04 Rajawali Emas

Hek-hwa Kui-bo tentu saja maklum akan kehebatan serangan ini sungguhpun itu tidak tahu bahwa gerak tipu ini adalah jurus Sian-li-hut-si (Sang Dewi Mengebutkan Kipas) dan tidak tahu pula apa pecahannya. Ia hanya tahu bahwa kali ini lawannya yang muda itu mengeluarkan gerak tipu yang amat berbahaya. Ia tidak berani menangkis dengan pedangnya, takut kalau-kalau pedangnya biarpun juga pedang yang ampuh, tidak akan kuat menandingi keampuhan Liong-cu-kiam. Maka ia lalu menggerakkan senjatanya di tangan kiri yaitu saputangan suteranya yang beraneka warna itu. Jangan memandang rendah saputangan sutera yang halus lembek dan lebar ini. Biarpun kelihatannya beraneka warna dan indah seperti pelangi serta harum pula baunya, entah sudah berapa banyak nyawa diantarkan pulang oleh saputangari ini! Biarpun demikian halus dan lembek, namun sekali menotok jalan darah dengan ujung saputangan, ataw sekali rnengebut kepala orang, Hek-hwa Kui-bo sanggup membunuh orang itu! Pedang Liong-Cu-kiam terlibat oleh saputangan itu, tak dapat ditarik kembali sedangkan pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo secara tiba-tiba sekali menyambar dari kanan ke kiri menyerimpung sepasang kaki Li Cu. Kalau terkena sambaran ini, kiranya kedua kaki Li Cu sebatas lutut akan menjadi buntung. Pedang di tangan Li Cu masih terlibat saputangan sedangkan sekarang lawannya mcnyerangnya deugan pedang, sungguh keadaan yang amat sulit. Namun, gadis ini biarpun masih muda belia, kepandaiannya sudah hebat sekali. Melihat gerakan lawan sebelum pedang bergerak ia sudah tahu bahwa ia akan diserang bagian kakinya. Li Cu maklum bahwa dalam menggerakkan pedang menyerangnya, tentu tenaga tangan kiri Hek-hwa Kuibo yang memegang saputangan itu berkurang, maka ia mengerahkan tenaga dikumpulkan di tangan kanan, dan pada saat pedang lawan menyambar ke arah kedua lututnya, gadis perkasa ini mengenjot kakinya meloncat ke atas sambil membetot pedangnya. Gerakan ini selain cepat tidak terduga, juga amat kuatnya.

"Brettt!" Saputangan yang melibat pedang itu terputus menjadi dua dan kedua kaki Li Cu selamat terluput dari pada ancaman pedang yang ganas tadi! "Kurang ajar, kau merusak saputanganku?" Hek-hwa Kui-bo membentak marah akan tetapi Li Cu tidak memberi kesempatan lagi kepadanya. Gadis ini segera mengerahkan ginkangnya dan melakukan serangan bertubi-tubi mengandalkan kegesitan dan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Pedang tunggal di tangannya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang, sinarnya berkeredepan dan bergulung-gulung mengeroyok Hek-hwa Kui-bo.

Nenek ini juga marah sekali, biarpun saputangannya tinggal sepotong, namun tidak dibuangnya dan masih ia pergunakan untuk membantu pedangnya melakukan serangan-serangan balasan.

Tiba-tiba Li Cu terkejut mendengar keluhan Thio Ki dan melihat orang muda itu terhuyung-huyung. Ternyata ia telah kena dihantam dadanya oleh suling di tangan Giam Kin sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan ia terhuyung-huyung ke belakang. Sambil tertawa-tawa Giam Kin menendang lututnya maka robohlah Thio Ki.

"Bunuh dia, bikin mampus saja!" seru Kim-thouw Thian-li girang, Giam Kin masih tertawa-tawa ketika ia meloncat maju dan menusukkan sulingnya ke arah kepala Thio Ki. Pasti akan berlubang kepala orang muda itu kalau terkena tusukan ini. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih diikuti bayangan merah.

"Trangggg!" Ujung suling Giam Kin patah terbabat pedang Liong-cu-kiam yang tadi cepat digerakkan oleh Li Cu dalam usahanya menolong nyawa Thio Ki! Giam Kin terkejut dan meloncat mundur dan segera Hek-hwa Kui-bo yang tadi ditinggalkan Li Cu sudah mengejar pula lalu saling serang dengan gadis perkasa itu. Thio Ki yang sudah terluka parah tubuhnya bergulingan di atas genteng, terus terguling ke bawah dan baiknya tidak sampai terjatuh dari atas, melainkan terhenti oleh wuwungan sebelah bawah.

"Enci Kim Li, jangan kaubunuh Si Manis itu!, biar kauberikan kepadaku...haha- ha!" Giam Kin tertawa-tawa untuk menutupi malu dan kagetnya ketika sulingnya terbabat ujungnya oleh Li Cu tadi. Mendengar ini, Li Cu gelisah sekali, apalagi ketika ia mengerling, ia melihat betapa sucinya sekarang dikeroyok dua, payah sekali keadaannya.

Memang demikianlah. Menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang saja sudah berat sekali bagi Lee Giok, sungguhpun ia selama itu masih dapat melindungi diri dan mempertahankan, namun sama sekali ia sudah tidak mampu untuk balas menyerang. Sekarang melihat suaminya terluka dan roboh, hatinya makin risau dan bingung, apalagi setelah Giam Kin maju mengeroyoknya sambil nyengar nyengir dan mengeluarkan kata-kata memuakkan.

"Trangg... tranggg.....!!" Pedang di tangan Lee Giok terlepas dan jatuh ke atas genteng dengan bunyi berisik ketika pedang itu digempur dari kanan kiri oleh golok Kim-thouw thian-li dan suling buntung Giam Kin. Nyonya muda itu kini sudah tidak bersenjata lagi! "Ha-ha, Enci Kim Li, kurasa lebih baik kau membantu gurumu mengalahkan bidadari Thai-san itu, biarlah janda muda ini aku yang melayaninya...." Kim-thouw Thian-li memang sudah menguatirkan gurunya maka ia lalu meloncat dan mengeroyok Li Cu. Adapun Lee Giok dengan muka merah dan dada panas hampir terbakar menghadapi Giam Kin. Suaminya terluka dan kini ia dihina, disebut janda muda. Hati siapa takkan sakit? "Manusia berwatak iblis! Binatang, hari ini aku Lee Giok akan mengadu nyawa denganmu!" teriak Lee Giok yang cepat menubruk maju sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah ulu hati lawan disusul tendangan yang ditujukan kepada pusar. Kedua serangan susul menyusul ini merupakan serangan maut yang nekat karena dengan melakukannya, Lee Giok sebetulnya juga telah "membuka" beberapa bagian tubuhnya tidak terlindung lagi. Namun dia sudah tidak peduli lagi karena saking marah dan putus asanya, nyonya muda ini betul-betul sudah berlaku nekat dan ingin membunuh lawannya.

Namun sayang sekali bagi Lee Giok, lawannya terlampau kuat baginya. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam Kin, murid tunggal dari Siauw-ong-kwi tokoh pertama dari utara itu. Dengan tertawa mengejek Giam Kin menangkap pergelangan tangan Lee Giok yang memukul sambil menggeser kaki mengelakkan tendangan, kemudian sebelum nyonya muda itu sempat meronta, Giam Kin telah menotok jalan darahnya membuat ia tak dapat berkutik lagi.

"Ha-ha-ha, Enci Kim Li dan Hek-hwa Locianpwe, aku akan pergi lebih dahulu saja....!" katanya sambil memondong tubuh Lee Giok dan membawanya lari pergi dari tempat itu! "Bangsat Giam Kin, lepaskan suciku!" bentak Cia Li Cu marah sekali melihat Lee Giok hendak diculik, akan tetapi Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menghadangnya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan pengejaran kepada Giam Kin. Bukan main marahnya Li Cu ketika melihat betapa Giam Kin telah menghilang di dalam gelap membawa pergi Lee Giok.

Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kerena dia sendiri sedang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Ternyata bahwa selama ini Kim-thouw Thian-li telah menerima latihan-latihan dari gurunya sehingga kepandaiannya sudah meningkat cepat. Maka agak repot juga Li Cu dikeroyok dua oleh guru dan murid ini.

"Lepaskan Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Kembang)!" tiba-tiba Hek-hwa Kui-bo berseru kepada muridnya. Dua orang guru dan murid itu gemas juga ketika menghadapi kenyataan bahwa biarpun mereka mengeroyok, tetap saja ilmu pedang yang dimainkan Cia Li Cu tak dapat mereka gempur dan pecahkan, maka sekarang tiba-tiba mereka menggerakkan tangan kiri berulang-ulang.

Li Cu kaget sekali. Gadis ini cukup maklum akan bahayanya senjata rahasia yang keji dari dua orang lawannya ini. Ia maklum bahwa Kim-thouw Thian-li sudah amat terkenal dengan racun kembang yang menjadi keistimewaan Ngolian- kauw. Maka ia pun segera menutar pedangnya dengan gerakan yang disebut Sian-li-thouw-so (Sang Dewi Menenun), Runtuhlah belasan batang jarum halus yang dilepas oleh dua orang lawannya itu. Akan tetapi sekarang kedudukan Li Cu lemah sekali karena ia harus menghadapi serangan dan desakan dua orarig lawannya itu sambil menjaga kalau-kalau ada pelepasan senjata rahasia lagi. Ia mulai terdesak dari mulai mundur!

Pada saat yang amat berbahaya bagi diri Li Cu itu, tiba-tiba dari bawah berkelebat bayangan orang. Gerakannya demikian ringan seperti seekor burung terbang saja dan begitu tiba di atas genteng, orang ini berseru, "Kim-thouw Thian-li dan gurunya, di mana-mana mengacau saja!" Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang datang ini, akan tetapi Cia Li Cu biarpun selama hidupnya baru dua kali bertemu dengan orang ini, masih mengenal suara dan diam-diam ia menjadi girang sekali. Wajahnya tiba-tiba berubah merah dan dadanya berdebar, akan tetapi ia tidak mau mengeluarkan suara apa-apa melainkan terus mendesak dua orang lawannya seakan-akan tidak tahu akan datangnya bala bantuan.

Hek-hwa Kui-bo marah sekali karena tadinya dia dan muridnya sudah mulai mendesak hebat kepada Li Cu. Datangnya orang ini merupakan gangguan, maka cepat ia mengggerakan pedangnya membacok kepala orang yang baru datang sedangkan saputangannya yang tinggal sepotong itu pun diarahkan ke arah perut orang.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika potongnya hanya mengenai angin dan tlba-tiba saputangannya terbetot oleh orang itu dan terlepas dari pegangannya! Dengan tangan kosong orang itu dapat merampas saputangannya dan menghindarkan serangan pedangnya! "Siapa kau?" bentaknya marah.

"Hek-hwa Locianpwe, lupakah kau kepadaku? Aku tidak saja belum lupa kepada Locianpwe, malah tiga macam ilmu Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee yang kau ajarkan dulu pun masih teringat baik olehku!" Bukan main kagetnya Hek-hwa Kui-bo. Sekarang ia mengenal laki-laki muda ini.

"Beng san... Kau....? Kim Li, hayo kita pergi" Hek-hwa Kui-bo menarik tangan muridnya dan dua orang wanita itu maloncat lenyap di malam gelap.

Mengapa Hek-hwa Kui-bo nampaknya begitu takut kepada orang muda yang ternyata adalah Tan Beng San itu? Sebetulnya, Hek-hwa Kui-bo sudah mengenal Beng San semenjak jago pedang ini masih kecil. Dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan dengan jelas betapa di waktu kecilnya saja Beng San sudah "menerima kebaikan" dari Hek-hwa Kui-bo, yaitu diberi latihan Thaihwee (Api Besar), Siu-hwee (Simpan Api) dan Ci-hwe (Keluarkan api), padahal tiga macam ilmu diberikan sebetulnya dengan niat celakakan Beng San yang pada waktu itu tubuhnya sudah penuh dengan tenaga Yang-kang sehingga ilmu ini bisa menewaskannya. Kemudian setelah Beng San dewasa dan memiliki ilmu tinggi, Hek-hwa Kui-bo sudah pula melihat kepandaiannya ketika diadakan pertemuan memperebutkan gelar Raja pedang di Puncak Thai-san.

Maka, kedatangan pemuda yang memiliki ilmu tinggi ini tentu saja membuat ia maklum bahwa melawan terus takkan ada gunanya sehingga ia segera mengajak muridnya lari saja.

Cia Li Cu baru dua kali selama hidupnya bertemu dengan adik dari suhengnya ini, yaitu adik dari Tang Beng Kui. Akan tetapi dalam dua kali pertemuan itu ia mendapat kesan hebat akan diri Beng San, maka ketika tadi ia mengenai suaranya, hatinya menjadi girang sekali. Anehnya, entah mengapa, ia merasa malu juga bertemu dengan Beng San. Hal ini mungkin sekali karena ayahnya pernah menyatakan bahwa Beng San adalah "lebih baik" daripada Beng Kui yang menjadi tunangannya, atau mungkin ia merasa malu karena Beng San adalah adik Beng Kui. Entahlah, sesungguhnya bagaimana ia sendiri tidak tahu sebabnya. Pokoknya ia merasa malu bertemu dengan Beng San. Maka melihat dua orang lawannya kabur, Li Cu segera mengejar. Bukan hanya karena tidak ingin bertemu lama-lama dengan Beng San, akan tetapi terutama sekali karena ia hendak menolong sucinya, Lee Giok yang sudah terculik oleh Giam Kin.

Orang muda yang baru datang dan dalam segebrakan saja sudah dapat mengusir orang-orang yang memusuhi keluarga Thio Ki itu, memang benar adalah Beng San Si Raja Pedang. Seperti kita ketahui, orang muda ini dari Hoa-san-pai melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio Ki dan memberitahukan tentang keadaan Hoa-san-pai yang dirusak oleh Kwa Hong. Hati orang muda ini masih perih dan bukan main sedihnya setelah pertemuannya yang mengharukan dengan Kwa Hong di Hoasan- pai itu. Pedih dan sakit rasa hatinya kalau ia teringat betapa perbuatannya dengan Kwa Hong dahulu itu telah mengakibatkan terjadinya hal-hal yang demikian hebatnya. Kwa Hong telah mengandung dan hati wanita itu rusak binasa, membuatnya seperti gila dan berubah menjadi manusia yang ganas karena kepatahan hatinya. Dan semua itu karena dia! Beng San melakukan perjalanan siang malam, maka ketika ia tiba di Sin-yang pada waktu malam, ia tidak berhenti dan langsung ia mencari rumah Thio Ki dan mengunjunginya. Memang segala hal yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan dan diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia hanya memandangnya sebagai hal yang "kebetulan" saja. Demikian pula dengan munculnya Beng San malam-malam di rumah Thio Ki. Sungguh kebetulan sekali. Begitu melihat keadaan yang tidak sewajarnya Beng San mencari tahu dan terlihatlah olehnya pertempuran yang terjadi di atas genteng. Sayang ia agak terlambat sehingga tidak terlihat olehnya ketika Lee Giok terculik oleh Giam Kin.

Sekarang melihat bahwa Li Cu yang tadinya terdesak hebat oleh pengeroyokan guru dan murid itu dengan nekat mengejar, hatinya menjadi gelisah. la sudah mengenal baik kelihaian Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang curang dan amat licin itu, pcnuh tipu daya dan muslihat busuk. Maka ia berkuatir kalau-kalau Cia Li Cu yang biarpun amat lihai namun tentu kalah licin itu akan terjebak.

Segera Beng San menggerakkan kaki hendak mengejar pula. Akan tetapi tibatiba ia mendengar suara mengeluh kesakitan tak jauh dari tempat ia berdiri.

Ketika ia menghampiri, ia melihat Thio Ki rebah dalam keadaan terluka.

Segera Beng San memondongnya dan membawanya turun ke bawah.

Di ruangan dalam, di bawah penerangan lampu, Beng San memeriksa luka Thio Ki. Memang hebat, akan tetapi tidak amat berbahaya. Di Puncak Min-san, sedikit banyak Beng San mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun, maka di dalam perjalanannya ia pun membawa obatobat manjur untuk mengobati luka-luka pukulan dan racun. Setelah ia menotok jalan darah, mengurut dan memberi obat, Thio Ki dapat bangun dan duduk kembali.

"Saudara Beng San...." katanya mengeluh, "baiknya engkau datang.... tapi bagaimana dengan isteriku....? Bagaimana dengan Adik Cia Li Cu?" "Isterimu? Aku tidak melihatnya tadi.

Ketika aku datang, Nona Cia sedang bertempur, dikeroyok dua oleh Hek-hwa Kui-bo dan muridnya." Thio Ki meloncat berdiri. "Celaka! Dan kau tidak melihat isteriku? Tidak pula melihat Giam Kin?" Beng San menggeleng kepala dan Thio Ki segera menjatuhkan diri di atas pembaringan. "Celaka..... celaka sekali... tentu Lee Giok telah diculik oleh penjahat iblis itu...." Beng San adalah seorang yang amat cerdik. Sekilas saja ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu Giam Kin menawan Lee Giok. Pantas saja tadi Li Cu sama sekali tidak rnenghiraukannya dan terus mengejar.

Kiranya gadis Thai-san itu hendak menolong sucinya. la mengambil keputusan cepat.

"Dengar, Thio-twako. Kedatanganku ini pun membawa berita penting sekali.

Sekarang kita harus bertindak tegas dan cepat. Ketahuilah, Hoa-san-pai telah dirusak oleh sumoimu, Kwa Hong. Gurumu terbunuh, Kwa Hong menduduki Hoa-san-pai. Sekarang sudah pergi dan Hoa-san-pai dalam keadaan kacau tidak ada yang mengurus. Sutemu Kui Lok dan adikmu Thio Bwee juga diusir oleh Kwa Hong. Maka, biarpun kau terluka, kau sekarang juga harus ke Hoasan- pai, kau urus Hoa-san-pai baik-baik sambil beristirahat dan menyembuhkan lukamu. Obat ini kau bawa, kau minum sehari sebungkus.

Tentang isterimu dan Nona Li Cu, biarlah aku mewakilimu melakukan pengejaran. Sudah mengertikah kau?" Wajah Thio Ki sebentar pucat sebentar merah. Tak disangkanya bahwa akan terjadi hal yang demikian hebat, tidak saja yang menimpa keluarganya sendiri, malah Hoa-san-pai tertimpa malapetaka lebih parah lagi. Ia hanya bisa mengangguk-angguk, karena selain Beng San, siapakah yang akan dapat menolong isterinya? "Sudah, aku pergi!" kata Beng San dan sekali berkelebat orang muda itu sudah lenyap dari depan Thio Ki, membuat orang ini kagum bukan main. Thio Ki juga tidak mau berlama-lama di rumah, pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah pergi memaksa diri menuju ke Hoa-san-pai.

Cia Li Cu yang melakukan pengejaran, tidak melihat lagi adanya Giam Kin dan tidak tahu ke mana sucinya dibawa lari oleh manusia iblis itu. Maka karena yang lari di depannya hanyalah Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, mau tidak mau ia hanya bisa mengikuti dua orang itu. Dia tidak mau turun tangan terhadap Hek-hwa Kui-bo dan muridnya karena tujuan utamanya adalah untuk menolong sucinya, maka diam-diam ia hanya mengikuti dari jauh karena ia mengira bahwa dua orang itu tentu akan membawanya ke tempat Giam Kin yang menculik Lee Giok. Sungguh di luar dugaan Li Cu sama sekali bahwa tujuan perjalanan dua orang guru dan murid itu sama sekali berlawanan dengan jalan yang ditempuh oleh Giam Kin yang menculik Lee Giok! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li berlari menuju ke selatan, ke tempat tinggal Kim-thouw Thian-li, yaitu di Propinsi An-hui, di lembah Sungai Huai. Semenjak para pejuang berhasil merobohkan pemerintah Mongol, ibu kota lalu dlpindahkan ke Nan-king. Diam-diam Kim-thouw Thian-li juga lalu memindahkan pusat perkumpulannya, yaitu Ngo-lian-kauw, ke lembah Sungai Huai, tidak jauh dari kota raja baru ini, di sebelah baratnya. Perkumpulannya berpusat di sebelah utara kota Ho-pei. Guru dan murid ini memang tadinya hanya bermaksud membunuh Lee Giok dan Thio Ki, dibantu oleh Giam Kin.

Sekarang mereka sudah berhasil melukai Thio Ki dan juga Lee Giok telah diculik oleh Giam Kin, bcrarti usaha mereka itu sudah berhasil baik sekali biarpun mendapat tantangan dari orang-orang pandai seperti Cia Li Cu dan Tan Beng San.

Setelah mengikuti perjalanan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li selama lima hari, mulailah hati Li Cu menjadi gelisah dan curiga. Apalagl ketika ia mendapat kenyataan bahwa guru dan murid itu sekarang tidak lari lagi dan agaknya melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Ia merasa amat kuatir tentang diri sucinya. Ia mengambil keputusan bahwa kalau hari itu dua orang yang diikutinya tidak membawanya kepada Giam Kin, ia akan menerjang dengan nekat dan memaksa mereka mengaku ke mana sucinya itu dibawa pergi.

Akan tetapi, lewat tengah hari itu. Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tiba di sebuah dusun kecil di pinggir Sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Alangkah mendongkolnya hati Li Cu ketika ia mendengar dua orang itu hendak menyewa perahu untuk pergi ke pantai Kui-feng. Jelas bahwa dua orang ini hendak terus melakukan perjalanan ke selatan. Diam-diam ia menyelidiki dusun itu dan bertanya-tanya kepada para tukang perahu kalau-kalau dalam beberapa hari ini di situ lewat seorang laki-laki muda muka pucat membawa seorang wanita muda. Ia mendapat jawaban bahwa tidak ada orang-orang yang ditanyakannya itu. Maka mulailah Li Cu mengerti bahwa ia telah salah kira.

Agaknya dua orang yang diikutinya ini sama sekali tidak menuju ke tempat Giam Kin! "Hek-hwa Kui-bo, tunggu dulu!" begitu bentaknya sambil berlari mendekati ketika ia melihat dua orang guru dan murid itu hendak naik ke dalam perahu.

Nenek itu menoleh dan tersenyum mengejek, "Bocah bandel! Kau mengikuti kami selama lima hari terus-menerus, mau apa sih?" Bukan main mendongkol dan kagetnya hati Li Cu. Nenek ini benar-benar lihai dan bermata tajam. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li yang menoleh dengan terheran-heran agaknya tidak tahu akan perbuatannya mengikuti mereka siang malam itu.

"Hek-hwa Kui-bo, sahabatmu Giam Kin si iblis busuk itu telah menculik Enci Lee Giok. Aku mengikutimu untuk menanyakan di mana suciku itu dibawa pergi." Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek, "Kalau kau ada kemampuan, carilah sendiri, peduli apa aku dengan nasib sucimu?" "Kalau begitu, sebelum kubunuh iblis she Giam itu, lebih dulu kau dan muridmu akan kubasmi!" bentak lagi Li Cu sambil mencabut pedangnya. Pada saat itu, mendadak terdengar suara bersuit keras sekali datangnya dari tengah sungai yang lebar itu. Para tukang perahu dan nelayan yang berada di darat segera rnenjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah sungai. Keadaan sunyi senyap, sampai-sampai tiga orang yang tadinya akan bertempur itu ikut pula menengok ke arah suara tadi. Li Cu juga menunda penyerangannya dan memandang ke tengah sungai.

Sebuah perahu besar sekali dan mewah berada ditengah sungai dan dari kejauhan tampak beberapa orang di atas perahu itu memandang ke darat.

Kemudian terdengar suara yang nyaring bergema, suara yang penuh dengan tenaga khi-kang, sehingga bisa sampai di darat dengan jelas.

"Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Laut) mengundang Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li untuk berkunjung ke tempat kediamannya!" Suara ini bergema di permukaan air sungai.

Li Cu tidak pernah mendengar nama Tiga Raja Sungai dan Laut ini, rmaka ia tidak ambil peduli. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hwa Kui-bo dari Kim-thouw Thian-li. Hek-Hwa Kui-bo adalah seorang tokoh besar di selatan, maka sudah tentu saja ia mengenal nama besar Ho-hai Sam-ong. Kalau dia boleh dibilang merupakan tokoh nomor satu di dunia persilatan bagian daratan sebelah selatan, kiranya nama Ho-hai Sam-ong adalah nama tokoh nomor satu pula di bagian sungai dan laut! Demikian pula Kim-thouw Thian-li sudah mengenal nama besar ini yang sudah amat terkenal dan amat berpengaruh, karena Ho-hai Sam-ong dianggap sebagai pemimpin dari sekalian bajak sungai dan bajak laut di daerah selatan ini.

Sebuah perahu kecil meluncur cepat sekali ke pinggir sungai dan di ujungnya berkibar sebuah bendera dengan gambar tiga macam binatang air yang menyerupai buaya, naga dan ikan cucut. Pendayungnya hanya dua orang akan tetapi melihat betapa perahu itu cepat bukan main meluncurnya, dapat diketahui bahwa dua orang itu adalah orang-orang ahli.

"Tamu-tamu yang diundang silakan turun ke perahu!" seorang di antara dua pendayung itu berkata. Mereka adalah dua orang laki-laki yang usianya mendekati empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bermuka keras.

Hek-hwa Kui-bo berpaling kepada muridnya, dan berkata sambil tersenyum, "Sam-ong sudah begitu baik hati mengundang kita, tak baik kalau kita menolaknya." Setelah berkata demikian ia meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu kecil itu, diikuti oleh Kim-thouw Thian-li. Perahu itu sama sekali tidak bcrgoyang ketika kedua kaki Hek-hwa Kui-bo tiba di situ, dan hanya bergoyang sedikit ketika Kim-thouw Thian-li menyusul gurunya.

"Hek-hwa Kui-bo, jangan harap bisa pergi sebelum memberi tahu di mana adanya Giam Kin!" Li Cu membentak marah dan ikut pula melompat dengan gerakan indah dan cepat.

"Kau sudah bosan hidup!" Hek-hwa Kui-bo menyambut dengan serangan pedangnya ketika tubuh Li Cu masih berada di udara. Akan tetapi Li Cu memang sudah siap sedia, pedang Liong-cu-kiam sudah di tangannya dan pedang ini ia putar sedemikian rupa mendahului tubuhnya sehingga serangan Hek-hwa Kui-bo tertangkis dengan suara nyaring dan... ujung pedang Hekhwa Kui-bo telah patah! Sementara itu, Li Cu sudah mendarat di atas perahu, siap menghadapi pengeroyokan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li.

Pada saat itu, kembali terdengar suitan keras dari perahu besar di tengah sungai. Dua orang pendayung perahu kecil yang sudah menggerakkan perahu itu meluncur ke tengah, segera berhenti mendayung dan berkata, "Nona muda ini pun menjadi tamu undangan yang terhormat. Sam-wi (kalian bertiga) tidak boleh bertempur!" Akan tetapi, mana Li Cu sudi mendengarkan omongan ini? Sekarang bukan guru dan murid itu yang menyerangnya, sebaliknya dia yang cepat menggerakan pedang menyerang. Gadis ini sudah nekad sekali dalam usahanya untuk memaksa mereka memberi tahu di mana adanya Giam Kin yang menculik Lee Giok, Padahal perahu itu amat kecil dan kiranya akan terguling kalau dipakai untuk bertempur.

Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang berdiri berdampingan, terpaksa menyambut serangan ini dan dua orang tukang perahu itu menjadi bingung dan marah.

"Sam-wi tidak boleh bertempur!" berkali-kali mereka berseru dan perahu itu mulai terombang-ambing. Namun yang bertempur tetap nekat. ..

"Kalau tidak mau berhenti, kami akan gulingkan perahu!" kata dua orang pendayung. Sementara itu, para nelayan dan tukang perahu yang berada di pinggir sungai menonton kejadian yang menarik ini tanpa berani mengeluarkan suara.

Akan tetapi Li Cu tetap tidak mau berhenti menyerang. Dua orang tukang pendayung itu lalu meloncat ke dalam air dan sekali mereka bergerak, perahu kecil itu sudah terguling! Hebat sekali kegesitan tiga orang wanita ini dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Sambil berseru keras ketiganya meloncat ke atas. Perahu membalik dan tiga orang itu sudah turun kembali, kini berdiri di atas perahu yang terbalik! Dari pinggir sungai terdengar seruan-seruan memuji. Memang indah dan hebat gerakan mereka, seperti tiga ekor burung saja. Akan tetapi sekarang tiga orang wanita ini tidak berani sembarangan bergerak menyerang lagi karena perahu yang terbalik itu sudah bergoyang-goyang hebat, dan pasti mereka akan celaka kalau terjatuh ke dalam air. Li Cu berdiri di satu ujung dengan pedang siap di tangan, sedangkan di ujung yang lain berdiri guru dan murid itu, juga siap dengan senjata di tangan. Adapun dua orang tukang perahu itu sambil menyelam lalu berenang dan menarik perahu kecil itu menuju ke perahu besar. Benar-benar keadaan yang amat lucu dan aneh kedatangan tiga orang tamu yang diundang ini! Li Cu maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia tidak mengenal siapa itu Ho-hai Sam-ong dan karena tiga raja itu mengenal Hek-hwa Kui-bo, sudah tentu sekali orang-orang jahat dan ia tentu akan menghadapi pengeroyokan hebat. Oleh karena inilah maka ia berlaku nekat. Begitu perahu kecil sudah mendekat dengan perahu besar, Li Cu mengenjot tubuhnya dan bagaikan seekor burung kepinis tubuhnya melayang ke atas perahu besar dan di depannya bergulung-gulung sinar pedang yang ia putar-putar untuk menjaga diri.

Tiga orang laki-laki yang berpakaian gagah sudah berada di depannya sambil tertawa dan mengangkat tangan memberi hormat. Seorang di antara mereka yang paling tua tersenyum lalu berkata, "Nona muda berkepandaian hebat sekali. Kami kagum sekali.....kagum sekali.

Atas desakan Kiang-te (Adik Kiang) yang benar-benar kagum terhadap Nona, kami sengaja mengundang Nona dengan baik-baik. Harap Nona sudi menyimpan kembali pedang pusaka itu." Li Cu hanya berdiri tegak, tidak mau menyimpan pedangnya, tetap dalam keadaan siap siaga. Sementara itu, tiga orang itu pun berpaling kepada Hekhwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang sudah meloncat pula ke atas perahu lalu memberi hormat dan berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Hek-hwa kui-bo dan Kim-thouw Thian li, maka hari ini kami sengaja mengundang Ji-wi. Nona ini juga menjadi tamu kami, maka harap Ji-wi tidak memusuhinya selama dia menjadi tamu undangan kami." Hek-hwa Kui-bo membalas penghormatan mereka sambil berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Sam-ong. Hari ini menerima kehormatan dan undangan, hal ini berarti tidak melupakan hubungan dunia kang-ouw di daerah selatan. Tentu saja aku dan muridku tidak akan mengacaukan tempat Samong, kecuali kalau Nona muda galak ini menyerang kami, terpaksa kami mempertahankan diri." "Hek-hwa Kui-bo, apakah kau begini pengecut?" Li Cu membentak marah.

"Mengapa kau berlindung di tempat orang? Kalau kau gagah, mari kita mendarat dan kita melanjutkan pertempuran." Orang tertua dari ketiga Sam-ong itu segera menghadapi Li Cu dan berkata, suaranya tetap halus, "Nona, harap kau suka memandang muka kami dan tidak memusuhi dua orang tamu kami ini. Kelak kalau kau sudah tidak bersama kami terserah." "Aku tidak mengenal kalian, akan tetapi aku pun tahu akan peraturan kangouw dan tidak akan mengacaukan tempat kalian ini. Biarlah aku mendarat saja dan menanti sampai dua orang pengecut ini berani mendarat pula." "Ha-ha-ha, Nona muda besar sekali nyalimu. Hek-hwa Kui-bo sebagai tokoh terkenal di dunia selatan, masih sungkan menolak undangan kami. Sekarang kami mengundang kau dengan maksud baik, "bagaimana kau bisa menolaknya?" Pedang di tangan Li Cu menggetar. Memang dia adalah seorang gadis muda yang amat berani, apalagi ilmu silatnya memang tinggi sekali dan waktu itu ia memang sedang berada dalam keadaan marah. Sama sekali ia tidak gentar biarpun ia berada di tempat orang lain.

"Mana ada aturan mengundang orang dengan cara memaksa? Aku merdeka, untuk menerima atau menolak tiap undangan dan kali ini aku tidak ingin menerima undangan siapapun juga. Lekas sediakan perahu agar aku dapat mendarat kembali!" Kini orang ke tiga dari tiga orang itu melangkah rnaju. Suaranya tinggi kecil dan matanya yang sipit itu bercahaya tajam. Hebat adalah warna rnatanya yang sipit itu, karena warnanya merah seperti orang yang sakit mata.

"Nona, apakah kau belum pernah mendengar nama Ho-hai Sam-ong maka kau berani menolak undangan kami?" Li Cu balas memandang, tidak berani lama-lama menentang mata yang merah itu karena sebentar saja ia merasa matanya sakit. Tapi ia masih tabah dan tersenyum mengejek. "Belum pernah mendengar sama sekali, akan tetapi andaikata pernah mendengar juga, jangankan baru Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Lautan), biarpun Thian-te Sam-ong (Tiga Raja Bumi Langit) yang mengundang, sekali aku bilang tidak mau tetap tidak mau!" Orang ke dua melangkah maju dan tertawa bergelak. Seperti dua orang yang lain, orang ke dua ini pun usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi ia adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah. "Ha-ha-ha-ha, masih begini muda hebat kepandaiannya, dan ketabahannya luar biasa. Eh, Nona manis, kau ini puteri siapakah dan siapa pula namamu?" Kini Li Cu mendapat kesempatan untuk membanggakan keadaannya. Dengan senyum mengejek dan suara nyaring ia berkata, "Aku dari Thai-san. Ayahku adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding) Cia Hui Gan, namaku sendiri Cia Li Cu. Hayo lekas antar aku mendarat." Tiga orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak-gelak. Li Cu menjadi heran dan ia mulai memperhatikan mereka. Orang pertama bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali, kehitaman dan bopeng. Orang ke dua adalah yang tampan dan gagah itu, sedangkan orang ke tiga amat mengerikan dengan matanya yang merah. Belum pernah ia. mendengar nama Ho-hai Sam-ong dan diam-diam ia menduga-duga sampai di mana kelihaian mereka sehingga Hekhwa kui-bo yang terkenal sebagai iblis itu kelihatan sungkan bermusuhan.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Mata Kiang-te memang tajam, sudah dapat menduga ilmu pedang baik dan pedang pusaka. Nona, bukankah pedangmu itu yang disebut Liong-cu-kiam? Ke mana yang sebuah lagi? Ha-ha-ha, Nona, kau berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong. Aku sendiri dijuluki orang Lui Cai Si Bajul Besi, dia ini adalah adikku Kiang Hun Si Naga Sungai dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah! Ayahmu Cia Hui Gan sudah pasti pernah mendengar nama kami.

Nona, setelah ternyata kau puteri Cia Hui Gan, lebih-lebih lagi kami mengundang kau untuk berkunjung ke tempat kami. Ada sesuatu yang amat penting harus kami bicarakan dengan kau. Bukankah kau ini adik seperguruan dari Tan Beng Kui dan sudah menjadi tunangannya pula? Ha-ha, kebetulan sekali, kebetulan sekali! Kesempatan begini bagus mana kami mau lewatkan begitu saja?" Li Cu terkejut juga. Agaknya ada sesuatu di antara mereka ini dengan Beng Kui. Akan tetapi ia tidak peduli lagi. Jawabnya marah, "Tidak peduli kalian siapa dan ada urusan apa dengan suhengku, aku tetap tidak mau menjadi tamu kalian dan minta turun mendarat." "Kalau kami melarang?" tanya Si Naga Sungai Kiang Hon yang tampan itu.

"Kalian sudah tahu akan nama pedangku, kalau kalian melarang, berarti kalian akan berkenalan dengan tajamnya Liong-cu-kiam!" Tiga orang tua itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha," kata Thio Ek Si Cucut Mata Merah, "Kau belum mengenal kelihaian Ho-hai Sam-ong! Di darat kau boleh mengaku puteri Si Raja Pedang, akan tetapi disungai jangan harap kau akan dapat menjagoi." "Tidak peduli, aku tidak takut!" jawab Li Cu marah.

Si Cucut Mata Merah itu lalu tertawa-tawa dan mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah ruyung meruncing yang bentuknya seperti kikir, berduriduri banyak sekali. Senjata ini mirip dengan senjata ikan cucut, tapi lebih hebat lagi.

"Kita boleh main-main sebentar dengan Nona ini!" kata pula Kiang Hun Si Naga Sungai sambil mengeluarkan senjatanya yang juga aneh, yaitu semacam tambang lemas dan kuat, tambang yang biasanya untuk mengikat perahu di waktu berlabuh.

"Bagus, memang aku pun ingin merasai kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang sudah menggegerkan dunia persilatan," kata Lui Cai Si Bajul Besi sambil menerima senjatanya dari anak buahnya yang sudah siap, yaitu sebatang dayung baja yang panjang dan berat.

Melihat betapa tiga Sam-ong ini sudah siap dengan senjata mereka yang hebat, Li Cu cepat bergerak. Nona ini maklum bahwa ia tidak mempunyai harapan untuk membujuk dengan omongan halus, terpaksa harus mengadu kepandaian untuk memaksa mereka. Nyalinya memang besar sekali, biarpun ia sudah dapat menduga bahwa mereka ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun ia tidak takut.

"Lihat pedang!" teriaknya dah tubuhnya berkelebat, lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya yang luar biasa itu.

"Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!" tiga orang kakek itu berseru sambil menggerak-gerakkan senjata masing-masing menangkis. Terdengar bunyi trang-trang dua kali ketika pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bertemu dengan ruyung dan dayung. Ujung ruyung dan dayung itu terbabat sedikit, tapi tangan Li Cu juga tergetar oleh pertemuan senjata itu dan ketika tambang di tangan Kiang Hun membelit pedangnya, hampir saja pedang itu dapat dirampas kalau Li Cu tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat mundur dengan cepat.

"Pedang bagus!" Lui Cai dan Thio Ek Sui yang terusak ujung senjatanya berseru sambil memeriksa senjata mereka. Juga Li Cu diam-diam kaget bukan main karena dalam gebrakan pertama tadi hampir saja pedangnya terlepas oleh Kiang Hui Si Naga Sungai yang bersenjata tambang itu. Di samping ini ia cukup maklum bahwa para lawannya memiliki tenaga yang bukan main besarnya sehingga selanjutnya ia harus berlaku hati-hati sekali. Di lain pihak tiga orang Sam-ong itu kini tidak berani memandang rendah kepada nona muda itu dengan pedangnya yang ampuh. Sejenak saling pandang mereka sudah mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaian agar jangan sarmpai kalah oleh seorang gadis muda.

Kiang Hun Si Naga Sungai memutar-mutar tambangnya, makin lama ia ulur makin panjang. Tambang itu mendesing di udara, mengeluarkan bunyi mengerikan dibarengi angin sambarannya yang dahsyat. Lui Cai juga menggerakkan dayung bajanya yang panjang dan berat berubah menjadi lingkaran sinar kehitaman yang bersiutan. Adapun Thio Ek Sui memainkan ruyungnya, merubah ruyung yang hanya sebuah itu menjadi belasan buah nampaknya dan setiap bayangan ruyung mempunyai gerakan sendiri seakanakan ada belasan orang yang main ruyung. Hebat sekali tiga orang ini sehingga diam-diam Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menjadi kagum dan diam-diam bersyukur bahwa mereka tadi tidak memusuhi tiga orang raja bajak itu.

Li Cu sendiri ketika menyaksikan ini maklum bahwa seorang diri saja ia tidak akan menang menghadapi tiga lawan berat ini. Apalagi di situ masih ada Hekhwa Kui-bo dan muridnya yang kalau setiap waktu maju pula, tentu dia akan celaka. Maka ia segera mengeluarkan suara ejekan, Ho-hai Sarri-ong? Tiga orang tua yang menyebut diri raja-raja menghadapi seorang gadis muda dengan mengeroyok?" "Ha-ha-ha, Nona, apakah kau takut?" kata Lui Cai.

Pertanyaan macam inilah yang menjadi pantangan bagi Li Cu. Semenjak kecil ia dididik berjiwa satria yang tidak pernah mengenal artinya takut, apalagi kalau hal itu dikemukakan oleh orang lain. Ia mengertak gigi dan membentak, "Siapa takut? Biarlah hari ini aku Cia Li Cu mengadu nyawa dengan kalian tiga orang tua bangka tak tahu malu!" Setelah berkata demikian, cepat ia mainkan jurus-jurus Sian-li Kiam-sut yang amat indah dan hebat dan sengaja ia mainkan jurus pertahanan saja untuk menyelamatkan dirinya.

"Ha-ha-ha, Nona Cia yang gagah, kami sama.sekali tidak menghendaki nyawamu, hanya terpaksa menahanmu disini," demikianlah kata Lui Cai. "Jiwi- sute, mari kita tangkap dia tanpa melukainya, kalau kita tidak bisa melakukan itu percuma kita menjadi Ho-hai Sam-ong!" Hal ini memang jauh lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.

Mengalahkan Li Cu tanpa melukainya merupakan hal yang bukan main sukarnya, seperti orang hendak menangkap burung walet tanpa memanahnya roboh. Gerakan Li Cu selain gesit dan ringan juga ilmu pedangnya amat sukar diikuti, gerakannya aneh dan sinar pedangnya bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya sehingga andaikata turun hujan, takkan ada setetes pun air hujan dapat membasahi tubuhnya! Namun harus diakui bahwa Li Cu terdesak hebat. Gadis ini merasa seakanakan menghadapi benteng baja yang amat kokoh kuat dan dari benteng baja itu bertubi-tubi datang penyerangan yang amat berbahaya. Dia sama sekali tidak diberi kesempatan menyerang dan dipaksa untuk terus-menerus mempertahankan dirinya. Delapan puluh jurus lebih telah lewat dan perlahanlahan Li Cu merasa kepalanya pening. Dia harus memperhatikan gerakan tiga macam senjata lawan dan hal ini membuat ia pening dan ber "Huh, hanya begini sajakah kegagahan kunang matanya.

"Lepas senjata!" Lui Cai dan Thio Ek Sui membentak keras dan berbareng senjata mereka, dayung baja dan ruyung yang berat itu menyambar dari kanan kiri untuk memukul runtuh pedang Li Cu yang agak terlambat gerakannya karena matanya berkunang-kunang.

"Tranggg... tranggg....!" Ruyung dan dayung patah menjadi dua terkena Liong-cu-kiam, akan tetapi pedang itu sendiri terlepas dari pegangan Li Cu karena telapak tangannya pecah oleh benturan senjata tadi dan kini, Liong-cukiam meluncur dan menancap ke atas dek perahu. Pada saat itu juga, tambang yang digerakkan oleh Kiang Hun secara hebat itu telah datang membelit-belit tubuh Li Cu sehingga gadis itu tak dapat berkutik lagi. Namun, gadis itu biarpun seluruh tubuhnya terlibat tambang yang amat kuat, ia masih terus berdiri tegak dengan kepala dikedikkan dan sepasang mata bintangnya memancarkan cahaya berapi-api.

"Kalian tua bangka-tua bangka dengan pengeroyokan telah dapat mengalahkan aku. Sekarang aku telah tertangkap, mau bunuh boleh lekas bunuh!" bentaknya gagah.

"Ha-ha, kau benar-benar gagah perkasa Nona. Tapi kami tidak bermaksud membunuhmu, hanya ingin menahanmu untuk memaksa tunanganmu berunding dengan kami!" kata Lui Cai Si Bajul Besar.

"Sam-ong harap jangan gegabah. Lebih baik bocah liar ini dibunuh dan mayatnya dilempar ke sungai. Kalau ditahan dan sampai tersusul oleh bocah siluman Tan Beng San, bisa-bisa kalian mengalami hari naas!" kata Hek-hwa Kui-bo.

Tiga orang itu mengerutkan keningnya ketika menoleh ke arah pembicara ini.

"Kui-bo, siapa itu Tan Beng San yang kaupakai menakut-nakuti kami?" Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek. "Hemm, kalian boleh tidak takut terhadap bocah liar ini atau terhadap ayahnya sekalipun. Akan tetapi jangan main-main kalau menghadapi Tan Beng San adik Tan Beng Kui itu, dialah sesungguhnya Raja Pedang di dunia ini yang memiliki Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut." Tiga orang itu saling pandang, kemudian tertawa bersama. "Adik Tan Beng Kui? Masih adakah orang muda begitu hebat? Boleh.... boleh, kebetulan sekali, biarkan dia datang pula agar lebih enak kita bicara dengan Tan Beng Kui kelak.

Ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian. Lui Cai memberi perintah kepada sutenya, yaitu Kiang Hun untuk melepaskan ikatan tambang pada tubuh Li Cu.

Dia sendiri mengambil pedang Liong-cu-kiam dan disimpannya.Tiga orang yang berani melepaskan kembali Li Cu begitu saja terang memandang rendah kepada gadis ini setelah terampas pedangnya. Li Cu sendiri juga tidak gegabah untuk mengamuk lagi setelah Liong-cu-kiam terampas. Ia cukup cerdik untuk tidak berlaku sembrono.

0 "Asal kau tidak memberontak, kami tidak merasa perlu untuk mengikat atau menotok jalan darahmu," kata Lui Cai. "Juga kami harap selama kau menjadi tamu, kau tidak akan membikin ribut dan bertengkar dengan Hek-hwa Kui-bo dan muridnya." Li Cu menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Ia merasa tidak berdaya dan jengkel sekali. Baru kali ini ia dibikin tidak berdaya oleh orang lain tanpa mampu melampiaskan kemendongkolan hatinya.

"Ho-hai Sam-ong, jangan berlaku rahasia. Kalian menahanku sebetulnya dengan maksud apakah?" tanyanya berani.

"Sama sekali bukan dengan maksud buruk," kata Lui Cai sambil menggelenggeleng kepala. "Nanti kita bicarakan sambil kita makan." Ia lalu memberi perintah kepada para anak buah bajak yang berada di perahu itu untuk menyiapkan hidangan. Meja besar diatur penuh hidangan untuk enam orang, yaitu pihak tuan rumah tiga orang dan para tamu tiga orang pula.

Baik Hek-hwa Kui-bo dan muridnya maupun Li cu diperlakukan dengan sikap hormat dan baik sehingga bagi mereka ini tidak ada kesempatan untuk merasa kurang senang. Sementara itu, tanpa terasa karena besarnya, perahu itu sejak tadi meluncur mengikuti aliran air, ditambah kecepatannya dengan layar yang berkembang.

Tanpa sungkan-sungkan Li Cu makan dan minum hidangan yang serba lezat itu sambil mendengarkan penuturan Lui Cai Si Bajul Besi yang menjadi orang tertua di antara Ho-hai Sam-ong.

"Kalau dibicarakan membikin orang menjadi tak enak makan tak nyenyak tidur saking penasaran," demikian Si Baju Besi mulai penuturannya. Selanjutnya ia bercerita demikian. Ketika rakyat memberontak terhadap Pemerintah Mongol tidak hanya para orang gagah di dunia kang-ouw yang ikut berjuang di samping rakyat kecil. Akan tetapi juga banyak di antara mereka yang tergolong tokoh-tokoh dunia hitam (penjahat) juga bangkit semangat patriotnya dan ikut pula berjuang mati-matian. Di antara mereka ini yang paling hebat dan gigih perjuangannya adalah Ho-hai Sam-ong inilah.

Merekalah yang banyak berjasa dalam penyeberangan para pejuang, dengan pengiriman ransum bagi para pejuang dan banyak pula pihak musuh mereka hancurkan di sepanjang lembah Sungai Huang-ho. Malah dalam perjuangannya ini, tidak hanya Ho-hai Sam-ong kehilangan banyak anak buah yang gugur, bahkan Lui Cai dan Thio Ek Sui kehillangan putera mereka yang ikut gugur dalam perjuangan itu.

Akan tetapi, setelah perjuangan berhasil, mereka menjadi kecewa. Memang, tak dapat disangkal lagi bahwa manusia-manusia yang bukan patriot sejati, ikut berjuang karena mempunyai pamrih (ambisi) mempunyai pengharapan agar kalau perjuangan itu berhasil, dia tidak dilupakan dan diberi jasa sebanyaknya. Demikian pula dengan Ho-hai Sam-ong. Mereka seakan-akan dilupakan, malah ketika mereka menonjolkan jasa, para pembesar baru di kota raja tidak mau menerima, malah mencurigai mereka yang berasal dari golongan bajak.

"Ciu Goan Ciang seorang serakah tak kenal kawan seperjuangan!" demikianlah Lui Cai menutup ceritanya. "Setelah perjuangan berhasil dan dia menduduki singgasana menjadi kaisar, ia lupa bahwa tanpa bantuan orang-orang lain tak mungkin ia dapat mengalahkan orang-orang Mongol. Dia tidak menghargai jasa orang lain, malah berusaha melenyapkan semua tokoh pejuang yang ia anggap saingannya dalam memperebutkan kedudukan tinggi. Siapakah tidak penasaran?" Li Cu yang mendengarkan cerita ini sebenarnya tidak merasa aneh karena dia sendiri sering kali berada di kota raja dan cerita tentang perebutan pahala antara para tokoh pejuang ini sudah dia ketahui. Memang banyak bekas pejuang tidak puas dengan sikap Goan Ciang dan banyak yang iri hati sehingga setelah mereka semua berhasil menumbangkan kekuasaan Mongol dari tanah air, sekarang di antara mereka sendiri timbul perebutan dan permusuhan.

"Kalau kalian merasa penasaran kepada kaisar baru, mengapa menahan aku? Apa hubunganku dengan segala macam perebutan kekuasaan dan saling menonjolkan pahala itu?" tanya Li Cu heran, juga penasaran.

Lui Cai menarik napas panjang. "Sudah kukatakan tadi bahwa yang merasa tidak puas terhadap Ciu Goan Ciang adalah banyak sekali. Sayangnya, perasaan mereka ini membangkitkan pemberontakan menyendiri sehingga terjadi permusuhan dan perpecahan. Di antara saingan kami itu adalah Pangeran Lu Siauw Ong yang kelihatannya paling besar keinginan hatinya untuk merampas singgasana dari tangan kaisar baru. Bagi kami, sama sekali tidak mempunyai keinginan menjadi kaisar, kami hanya ingin menghukum Ciu Goan Ciang yang tidak menghargai jasa orang. Nah, kau tahu sekarang.

Suhengmu itu adalah orang kepercayaan Lu Siauw Ong, malah kini menjadi tangan kanannya. Sudah beberapa kali kami hendak mengajak Lu Siauw Ong bekerja sama untuk menggulingkan Ciu Goan Ciang akan tetapi mereka itu, terutama suhengmu, memandang rendah kepada kami. Sekarang, kebetulan kau menjadi tamu kami, hendak kami lihat apakah Tan Beng Kui masih hendak berkeras kepala dan terlaiu angkuh!" Mendengar ini, hati Li Cu serasa tertusuk karena ia segera terkenang akan nasibnya. Agaknya tiga orang kepala bajak ini juga masih belum tahu betul apa yang baru-baru ini terjadi. Ia masih dianggap tunangan Beng Kui sehingga kini ia dijadikan tawanan untuk memancing datangnya Beng Kui agar suka diajak bersekutu oleh Sam-ong ini. Teringatlah ia betapa Beng Kui telah mengkhianatinya dalam ikatan jodoh mereka. Tan Beng Kui tidak saja menjadi pembantu dan tangan kanan Lu Siauw Ong, malah sekarang telah menjadi mantunya! Ya, Tan Beng Kui suhengnya dan tunangannya itu setelah selesai perjuangan juga terserang demam ambisi, setelah dekat dengan Pangeran Lu Siauw Ong dan diberi janji-janji kedudukan tinggi, menjadi mabok. Malah akhirnya, demi untuk mencapai cita-cita ambisinya, Beng Kui meninggalkannya, memutuskan ikatan jodoh dengannya dan suka dikawinkan dengan Lu-siocia, puteri Lu Siauw Ong! Inilah yang membuat hati Li Cu hancur dan gadis ini lalu minggat dari kota raja, tidak mau pulang ke Thai-san dan merantau dengan hati hancur sehingga ia tiba di tempat tinggal sucinya, Lee Giok. Tadinya ia hendak mengeluh dan mengadukan nasibnya yang buruk kepada Lee Giok itu, siapa kira Lee Giok sendiri sedang ditimpa malapetaka sekeluarga sehingga dia yang ingin menolong sekarang akibatnya malah tertawan oleh Ho-hai Sam-ong dan dipergunakan untuk memancing datangnya Tan Beng Kui! Ah, kalau nasib sedang mempermainkan orang.

Ia pun tidak mau banyak cakap lagi, malah diam-diam ia hendak melihat apa yang akan menjadi reaksi dari pihak Tan Beng Kui kalau mendengar bahwa dia menjadi tawanan Ho-hai Sam-ong. Sementara itu ia mendengar betapa tiga orang kepala bajak itu membujuk-bujuk Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li untuk membantu usaha mereka dan betapa guru dan murid itu menyanggupi. Tapi ia tidak pedulikan itu semua dan perahu terus meluncur cepat.

Seperti juga halnya dengan Li Cu, Beng San mengejar ke selatan, sama sekali tidak mengira bahwa Giam Kin yang menculik Lee Giok itu lari menuju ke utara. Mudah saja bagi Beng San untuk mengikuti jejak tiga orang wanita yang saling berkejaran itu karena di sepanjang perjalanan ia selalu bisa mendapat keterangan tentang mereka. Akhirnya ia sampai juga di dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho di mana terjadi pertempuran antara Li Cu dan Ho-hai Samong.

Tentu saja ia segera mendengar dari para nelayan bahwa gadis baju merah yang dicarinya itu telah datang ke tempat itu pada dua hari yang lalu, malah ia mendengar cerita yang amat menarik akan tetapi mendebarkan jantungnya tentang peristiwa di perahu Ho-hai Sam-ong. Beng San sendiri belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi mendengar penuturan para nelayan, ia tahu bahwa tiga orang itu adalah kepala-kepala bajak yang berkepandaian tinggi dan amat berpengaruh.

la pun, mendengar bahwa Ho-hai Sam-ong mempunyai sarang di dekat kota Cin-an, yaitu di sebuah perkampungan bajak di pinggir Sungai Huang-ho tak jauh dari kota itu, dan mendengar bahwa anak buah bajak laut dan bajak sungai yang menjadi anak buah tiga raja bajak itu ratusan orang jumlahnya, semua dipusatkan di perkampungan itu. Karena sama sekali tidak bisa mendapat keterangan tentang Giam Kin yang membawa Lee Giok, Beng San merasa ragu-ragu, akan tetapi ia melanjutkan perjalanan maksud menolong Li Cu yang jatuh ke dalam kekuasaan para bajak.

Tak seorang pun nelayan berani ke sarang bajak di dekat Cin-an terpaksa Beng San melakukan perjalanan melalui darat mengikuti sepanjang pantai Huang-ho terus ke timur. Ia melakukan perjalanan cepat karena ia menguatirkan keselamatan Li Cu, juga ingin lekas-lekas bertemu dengan gadis itu untuk bertanya tentang nasib Lee Giok yang masih belum ia ketahui.

Sama sekali orang muda itu tidak ta hu bahwa di dusun kecil itu, seperti juga di semua tempat di sepanjang Sungai Huang-ho, terdapat beberapa orang anggauta bajak sungai yang bertugas sebagai penyelidik. Para penyelidik inilah yang selalu memberitahukan kawan-kawannya tentang perahu-perahu pedagang atau perahu-perahu pembesar yang hendak lewat, malah mereka bertugas pula untuk mencari keterangan perahu mana yang membawa barang berharga sehingga semua pekerjaan yang dilakukan Ho-hai Sam-ong selalu berhasil baik. Beberapa orang penyelidik ini sudah diberi tahu tentang keadaan Beng San yang mereka dengar dari Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, maka begitu orang muda ini muncul, mereka segera mengenalnya dan cepatcepat mereka mengirim berita ke tempat tinggal Ho-hai Sam-ong! Inilah sebabnya mengapa Beng San menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika ia tiba di luar perkampungan bajak di tepi Sungai Huang-ho pada keesokan harinya di waktu senja, ia menghadapi barisan bajak di luar kampung yang sudah menanti kedatangannya! Barisan bajak itu terdiri dari seratus orang, dibagi menjadi empat lapisan dan di tiap lapis dipimpin oleh seorang kepala bajak yang gagah. Lapis pertama adalah barisan bersenjata tombak, ke dua barisan bersenjata golok, ke tiga barisan ruyung dan ke empat barisan pedang.

"Orang muda, apakah kau yang bernama Tan Beng San dan datang hendak membebaskan Nona Cia Li Cu?" demikian kepala bajak di barisan terdepan membentak dengan suaranya yang keras parau.

Beng San dalam keheranan dan kekagumannya hanya tersenyum tenang.

"Memang betul dugaanmu, harap kau suka minta kepada Ho-hai Sam-ong supaya keluar dan bicara denganku." Kepala bajak itu tertawa sombong. "Ho-hai Sam-ong sudah tahu akan kedatanganmu dan mempersilakan kau menerjang maju kalau kau memang gagah!" Beng San mengukur dengan sudut matanya. Agaknya biarpun tidak mudah, ia masih sanggup menerjang masuk. Akan tetapi, di luar kampung saja penjagaan sudah begini ketat, apalagi di dalam kampung, tentu lebih diperkuat dan kiranya tidak mudah baginya untuk menolong Li Cu.

"Hemmm, tadinya kusangka nama besar Ho-hai Sam-ong mewakili tiga orang yang perkasa. Tidak tahunya hanya pengecut-pengecut yang mengandalkan pengeroyokan anak buahnya untuk menakut-nakuti aku!" Para bajak menjadi marah. "Orang muda, jangan lancang membuka mulut!" demikian kepala bajak membentak dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengeroyok Beng San. Tombak-tombak sudah bergerak mengerikan.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara keras bergema dari dalam kampung.

"Orang muda she Tan, Ho-hai Sam-ong tidak takut kepadamu. Anak buah menjaga di luar kampung dan melarang setiap orang asing masuk adalah menjadi kebiasaan kami. Kalau ada keberanian, malam ini kami menanti di ruangan rumah kami dan kau boleh coba-coba membebaskan Nona Cia dari tangan kami bertiga. Ha-ha-ha!" Mendengar ini, barisan bajak yang mengenal suara Kiang Hun, tidak berani sembarangan bergerak. Beng San juga dapat mengetahui bahwa itu tentulah suara seorang di antara ketiga Sam-ong, maka diam-diam ia maklum bahwa orang itu memiliki khi-kang yang kuat dan merupakan lawan berat. Ia pun berkata perlahan, "Baik Ho-hai Sam-ong, malam nanti aku datang untuk mengagumi kepandaian kalian." Bagi barisan di depan Beng San, orang muda ini hanya menggerakkan bibir terus membalikkan tubuh dan pergi. Akan tetapi bagi Ho-hai Sam-ong di dalam kampung, mereka bertiga mendengar suara ini dengan jelas biarpun perlahan-lahan. Diam-diam mereka kagum sekali karena khi-kang yang dipergunakan oleh orang muda itu untuk "mengirim suara" merupakan kepandaian yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, Maka mereka lalu bersiap-siap untuk menghadapi kedatangan pemuda yang oleh Hek-hwa Kuibo dipuji-puji kepandaiannya itu.

Malam itu gelap gulita. Hal ini amat menguntungkan Beng San karena biarpun penjagaan di luar kampung diperketat, namun berkat kepandaiannya ia dapat juga menerobos untuk dilindungi oleh kegelapan malam. Sebelum para penjaga mengetahui, ia sudah berada di atas genteng rumah terbesar di kampung itu. Ketika ia melihat, ternyata pihak tuan rumah sudah siap sedia.

Ruangan yang amat luas di situ telah dipasangi lampu penerangan yang banyak dan terang sekali. Ia melihat pula Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li berpakaian indah sekali dan nampak cantik menarik. Wanita ini sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki setengah tua yang tampan. Dia tidak tahu bahwa laki-laki itu adalah Kiang Hun Si Naga Sungai yang selain lihai dan tampan, juga terkenal mata keranjang, maka tidak membuang kesempatan untuk beramah tamah dengan Kim-thouw Thian-li yang juga "tua-tua kelapa" itu. Di dekat Kiang Hun duduk Lui Cai Si Bajul Besi dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah. Di ujung kiri duduk seorang gadis tanggung berusia paling banyak lima belas tahun, mukanya cantik dan bentuk wajahnya seperti Kiang Hun.

Memang dia ini adalah puteri tunggal dari Kiang Hun bernama Kiang Bi Hwa.

Semua orang yang duduk di sini agaknya telah siap karena semua, kecuali gadis tanggung itu, membawa senjata masing-masing. Kiang Bi Hwa tidak bersenjata, hanya memegang sebuah kipas bergagang gading dan tersulam indah sekali. Semua tampak tenang, hanya gadis tanggung ini yang agaknya gelisah, ataukah memang ia merasa hawanya panas? Ia mengebut-ngebutkan kipasnya tiada hentinya di depan leher.

Yang membuat darah Beng San menjadi panas adalah ketika ia melihat ke tengah ruangan yang kosong itu. Di situ ia melihat Cia Li Cu duduk di atas sebuah kursi dengan kaki tangan terbelenggu! Gadis itu tidak dapat bergerak sama sekali, namun duduknya masih kaku tegak, kepala dikedikkan dan sepasang matanya berapi-api. Sedikit pun tidak kelihatan takut, hanya kemarahan dan perlawanan yang tampak di muka yang cantik jelita namun kelihatan lesu dan lelah serta pucat itu. Hal ini tidak mengherankan oleh karena gadis ini dalam kemarahannya yang meluap-luap karena dirinya dijadikan "umpan" ini, telah menolak untuk makan dan tidak dapat tidur sama sekali. Ia malah melakukan perlawanan sehingga terpaksa ia dikeroyok, ditotok tidak berdaya lalu dibelenggu! Pedang Liong-cu-kiam malam itu sengaja diletakkan di lantai, di depan gadis tawanan itu.

Melihat Liong-cu-kiam yang pendek itu, Beng San mengilar sekali. Kalau saja pedang itu berada di tangannya, akan lebih mudah ia membebaskan Li Cu.

Akan tetapi ia pun bukan, orang bodoh, Kalau pihak lawan sudah sengaja menaruh pedang itu di sana, tentu di balik perbuatan ini ada maksud tersembunyi yang amat berbahaya. Ia tidak boleh gegabah, tidak boleh sembrono dan harus berlaku hati-hati dan bersikap waspada.

Tiba-tiba telinganya yang tajam men dengar sesuatu dan matanya melihat bayangan orang berkelebat di sebelah depan, Cepat ia menyelinap ke belakang wuwungan dan mengintai. Hampir ia tidak dapat menahan ketawanya ketika melihat ada tiga orang lain juga mengintai dari atas genteng ke bawah! Hatinya berdebar, Siapakah mereka? Dan apakah mereka juga datang untuk membebaskan Li Cu? Mungkin sekali. Cia Li Cu adalah puteri tunggal dari Butek Kiam-ong Cia Hui Gan, maka sekali terkena bencana tentu akan menarik hati orang-orang gagah untuk turun tangan menolongnya. Beng San bersikap menanti, hendak rnelihat apakah yang akan dilakukan oleh tiga orang itu yang melihat gerak-geriknya adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi.

Kalau tiga orang yang datang mengintai itu merupakan orang-orahg lihai kiranya yang berada di bawah juga tidak kalah lihainya. Tiba-tiba Lui Cai Si Bajul Besi berdongak ke arah tiga orang "'tamu malam" itu dan berkata, suaranya keras, "Sudah berani datang kenapa tidak terus masuk? Ada maksud lebih baik dibicarakan di dalam, kami sudah lama menanti!" Seorang di antara tiga tamu malam itu mengeluarkan suara tertawa, suara ketawanya halus dan ringan. "Ha-ha-ha, Ho-hai Sam-ong benar-benar hebat.

Kami turun!" Dan melayanglah tiga sosok bayangan orang ke dalam ruangan itu. Kaki mereka amat ringannya menyentuh lantai tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ginkang cukup tinggi.

Beng San terkejut dan berdebar hatinya ketika melihat bahwa seorang di antara mereka adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui! Pemuda ini sekarang agak kurus kalau dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika bertemu dengannya di Puncak Thai-san. Pedang Liong-cu-kiam yang panjang tergantung di punggungnya. Dua orang yang lain adalah seorang kakek berpakaian seperti tosu dan yang seorang lagi seorang laki-laki setengah tua yang gerak-geriknya gagah, dan angkuh. Juga mereka ini membawa pedang di punggung masing-masing.

Melihat tiga orang ini, Lui Cai Si Bajul Besi tertawa bergelak lalu berkata, "Selain Tan-ciangkun, juga datang Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh) Oh Tojin dan Ji Lu-enghiong yang ternama. Ha-ha-ha, benar-benar merupakan kehormatan besar bagi kami. Selamat datang... selamat datang....!" Adapun Beng Kui ketika melihat sumoinya (adik seperguruannya) duduk terbelenggu di tengah ruangan dalam keadaan tak berdaya, segera melompat hendak menolong.

"Ciangkun, awas perangkap!" tiba-tiba Koai-sin-kiam Oh Tojin berseru keras sambil melompat pula ke tengah ruangan. Adapun orang ke dua yang tadi disebut Ji Lu-enghiong (Pendekar ke dua she Lu) dengan tenang melompat pula, gerakannya ringan dan cepat mengejar Beng Kui.

Namun peringatan dari Oh Tojin itu terlambat karena Beng Kui sudah sampai di tengah ruangan. Sekali melompat saja ia tadi sudah sampai di dekat kursi yang diduduki Li Cu. Tiba-tiba terdengar bunyi berderit keras dan kursi yang diduduki Li Cu itu bergerak mundur sampai dua meter, kemudian lantai di tengah ruangan itu terbuka dan meluncurkan anak-anak panah menuju ke tubuh Beng Kui! Kalau saja Beng Kui bukan murid nomor satu dari Raja Pedang Cia Hui Gan, pasti ia akan roboh dan tewas oleh anak-anak panah yang ujungnya sudah diberi racun jahat itu. Belasan batang anak panah itu menyambar cepat sekali, Beng Kui berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri sejauh lima meter lebih dan terbebaslah ia dari ancaman anak-anak panah yang kini meluncur ke atas dan menancap ke langit-langit rumah itu! Dengan muka merah dan pedang Liong-cu-kiam di tangan, Beng Kui bersama dua orang temannya yang juga sudah mencabut pedang kini menghadapi tuan rumah. Beng Kui berseru marah.

"Ho-hai Sam-ong! Beginikah kalian menerima datangnya tamu yang kalian undang untuk berunding dan bersekutu? Beginikah sikap orang-orang gagah? Kalian menawan.sumoiku.Apa artinya ini?" Lui. Cai tertawa bergelak. "Tan-ciang kun, kau benar-benar gagah perkasa, tidak kecewa menjadi murid utama Bu-tek Kiam-ong! Harap jangan kau salah duga dan mengira kami memperlakukan tamu-tamu kurang hormat.

Sesungguhnya adalah kau sendiri yang sebagai tamu kurang menghormati tuan rumah sehingga tanpa bertanya kau lancang hendak turun tangan.

Ketahuilah, kami tidak mengganggu sumoimu dan seperti telah disebut dalam surat kami, sumoimu hanya menjadi tamu sementara saja sampai kau datang.

Akan tetapi tidak tahunya yaitu... ha-ha-ha, adik kandungmu sendiri yang bernama Tan Beng San dan kabarnya lihai bukan main. Karena dia itu akan datang malam ini untuk membebaskan sumoimu, maka kami sengaja mengatur demikian untuk menghadapinya. Sumoimu tidak apa-apa, kami tanggung! Nah, Sam-wi, silakan duduk! Mari kita berunding sambil menanti kedatangan adikmu yang lihai itu. Eh, benarkah berita yang sampai kepadaku bahwa adikmu itu sebenarnya adalah Raja Pedang yang tulen, yang lebih lihai daripada gurumu?" Merah muka Beng Kui ketika mendengar penjelasan panjang lebar ini, apa lagi mendengar ucapan pertanyaan terakhir itu. Beng San di sini? Dan hendak membebaskan Li Cu? Apa artinya ini? Di mana Li Cu bertemu dengan Beng San dan mengapa mereka bersama? Diam-diam timbul iri hati dan cemburu besar dalam hatinya. Memang betul bahwa dia telah menikah dengan putri Pangeran Lu, akan tetapi hatinya tidak puas mendengar Li Cu bergaul dengan Beng San! Juga tidak enak sekali hatinya melihat sumoinya terbelenggu di kursi itu, akan tetapi sekarang ia tidak berani bertindak sembrono apalagi pada saat itu Lu Khek Jin, yaitu orang tua yang datang bersamanya itu, berkata, "Betul sekali. Kedatangan kita untuk berunding. Soal yang lain boleh dibicarakan nanti. Sumoimu itu melakukan kesalahaan terhadap Ho-hai Samong maka ia ditawan. Kalau urusan kita dengan Ho-hai Sam-ong selesai dan berakhir baik, apakah Ho-hai Sam-ong tidak akan melepaskan sumoimu dan minta maaf kepada kita?" Ucapan ini ditujukan kepada Beng Kui dan orang muda ini tidak berani membantah lagi. Lu Khek Jin adalah kakak dari ayah mertuanya, yaitu Lu Siauw Ong. Ilmu silatnya tinggi dan dia adalah seorang bekas jenderal, seperti juga Lu Siauw Ong, dan berjasa besar dalam menumbangkan pemerintah Mongol.

"Ha-ha-ha, betul sekali ucapan Ji Lu-enghiong yang mulia! Di antara teman sendiri mana perlu banyak menyembunyikan urusan? Mari, mari, silakan duduk!" kata Lui Cai yang segera menyambung kepada adik seperguruannya, Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah. "Kaubereskan lagi anak-anak panah itu untuk menyambut kedatangan Tan Beng San!" Tanpa banyak cakap Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah menggerakkan tubuhnya dan sekali meloncat ia telah melayang ke atas dan kedua tangannya digerakkan. Dalam keadaan melayang itu sekaligus kedua tangannya sudah dapat menarik keluar belasan anak panah tadi dari langit-langit, kemudian ia berjumpalitan turun dengan kedua kaki sama sekali tidak mengeluarkan bunyi ketika menginjak lantai! Dengan cepat ia memasangkan kembali anak-anak panah itu, dan memulihkan pesawat rahasia yang menggerakkan kursi dan membuka lantai dengan peluncuran anak-anak panah itu.

Diam-diam Beng Kui kagum dan juga kaget sekali. Baiknya ia tidak keburu nafsu tadi ketika melihat sumoinya, tidak menurutkan panas hati dan tidak menyerang pihak tuan rumah. Kiranya nama besar Ho-hai Sam-ong bukan kosong belaka dan melihat cara orang termuda dari Ho-hai Sam-ong itu bergerak, terbukti bahwa mereka merupakan lawan-lawan kuat. Akan tetapi ketika mereka mengambil tempat duduk dan Beng Kui melihat Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li hadir pula di situ, keningnya berkerut.

"Ho-hai Sam-ong, urusan yang akan kita rundingkan adalah urusan rahasia di antara kita. Kuharap jangan ada orang orang luar mendengarkan perundingan kita," katanya dengan kening masih berkerut dan mata mengerling ke arah Hek-hwa Kui-bo.

Lui Cai Si Bajul Besi tertawa bergelak, lalu berkata sambil memandang dua orang wanita yang menjadi tamunya itu. "Kau maksudkan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li inikah? Ha-ha, jangan salah kira kawan. Mereka ini adalah pembantu-pembantu kami dan mereka itu seribu prosen boleh dipercaya!"

Suara Beng Kui dingin sekali ia menjawab, "Ho-hai Sam-ong, terus terang saja biarpun Sam-wi (kalian bertiga) termasuk golongan hek-to (jalan hitam atau penjahat), namun aku masih menganggap Sam-wi setingkat oleh karena aku tahu betul betapa hebat perjuangan Sam-wi pada waktu yang lalu. Sam-wi termasuk orang-orang gagah perkasa, patriot-patriot sejati. Akan tetapi, siapakah dua orang wanita ini? Mereka dahulu membantu penjajah Mongol, mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang tidak patut duduk bersama dengan kita, apalagi merundingkan urusan negara yang amat penting!" Kim-thouw Thian-li hanya mesem saja, akan tetapi tangan kirinya yang menekan ujung meja membuat ujung meja itu hancur dalam genggamannya! Ini menandakan bahwa Ketua Ngo-lian-kauw ini marah sekali. Adapun Hek-hwa Kui-bo tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang berderet putih dan rapi, lalu berkata halus, "Tan-ciangkun, apa sih bedanya antara kedudukan dan nama besar? Apa bedanya antara kemuliaan dan harta? Orang boleh saja berganti haluan demi cita-citanya. Kau dahulu saja membantu Ciu Goan Ciang, sekarang kau berbalik memusuhinya. Sebaliknya sejak dahulu sampai sekarang aku memusuhi Cu Goan Ciang,biar pun jalannya berbeda, dahulu membantu Kerajaan Goan sekarang membantu Ho-hai Sam-ong, namun tetap aku memusuhi Ciu Goan Ciang. Nah, katakan siapa sebetulnya yang berkhianat?" Menghadapi serangan ini Beng Kui menjadi bingung dan tak dapat menjawab.

Sementara itu, Lu Khek Jin segera maju menegah dan berkata kepada Beng Kui.

"Soal bantuan Hek-hwa Kui-bo dan murldnya adalah urusan Ho-hai Sam-ong, kita tidak berhak ikut campur. Nah, Ho-hai Sam-ong, silakan kalian mengajukan usul-usulmu dalam usaha bersama menghadapi keserakahan Ciu Goan Cian yang sama-sama kita benci." Mereka lalu berunding. Ruangan itu sunyi namun para penjaga dengan ketat menjaga di sekeliling rumah. Cia Li Cu masih duduk di kursi terbelenggu. Diam-diam gadis ini mendengarkan semua percakapan mereka. Sayangnya ia telah tertotok urat gagunya sehingga tidak dapat mengeluarkan suara. Kalau dapat, tentu saja ia telah rncndamprat mereka semua. Hatinya gelisah, bingung dan juga kecewa. Sekali lagi hancur hatinya menyaksikan sikap suhengnya, orang yang pernah mencuri hatinya, yang pernah ia jatuhi cinta kasihnya. Ternyata orang ini sekarang mengadakan persekutuan dengan bajak laut untuk menggulingkan Ciu Goan Ciang! Pihak tuan rumah ada lima orang yaitu Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui bo bersama muridnya, Kiang bi hwa tidak ikut berunding, hanya duduk menyendiri sambil kipas-kipas tubuhnya. Pihak tamu ada tiga orang dan mereka bicara dengan asyik sekali. Tidak hanya Cia Li Cu yang mendengarkan dengan teliti, juga tanpa diketahui oleh mereka semua, Beng San ikut pula mendengarkan. Maka tahulah ia akan segala persoalan yang terjadi semenjak pemerintah Mongol dirobohkan oleh perjuangan rakyat.

Dari percakapan itu ternyata bahwa setelah berhasil mengusir bangsa Mongol, Ciu Goan Ciang lalu mengangkat dirinya menjadi kaisar pertama dari Wangsa Beng dengan memakai gelar Thai Cu. Terjadilah perebutan kekuasaan antara para penggerak pemberontakan, antara para pimpinan yang tadinya berjuang bersama menumbangkan kekuasaan penjajah. Setelah musuh terusir pergi, kemuliaan membuat mereka yang tadinya merupakan patriot-patriot sejati itu menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan. Kaisar Thai Cu atau Ciu Goan Ciang tentu saja tidak mau mengalah dan banyaklah bekas-bekas kawan seperjuangan dibunuh, para jenderal yang sudah berjasa dibunuh pula.

Pendeknya Ciu Goan Ciang mulai mengadakan "pembersihan" agar kedudukannya tidak terancam.

Ho-hai Sam-ong termasuk orang-orang yang tidak puas dengan sikap Ciu Goan Ciang, karena permintaan mereka untuk menjadi "menteri negara" ditolak oleh kaisar baru ini yang menganggap bahwa tidak pantas. ia menggunakan bekas kepala bajak menjadi menteri. Juga Lu Siauw Ong dan kakaknya Lu Sin, diam-diam menaruh dendam karena mereka hanya diberi kedudukan rendahan saja, padahal mereka telah berjuang mati-matian.

Demikian pula Tan Beng Kui yang merasa iri hati dan tidak puas akhirnya dapat dibujuk oleh Lu Siauw Ong menjadi pembantunya, malah dikawinkan dengan puteri pangeran muda ini.

Karena kekuasaan Kaisar Thai Cu atau Ciu Goan Ciang itu makin lama makin besar dan kedudukannya makin kuat, maka Ho-hai Sam-ong mempunyai rencana untuk bersekutu dengan Lu Siauw Ong dan mereka akan mengadakan pergerakan dari luar dan dalam. Dari dalam, secara diam-diam Lu Siauw Ong akan bergerak sedangkan dari luar, Ho-hai Sam-ong akan mengumpuikan tenaga dan akan menggempur dari luar. Untuk keperluan ini, secara kebetulan mereka bertemu dengan Cia Li Cu yang mereka pergunakan untuk setengah memaksa Tan Beng Kui memenuhi undangan mereka. Mereka ini tahu belaka bahwa tangan kanan Lu Siauw Ong adalah Tang Beng Kui, mantu Pangeran itu sendiri, maka sengaja mereka hendak membujuk murid Bu-tek Kiam-ong ini.

"Banyak pembesar yang masih bertugas. di utara dapat kita tarik di pihak kita, demikian antara lain Ho-hai Sam ong yang diwakili oieh Lu Cai terkata. "Kita akan mencari kesempatan selagi Keluar Thai Cu berkunjung ke utara, kita menyergapnya dan kalian yang bekerja di kota raja harus pula mempergunakan kesempatan ini untuk bergerak di kota raja selagi kaisar tidak ada." Tan Beng Kui dan dua orng temannya menyatakan persetujuannya. Setelah perudingan berakhir, Kiang Hun berkata, "Tentang sumoimu itu, Tan-ciangkun, bagaimana baiknya? Dia adalah puteri Bu-tek Kiam-ong dan seperti kita tahu gurumu itu tidak bisa diajak berunding dalam urusan ini. Sudah pasti kita akan ditentangnya dan kalau rahasia persekutuan kita ini bocor...," "Hemm, amat berbahaya bagi kami yang bertugas di kota raja!" kata Lu Khek Jin sambil melirik ke arah Li Cu dengan kening dikerutkan. "Dia itu tidak boleh dibebaskan, sama sekali tidak boleh sebelum selesai rencana kita." "Kiranya tidak enak terhadap Tan-ciangkun kalau kami terus menahannya," kata Lui Cai sambil mengerling ke arah Beng Kui.

Kim-thouw Thian-li tersenyum manis dan mengerling tajam sambil berkata, "Tadinya nona itu selain sumoi juga tunangan Tan-ciangkun. Sekarang Tanciangkun sudah meninggalkannya dan menikah dengan gadis lain. Sudah tentu ia sakit hati dan hendak menuntut pembalasan. Hemm, gadis ini memang berbahaya sekali!" "Habiskan saja dia, beres tidak perlu pusing-pusing lagi kita," kata Hek-hwa Kui-bo.

"Tidak bisa!" Beng Kui membantah. "Betapa pun dia adalah sumoiku...." "Habis bagaimana?" Lu Khek Jin, paman isterinya bertanya sambil memandang tajam. "Bebaskan dia dan membiarkan dia mencelakai kita dengan membocorkan rahasia ini?" "Bukan begitu maksudku... eh, dia itu sumoiku... bagaimana aku bisa melihat dia dicelakai orang? Aku... eh, maksudku, bagaimana kalau Ho-hai Sam-ong sementara Ini menahan dia tapi memperlakukan dengan baik-baik? Soal penahanan dia itu pun harus dirahasiakan, kalau sampai ayahnya tahu... bisa repot juga. Apabila gerakan kita sudah berhasil, dia harus segera dibebaskan." "Kita menghadapi urusan negara, mengapa sibuk dengan urusan pribadi?" tiba-tiba Koai-sin-kiam Oh Tojin berkata dengan suaranya yang halus. "Nona ini adalah sumoimu, Tan-ciangkun. Apakah tidak bisa kaubujuk supaya dia membantu gerakan kita, atau setidaknya jangan mencampuri dan jangan membocorkannya? Dia keturunan orang gagah, kalau sudah mau bersumpah tidak akan membocorkan, pinto (aku) bisa percaya. Bukannya aku jerih terhadap ayahnya... hemm," ia meraba gagang pedang di punggungnya, "Malah sudah lama pinto ingin menjajal kepandaian Si Raja Pedang." Melihat ada orang membantu sumoinya, dengan girang Beng Kui lalu berdiri sambil berkata, "Baik kucoba bicara dengan dia... Ho-hai Sam-ong, perkenankan aku bicara dengan sumoiku sekarang." "Boleh, boleh...." kata Lui Cai dan Thio Ek Sui segera berdiri dan pergi mematikan pesawat-pesawatnya agar perangkap itu tidak bekerja. Dengan aman kini Beng Kui menghampiri Li Cu yang masih duduk dengan mata berapiapi memandang kepadanya. Gemetar kedua kaki Beng Kui ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang berapi-api Itu. Dengan membesarkan hati sendiri ia lalu melangkah maju dan menotok dua kali, Li Cu mengeluh perlahan, aliran darah di tubuhnya normal kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar