan. Namun, bukan watak Siu Bi untuk menjadi gentar. Dia makin bersemangat.

"Wah, benar-benar keras hati dia....? pikir Yo Wan dan cepat ia mempergunakan langkah-langkah Si-Cap-it Sin-po. Seketika lenyap dari depan Siu Bi dan gadis itu dalam kebingungannya, cepat berbalik ketika mendengar desir cambuk dari belakang. Baru satu kali tangkis, pemuda itu lenyap lagi dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya, lalu lenyap, muncul di sebelah kiri, lenyap lagi, muncul di sebelah kanannya. Bingung ia dibuatnya dan kepalanya menjadi pening!

"Sudahlah, cukup, Nona. Kau lihai sekali....." berkali-kali Yo Wan berseru, namun mana Siu Bi mau sudah dan mengalah? la menggigit bibir dan menerjang seperti seekor harimau gila, nekat dan tidak takut mati.

"Awas pedangmu!" Yo Wan berseru dan lenyap. Ketika Siu Bi membalik, terasa sesuatu membelit pundaknya. la merasa ngeri dan menggeliat seakan-akan ada ular yang melilit puncak. Kiranya cambuk lawannya yang melilitnya, membuat ia sukar bergerak dan pada saat itu, ujung pedang kayu Yo Wan menotok pergelangan tangan kanannya. Pedangnya jatuh!

Dengan marah sekali, Siu Bi berdiri di depan Yo Wan, membanting-banting kaki dan memandang penuh kebencian.

"Maaf, Nona, aku..... aku tidak sengaja. Kau telah mengalah ...."

Akan tetapi Siu Bi membanting kaki lagi, terisak lalu membalikkan tubuh dan lari cepat, tidak peduli lagi akan pedangnya yang tergeletak di atas tanah.

"He, nona Siu Bi...... tunggu..... pedangmu.....!" Yo Wan mengambil pedang itu dan cepat mengejar. Akan tetapi Siu Bi sudah lari jauh dan menghilang di balik pohon-pohon di dalam hutan.

Yo Wan berhenti sebentar, menggeleng-geleng kepala dan menarik nafas panjang.

"Wah, benar-benar luar biasa anak itu. Wataknya seperti setan!" Akan tetapi diam-diam ia mengagumi kepandaian Siu Bi yang memang jarang dicari bandingnya. "Entah anak siapa dia itu, dan entah siapa pula yang mewariskan kepandaian dan watak segila itu." la lalu mengejar lagi, tidak bermaksud segera menyusul karena ia maklum bahwa agaknya membutuhkan beberapa lama untuk membiarkan gadis itu agak mendingin hatinya. Kalau sedang panas dan marah seperti itu, agaknya tidak akan mudah dibujuk dan tentu sukar bukan main diajak bicara secara baik-baik.

Seorang gadis yang luar biasa masih amat muda. Mengapa sudah merantau seorang diri di dunia ini? Betulkah dia pun sebatangkara? Kasihan! Wataknya keras, berbahaya sekali kalau tidak ada yang mengamat-amati. Sayang kalau seorang dara masih remaja seperti itu mengalami malapetaka atau menjadi rusak.

Hati Yo Wan mulai gelisah ketika sudah mengejar seperempat jam lebih, belum juga ia melihat bayangan Siu Bi.

"Nona Siu Bi! Tunggu..... " serunya sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya bergema di seluruh hutan. Namun tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri. la mengejar lebih cepat lagi.

Tiba-tiba ia tersentak kaget dan berhenti. Di depan kakinya tergeletak sehelai saputangan sutera kuning. Bukankah ini saputangan yang dia lihat tadi mengikat rambut Siu Bi? Dipungutnya saputangan itu dan jari-jari tangannya menggigil. Saputangan itu berlepotan darah! Sepasang matanya menjadi beringas ketika ia menoleh ke kanan kiri, lalu dia meloncat ke atas pohon, memandang ke sana ke mari.

"Nona Siu Bi! Di mana kau.....!! .....!" li berseru memanggil. Tetap sunyi tiada jawaban.

"Celaka, apa artinya ini.....?" Yo Wan meloncat turun lagi, memandangi saputangan di tangannya. "Jangan-jangan....." la tidak berani melanjutkan kata-kata hatinya, melainkan mengantongi kain sutera itu dan berkelebat cepat ke depan untuk melakukan pengejaran lebih cepat lagi.

Apakah yang terjadi dengan diri Siu Bi?

Gadis itu merasa amat marah, penasaran, malu dan kecewa sekali setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaiannya jauh kalah oleh Yo Wan. Memang Siu Bi berwatak aneh, mudah sekali berubah. Tadinya ia hendak menguji kepandaian Yo Wan dan kalau ternyata Yo Wan benar lihai, akan dijadikan sahabatnya menghadapi musuh besarnya. Akan tetapi setelah ternyata ia kalah jauh, ia kecewa dan marah, lalu pergi sambil menangis! Malah ia tinggalkan begitu saja pedangnya yang terlepas dari tangan.

Siu Bi menggunakan ilmu lari cepat. la maklum bahwa Yo Wan tentu akan mengejarnya, lari sekuat tenaga. Kemudian, sampai di pinggir hutan ia melihat bahwa daerah itu banyak terdapat batu-batu besar yang merupakan dinding lereng gunung dan tampak bahwa tempat itu terdapat banyak guanya yang gelap dan terbuka seperti mulut raksasa. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu membelok ke daerah ini, memilih sebuah gua yang paling gelap dan besar, lalu menyelinap masuk.

Gua itu gelap sekali dan lebar. Begitu masuk, tubuhnya diselimuti kegelapan, sama sekali tidak tampak dari luar. la masuk terus dan ternyata terowongan dalam gua itu membelok ke kiri sehingga ia terbebas sama sekali dari sinar matahari. Terlalu gelap di situ, melihat tangan sendiri pun hampir tidak kelihatan. Siu Bi meraba-raba dan ketika mencapatkan sebuah batu yang licin dan bersih, ia duduk di situ terengah-engah. Disusutnya air matanya dengan ujung lengan bajunya.

Tiba-tiba ia hampir menjerit saking kagetnya ketika terdengar suara orang tertawa, apalagi ketika disusul dengan dua buah tangan yang merangkul pundaknya! Otomatis tangan kirinya bergerak, menghantam ke belakang. Karena kaget, maka sekaligus ia mengerahkan Hek-in-kang. Tangannya yang terbuka bertemu dengan bagian perut yang lunak. "Bukkk!" orang yang punya perut itu merintih dan terlempar ke belakang. Siu Bi melompat bangun, akan tetapi mendadak ia mencium bau harum yang luar biasa, yang membuat kepalanya pening dan matanya melihat seribu bintang terhuyung-huyung dan roboh dalam pelukan dua buah lengan yang kuat!

Beberapa detik kemudian, dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya ku-rang lebih empat puluh tahun, melompat keluar dari dalam gua. Seorang di antara mereka, yang berjenggot kaku, memondong tubuh Siu Bi yang pingsan. Setibanya di luar gua, mereka memandang wajah Siu Bi dan si pemondong tertawa, "Ha..ha..ha, luar biasa sekali, Bian-te (adik Bian). Kita menangkap seorang bidadari!"

Kawannya, yang mukanya pucat, tertawa masam. "Bidadari tapi pukulannya seperti setan! Kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang, kiranya isi perutku sudah hancur dan hangus. Heran, gadis cilik secantik ini kepandaiannya hebat dan pukulannya dahsyat."

"Dia tentu murid orang pandai. Jangan-jangan berkawan yang lebih lihai lagi. Mari kita cepat bawa pergi. Gong-twako bersama perahunya tentu berada di pantai. Hayo, cepat!"

" Dua orang itu berlari cepat sekali menuju ke barat. Tak lama kemudian mereka tiba di tepi Sungai Fen-ho. Si muka pucat bersuit keras sekali dan tiba-tiba dari rumpun alang-alang muncul sebuah perahu kecil cat hitam yang didayung oleh seorang laki-laki berambut putih, berusia lima puluh tahunan.

"He, kalian membawa seorang gadis, untuk apa? Siapa dia?"

Dua orang tinggi besar itu melompat ke dalam perahu dengan gerakan yang ringan. Si jenggot kasar merebahkan tubuh Siu Bi yang masih pingsan ke dalam bilik perahu, kemudian ia keluar lagi untuk bercakap-cakap dengan dua orang temannya.

"Kami tidak tahu dia siapa. Seorang bidadari!" katanya.

"Bidadari yang pukulannya seperti setan!" sambung si muka pucat dan tiba-tiba meringis, lalu muntahkan darah yang menghitam.

Dua orang temannya kaget. Kakek rambut putih itu memandang dengan kening berkerut. "Bian-te, kau terluka dalam yang hebat."

"Lekas kita pergi ke Ching-coa-to. Gong-twako, gadis itu seorang yang cantik dan pandai, tentu kongcu (tuan muda) akan senang sekali mendapatkannya, dan kita akan mendapat jasa besar. Juga Bian-te perlu segera diobati. Agaknya hanya toanio (nyonya) yang mampu mengobatinya. Pukulannya hebat dan agaknya mengandung racun yang aneh."

Si rambut putih bersuit dan muncullah perahu kedua, didayung seorang laki-laki muda. "Kau menjaga di sini, kami akan ke pulau," pesannya dan didayunglah perahu hitam itu dengan cepat sekali, mengikuti aliran sungai sehingga meluncur dengan lajunya.

Beberapa jam kemudian, si muka pucat muntah-muntah lagi, keadaannya makin payah. Dua orang temannya berusaha untuk mengurut jalan darah dan menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk membantu pengerahan sinkang, namun hasilnya tidak banyak, hanya membuat si muka pucat itu dapat bernafas lebih leluasa. Mukanya makin pucat dan matanya beringas.

"Keparat, aku harus membalas ini." la bangkit hendak memasuki bilik perahu.

"Bian-te, sabarlah," cegah si brewok.

"Perjalanan ini masih lama, agaknya aku takkan kuat. Tak lama lagi aku mati, dan sebelum mati, aku harus melampiaskan penasaran."

"Jangan bunuh dia, Bian-te....." cegah si rambut putih. "Agaknya dia sudah terkena bius racun merah kita, ia tidak berdaya lagi. Itu sudah merupakan pembalasan dan nanti kalau ia terjatuh ke tangan kongcu, ha..ha..ha, tentu tak lama lagi dihadiahkan kepadamu. Masih banyak waktu untuk membalas penasaranmu."

"Tidak bisa menunggu lagi. Sesampainya di sana, aku sudah menjadi mayat. Gong-twako, lukaku hebat, aku merasa ini. Biarkan aku memilikinya sebelum aku mati."

"Bian-te, dia hendak kami berikan kepada kongcu. Kalau kau mendahuluinya, tentu kau akan dihukum kongcu."

"Kongcu tidak tahu tentang dia, laginya, kalau sebentar lagi aku mati, kong-cu mau bisa berbuat apa kepadaku?" Si muka pucat memasuki bilik dan dua orang kawannya hanya saling pandang.

"Dia terluka hebat dan agaknya betul-betul tidak akan dapat ditolong, biarkanlah dia menebus kekalahannya dan membalas dendam," kata si rambut putih sambil mengeluarkan pipa tembakaunya dan mengisap. Si brewok juga mengangkat pundak.

Siu Bi telah terkena bubuk beracun Ang-hwa-tok (Racun Kembang Merah) yang membuatnya mabuk dan pingsan. Akan tetapi gadis ini adalah murid dari Hek Lojin, seorang tokoh dunia hitam. Ketika gadis ini mempelajari Iweekang, latihannya dengan berjungkir balik sehingga dalam pengerahan Hek-in-kang, jalan darahnya membalik dan sinkang di tubuhnya membentuk hawa Hek-in-kang yang beracun hitam.

Oleh karena itu, ketika ia terkena pengaruh racun Ang-hwa-tok, hanya sebentar saja ia tercengkeram dan pingsan. Pada saat itu, ia sudah mulai bergerak, biarpun masih pening dan ketika ia membuka matanya, cepat ia meramkan lagi karena segala yang tampak berputaran sedangkan darahnya di kepala berdenyut-denyut. Cepat ia mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh memabukkan ini. Untung baginya, ketika tadi terkena racun Ang-hwa-tok, ia baru mengerahkan Hek-in-kang sehingga tenaga mujijat inilah yang menolak sebagian besar pengaruh racun. Kini dengan sinkang, ia berhasil mengusir hawa beracun, akan tetapi pikirannya masih belum sadar benar dan ia merasa seakan-akan melayang di angkasa, belum sadar benar dan belum ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. la merasa seperti dalam alam mimpi.

Mendadak ada orang menubruk dan memeluknya sambil mencengkeram pundak. Siu Bi kaget bukan main, cepat membuka matanya. Hampir ia menjerit ketika melihat bahwa yang menindihnya adalah seorang laki-laki bermuka pucat bermata beringas dan mulutnya menyeringai liar, dari ujung bibirnya bertetesan darah menghitam! la tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang mengerikan ini terhadap dirinya, ia menyangka bahwa ia akan dibunuh dan dicekik, maka cepat Siu Bi mengerahkan seluruh tenaga Hek-in-kang yang ada pada dirinya, kemudian sambil meronta ia menggunakan kedua tangannya menghantam dengan pengerahan Hek-in-kang.

Lambung dan leher orang yang bermuka pucat itu dengan tepat kena dihantam, dia memekik keras, tubuhnya terpental dan roboh terguling ke bawah dipan. Ketika Siu Bi melompat bangun, ternyata orang itu sudah rebah dengan mata mendelik dan dari mulutnya bercucuran darah, nafasnya sudah putus!

Siu Bi bergidik mengenangkan bahaya yang hampir menimpa dirinya. Dengan penuh kebencian ia menendang mayat itu sehingga terlempar ke luar dari pintu bilik kecil. Sementara itu, si brewok dan si rambut putih yang sedang enak-enak duduk di atas perahu, terkejut bukan main mendengar pekik tadi. Cepat mereka melempar pipa tembakau ke samping dan melompat, menyerbu ke dalam bilik. Sesosok bayangan menyambar mereka. Si brewok menyampok dan bayangan itu adalah temannya sendiri, si muka pucat yang sekarang sudah menjadi mayat! Tentu saja di samping rasa kaget, mereka berdua marah sekali melihat seorang teman mereka tewas dalam keadaan seperti itu. Bagaikan due ekor beruang, mereka berteriak keras dan menyerbu ke dalam bilik.

Siu Bi menjadi nekat. la sudah siap dan telah mengerahkan Hek-in-kang untuk melawan. Akan tetapi sedikit banyak racun Ang-hwa-tok masih mempengaruhinya. la mencoba untuk menerjang kedua orang yang menyerbu itu dengan pukulan Hek-in-kang. Namun dua orang lawannya bukanlah orang lemah. Mereka itu, terutama si rambut putih, adalah jagoan-jagoan dari  Ching-coa-to dan mereka sudah tahu akan kelihaian ilmu pukulan Siu Bi, maka cepat mereka mengelak lalu balas menyerang.

"Gong-twako, kita tangkap hidup-hidup!" seru si brewok. Si rambut putih maklum akan kehendak kawannya ini. Memang, setelah gadis ini berhasil membunuh seorang kawan, kalau dapat menangkapnya dan menyerahkannya hidup-hidup kepada kongcu mereka di Ching-coa-to, bukanlah kecil jasanya. Pertama, dapat menangkap musuh yang membunuh seorang anggota Ang-hwa-pai (Perkum-pulan Kembang Merah), kedua kalinya, dapat menghadiahkan seorang gadis yang cantik molek kepada kongcu!

Siu Bi melawan dengan nekat, menangkis sepenuh tenaga dan mencoba merobohkan mereka dengan pukulan Hek-in-kang. Namun, kedua orang musuhnya amat kuat dan gesit, sedangkan kepalanya masih terasa pening. Tiba-tiba tampak sinar merah dan Siu Bi cepat-cepat menahan nafasnya, namun terlambat. Kembali ia mencium bau yang amat harum dan tiba-tiba ia menjadi lemas dan roboh pingsan lagi! Ternyata bahwa si rambut putih telah berhasil merobohkannya dengan bubuk racun merah, senjata rahasia yang menjadi andalan para tokoh Ching-coa-to.

Siapa mereka ini? Mereka bukan lain adalah tokoh-tokoh yang menjadi anggota sebuah perkumpulan yang disebut Ang-hwa-pai. Sesuai dengan namanya, para tokoh ini mempunyai tanda setangkai bunga berwarna merah menghias sebagai sulaman pada baju yang menutup dada kiri. Ang-hwa-pai bersarang di Pulau Ching-coa-to, yaitu Pulau Ular Hijau.

Kiranya para pembaca cerita Pendekar Buta masih ingat akan nama Ching-coa-to. Pulau ini adalah tempat tinggal Ching-toanio, ibu dari Giam Hui Siang dan ibu angkat dari Hui Kauw isteri Pendekar Buta. Setelah Ching-toanio meninggal dan kedua orang puterinya itu menikah dan meninggalkan Ching-coa-to, pulau itu menjadi kosong, hanya ditinggali bekas anak buah Ching-toanio yang hidup sebagai perampok dan bajak sungai.

Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang wanita yang kulitnya agak kehitaman, pakaiannya serba merah, wanita yang galak dan genit, yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi masih kelihatan pesolek dan genit sekali. Dia ini bukanlah wanita sembarangan dan para pembaca dari cerita Pendekar Buta tentu mengenalnya. Dia merupakan seorang di antara tiga saudara Ang-hwa Sam-ci-moi yang amat lihai ilmu silatnya. Di dalam cerita Pendekar Buta, tiga orang kakak beradik ini bertanding hebat melawan Pendekar Buta. Dua di antara mereka, yaitu Kui Biauw dan Kui Siauw, tewas dan yang tertua, Kui Ciauw, berhasil melarikan diri sambil membawa mayat kedua orang saudaranya. Wanita yang datang ke Ching-coa-to adalah Kui Ciauw inilah. Tentu saja para anak buah Ching-coa-to telah mengenalnya.

Di dunia hitam, siapa yang tidak mengenal Ang-hwa Sam-ci-moi yang malah lebih lihai daripada suci mereka, si wanita iblis Hek-hwa Kui-bo yang telah tewas pula? Karena percaya akan kelihaian Kui Ciauw, para anak buah Ching-coa-to mengangkat Kui Ciauw menjadi kepala dan wanita ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Ang-hwa-pai, sesuai dengan julukannya, yaitu Ang-hwa Nio-nio.

la sengaja mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang memiliki kepandaian tinggi, malah ia lalu melatih mereka dan menurunkan kepandaian melepas bubuk racun kembang merah kepada para pembantunya. Setelah masa peralihan kekuasaan, menggunakan keadaan yang kacau, perkumpulan hitam ini merajalela, merampok membajak dan keadaan mereka makin menjadi kuat karena banyak perampok ternama dan lihai yang melihat kemajuan dan pengaruh Ang-hwa-pai, lalu menggabungkan diri.

Ang-hwa Nio-nio atau Kui Ciauw ini tak pernah melupakan dendam hatinya terhadap Pendekar Buta yang telah membunuh dua orang adiknya. Akan tetapi maklum bahwa tidak mudah membalas dendam kepada orang sakti itu, ia tekun memperdalam ilmunya, bahkan ia menyusun kekuatan partainya dengan maksud kelak akan menyerang ke Liong-thouw san.

Ang-hwa Nio-nio, seperti lainnya para tokoh dunia gelap, biarpun sudah berusia hampir setengah abad, namun masih merupakan seorang wanita cabul yang gila laki-laki. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi bagi para anak buahnya akan kesukaan ketua ini mengumpulkan laki-laki yang masih muda dan tampan, menjadikan mereka itu kekasih atau "selir", tentu saja banyak di antara mereka yang melakukan hal ini karena dipaksa dengan ancaman maut.

Baru setelah muncul seorang pemuda tampan bernama Ouwyang Lam, kerakusannya mengumpulkan pemuda-pemuda tampan berhenti. Ouwyang Lam adalah georang pemuda dari daerah Shan-tung, bertubuh tegap kuat berwajah tampan, anak seorang bajak tunggal. Bersama ayahnya, Ouwyang Lam menggabungkan diri pada Ang-hwa-pai dan tentu saja pemuda tampan ini tidak terlepas dari incaran Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi, kali ini Ang-hwa Nio-nio "jatuh hati" betul-betul kepada Ouwyang Lam.

Agaknya cinta tidak memilih umur sehingga dalam usia hampir setengah abad, Ang-hwa Nio-nio benar-benar kali ini jatuh cinta! Segala kehendak Ouwyang Lain dituruti dan pertama-tama yang diminta oleh pemuda pintar ini adalah mengusir atau membunuhi puluhan orang "selir" laki-laki itu! la ingin memonopoli ketua Ang-hwa-pai, bukan karena cantiknya, melainkan karena kedudukannya yang mulia dan karena pemuda ini ingin mewarisi kepandaiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar