02 Raja Pedang

Pada suatu hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Kali ini dia tidak pergi terlalu jauh makadalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa. Gadis ini segera menghampiri ayahnya yang nampak tak senang dan marah-marah itu, penuh keheranan karena biasanya ayahnya amat sayang kepadanya dan tidak pernah marah.

"Sian Hwa mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus sampai di sini saja! Biar besok aku pergi naik ke Hoa san untuk memberi tahu gurumu.

Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!"

Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa takkan sekaget ketika mendengar perkataan ayahnya ini. kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu kini menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang pendekar wanita yang gagah ia bersikap tenang ketika bertanya, "Apakah sebabnya ayah menjadi marah-marah seperti ini? tentu telah terjadi sesuatu yang membuat ayah menjadi marah."

"Terjadi sesuatu?" Liem Ta membentak. "Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!"

mulai khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.

"Ayah, apakah sebenarnya yang telah terjadi?" hatinya benar-benar mulai merasa tidak enak karena ia sudah menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri tunangannya, Kwee Sin.

"Manusia she Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian hwa. Biarpun dia itu murid Kun lun pai, biarpun dia seorang diantara Kun lun Sam hengte namun sekarang ia telah tersesat. Dia gulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo lian kauw yang terpimpin iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendeknya aku tidak rela anakku menjadi istri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!"

dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu, "Aneh sekali kenapa orang bisa begitu tak tahu malu, ayah? Di manakah ayah melihatnya … eh mereka itu?"

"Di mana lagi kalau tidak di Telaga Pok yang! Bermain perahu, bernyanyi-nyanyi, minum-minum, uh ........… pendeknya, terlalu!" ayah ini menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat ke Hoa san untuk minta ketua Hoa san membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin.

Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa san karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.

"Ah", pikirnya dengan hati duka, "kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke Pok yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu …"

Dugaan Liem ta memang benar. Karena tak dapat menahan panasnya hati, gadis itu malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke telaga Pok yang yang tidak berapa jauh letaknya dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari. Akan tetapi ketika ia tiba di telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu diantara sekian banyaknya para pelancong. Ia bertanya ke sana kemari dan selagi ia mencari keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.

"Nona hendak mencari siapakah?"

Sian Hwa berterus terang. "Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar di sini bersama seorang pemuda yang …" ia tak sudi menyebut tampan dan menambahkan, yang mukanya putih …"

Tiba-tiba tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan "Apakah wanitanya itu seorang anggota Pek lian pai (partai Teratai putih) …?"

Sian Hwa terkejut. Pada masa itu, di mana Negara sedang kacau dan banyak perkumpulan – perkumpulan rahasia bertujan merobohkan pemerintah, nama Pek lian pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai seorang pendekar tentu saja Sian Hwa bersimpati terhadap perkumpulan Pek lian pai ini maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan si tukang perahu.

"Hemmmmm ….." ia meragu, "mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?"

"yang laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti Nona sekarang ini, bukan?"

"Ya ….ya …."

Tukang perahu itu tertawa. "Ah, pengantin baru seperti mereka itu kemana lagi kalau tidak berpesiar ke tempat-tempat indah? Kebetulan sekali ketika mereka berrpesiar di sini, mereka selalu mempergunakan perahuku, Nona. Aahhh, benat-benar pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta …."

"Ngaco!" Sian Hwa membentak marah sehingga tukang perahu itu nampak ketakutan. "Katakan saja, di mana mereka berada?"

"Nona yang pakai teratai putih di rambutnya itu …….dan pemuda tampan itu …..kemarin sudah pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak mengajak nona itu pergi ke dusun Lam bi chung …. ..dan …"

Sian hwa tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergidan lari cepat menyusul, kembali ke Lam bi chung. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu berkumis panjang itu tertawa mengejek.

Alangkah mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tidak dapat menyusul dua orang itu, buktinya sampai di dusun Lam bi chung, ia tidak melihat dua orang itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat ayahnya sudah rebah dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata ayahnya malam tadi diserang orang.

"Siapakah yang menyerangnya, sumoi? Dan apakah …. Apakah ayahmu meninggal akibat penyerangan itu?" Tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah karena dia rasa kurang baik anak-anak mendengarkan urusan besar.

Liem Sian hwa menyusut air matanya. "Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, twa suheng. Luka-lukanya berat dan ….dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedaang dekat leher, kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala bunga teratai putih ….."

"Hemmmm, pek lian ting (paku teratai putih) …" diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan pek lian pai! "Dan luka yang ketiga?"

tiba-tiba wajah Sian Hwa pucat sekali. "Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek lek jiu … dari Kun lun pai …"

Kwa Tin Siong hampir melompat saking kagetnya. "Apa ..?"

Sian Hwa berkata dengan sungguh-sungguh. "Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali, suheng. Tentu kau masih ingat dahulu suhu pernah menuturkan secara jelas sekali tentang Pek lek jiu Kun lun pai itu ermasuk tanda-tanda bekas oukulannya. Aku merasa yakin bahwa dada ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan Pek lek jiu (Pukulan Geledek) dari Kun lun pai …"

"Dan murid Kun lun pai yang terpandai menggunakan Pek lek jiu adalah …. Kwee Sin …!" kata jago pertama dari Hoa san Sieeng ini sambil merenung.

"Betul, twa suheng." Liem Sian Hwa menangis lagi. "Aku harus membalas dendam ….! Si keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa takkan mau sudah …."

"Husshhh, nanti dulu, sumoi. Kau tenanglah. Tak baik menjatuhkan dakwaan kepada seseorang tanpa bukti. Apalagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun lun Sam hengte, agaknya tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. andaikata buktinya kuat, habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?"

"Twa suheng masa tidak dapat menduganya? Dia ….manusia she Kwee keparat itu, setelah terlihat oleh ayah di Telaga Pok yang, agaknya merasa malu dan takut kalaukalau rahasianya disiar-siarkan oleh ayah. Dia dan …siluman dari Pek lian pai itu ….tentu mengerjar ke sini dan membunuh ayah …"

"Kenapa begitu yakin?"

"Ayah sendiri yang mengatakan demikian, twa suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal ini, biarpun amat sukar dia bicara." Sian Hwa menghapus air matanya yang bercucuran deras ketika ia bicara tantang ayahnya. "menurut ayah, malam itu ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada jendela.

Begitu ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang mengarah leher, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh ayah. Kemudian ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat ayah hampir pingsan. Sebelum pingsan ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian terasa sakit pada pinggangnya karena tertusuk paku itu. Yah masih mendengar kata-kata seorang lakilaki yang mengatakan bahwa ayah tak boleh sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun lun! Malah ayah mendengar pula ejekan wanita itu yang menyatakan bahwa partai Pek lian pai tidak mau mengampuni orang-orang yang sombong."

Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal securing itu? Apalagi dia, wanita yang katanya anggota Pek lian pai yang tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, patriot-patriot bangsa! Malah dia sendiri sekarang mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding tentang memasuki partai itu dan membantu perjuangan.

"Apakah ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?" desaknya.

"Tidak, twa suheng. Kamar ayah gelap sekali, tidak ada penerangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa dua orang yang datang menyerang ayah itu berkepandaian tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat."

"Apakah ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?"

"Tentu tidak, suheng. Jarang sekali ayah bertemu dengan dia. Ah, twa suheng, kenapa kau masih ragu-ragu? Tak bisa salah lagi anjing Kwee Sin itulah yang membunuh ayah dibantu seorang siluman dari Pek lian pai. Twa suheng, hanya para suhenglah yan kiranya dapat membantu Siauw moi menuntut balas atas kematian ayah secara penasaran ini …."

"Siapakah orangnya yang tak kan ragu-ragu, sumoi. Dua hal yang amat berlawanan dengan dugaan dan pendengaran. Jago muda Kun lun … dan seorang anggota Pek lian pai …….ah, kalau bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar untuk percaya …."

Tiba-tiba mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah. "Tidak …! Pergi …..! itulah suara Kwa Hong ! Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Bagaikan terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek lian ting (paku teratai putih) seperti yang dipergunakan orang melukai ayah Sian Hwa tertancap pada daun pintu depan! Dan Kwa Hong sudah tidak tampak lagi, hanya terdengar derap kaki kuda lari cepat menjauhi tempat itu.

"Cepat, twa suheng, kejar ….!" Kwa Tin Siong melompat keatas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Di lain saat kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran.

Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan.

Dua orang pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa san Sie eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahliahli yang jarang bandingannya. Apalagi Sian Hwa yang memang sejak kecilnya diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda. Setelah melalui kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu makin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.

"Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan."

Biarpun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa suhengnya ini cukup ia ketahui maksudnya. Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman dipergunakan siasat, yaitu disergap dari belakang. Kalau secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik dapat mempergunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya mengangguk dan Kwa Tin Siong lalu membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan.baiknya ia sudah menganl btul jalan di daerah tempat tinggal sumoinya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu kemana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung kekanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutang kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat.

Tak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apalagi ditunggangi dua orang seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.

"Bangsat rendah, hendak lari kemana kau!" Sian Hwa mencabut siang kiam (sepasang pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.

Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar ketika mendengar suara wanita lalu menoleh, ia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih amat muda, lalu tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.

"Aha kiranya ada nona manis ingin main-main dengan aku," katanya dengan senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara. Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan keatas tanah. Gadis cilik itu agaknya tertotok jalan darahnya, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.

"Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka." Sian Hwa berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagaikan seekor burung walet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar! Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam eng cu (Bayangan pedang) ini dan tidak mengecewakan ia berjuluk demikian karena betul-betul sepasang pedangnya merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.

"Bagus ….!" Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasangerakan gadis ini. cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.

"Trang … …tarang …!" bunga api muncrat ke sana kemari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biarpun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebet kesebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat. Ia sudah sengaja mempergunakan ginkangnya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuh sambil membabatkan golok ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, pedang kanan menusuk kearah dada dengan gerak tipu Kwan kong sia ciok (Kwan kong memanah batu).

Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini hebat ilmu pedangnya, cepat, gesit dan tak terduga serangannya. Ia cepat menjengkangkan diri ke belakang berjungkir balik lalu menghadapi lawannya dengan hati-hati.

Pertempuran seru segera terjadi dan pada saat itu meuncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan, maka dia cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dulu karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoinya ternyata mampu menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.

Setelah Kwa Hong sembuh kembali dan ia menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru, "Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!"

sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya, akan tetapi maklum betapa twa suhengnya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan twa suhengnya menghadapi penculik out.

"Tahan, sobat!" Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Ia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.

"Kau ini siapakah dan seingatku, diantara aku Kwa Tin Siong dank au tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Kenapa kau datang dan menculik anakku?" Tanya pendekar itu yang tidak mau menurunkan nafsu amarah.

Orang itu tertawa mengejek. "Aku …..aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar Hoa san Sie eng!"

Kwa Tin Siong mengeryitkan keningnya. "Kau sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang ouw. Kulihat kau menggunakan Pek loan ting, apa hubunganmu dengan Pek lian pai? Sobat, harap kau jangan main-main dan mengakulah terus terang apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar."

Tiba-tiba terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.

"Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!" serunya dan sekali tangkisan ia dapat membikin golok orang itu terpental kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang. Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa san Sie eng. Gerakangerakannya mantap dan matang, tenaga iweekangnya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat ke sana kemari dan menangkis sedapatnya. Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.

Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru, "Awas, sumoi, kawanan penculik datang!"

Liem Sian Hwa memang sudah siap. Ia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga disitu dengan sepasang pedang di kedua tangan.

Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak berdarah. Ternyata pundaknya kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya. Pada saat itu terdengar suara banyak kuda penunggang kuda. Mereka adalah empat orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, gerakan mereka tangkas dan begitu sampai disitu, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok.

Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan yang dua pula kini sudah membantu si penculi ktadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa san pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara, keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat.

Sian Hwa dan tin Siong memang, mewarisi Ilmu Pedang Hoa san kiam hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan pendekar pedang Hoa san dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan. Akan tetapi, lawanlawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit, namun dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan mulai mendesak. Lima puluh jurus telah lewat, Kwa Tin Siong masih dapat bertahan dan membalas serangan, akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya dan lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari. Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam eng cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya dan dua batang golok lawan yang menyambar-nyambar mengitari dirinya.

Kwa Tin Siong mengeluh dalam hatinya, celaka, pikirnya. Kali ini aku dan sumoi menghadapi bencana. Hal ini masih belum hebat, celakanya, anaknya pun menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa akan melindunginya? Berpikir sampai di sini dia mencoba untuk menggunakan daya lain. Tiba-tiba ia berseru keras.

"Bukankah cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota Pek lian pai? Ketahuilah siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa san pai tidak ada permusuhan dengan Pek lian pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri?"

Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang diantara mereka berkata mengejek, "Anak murid Hoa san pai mana ada harga masuk Pek lian pai? Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek lian pai!" tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang.

Kwa Tin Siong adalah seorang pendekar sejati, mana dia sudi menurut kehendak tiga orang lawannya itu? Pendirian seorang pendekar, lebih baik mati daripada bertekuk lutut menerima hinaan. Dengan gemas dia mempercepat gerakan-gerakan pedangnya sehingga lawan-lawannya terpaksa berlaku hati-hati dan mundur, lalu dia berkata.

"Melihat sikap cuwi, tak patut menjadi patriot-patriot yang anti penjajah bangsa mongol!"

tiga orang itu hanya tertawa lagi, dan si penculik yang sudah dilukai pundaknya berkata, "Jangan banyak cerewet tentang urusan perjuangan. Hoa san Sie eng bernama besar, perlihatkan kebesaran itu. Ha..ha..ha!"

sekarang Kwa Tin Siong betul-betul terdesak. Apalagi setelah mendengar sumaoinya berseru marah karena pedang kirinya terlepas dan terlempar, dia makin gelisah.

Sumoinya kini hanya melawan dengan sebatang pedang, sedangkan dua orang lawannya itu makin mendesak sambil mengeluarkan ucapan-ucapan kotor. Memang Sian Hwa terdesak hebat dan lebih lagi gadis ini merasa marah bukan main karena selain pedangnya yang kiri terlepas, juga dua orang pengeroyoknya itu menggodanya dengan kata-kata yang tidak sopan. Ia berlaku nekat dan mati-matian dan hal ini mendatangkan celaka baginya. Karena terlalu bernafsu menyerang, ia menjadi lengah dan pada suatu saat, lutut kanannya kena ditendang seorang lawan. Sian Hwa menjerit dan roboh terduduk, namun ia masih memutar-mutar pedangnya sambil duduk bersimpuh sehingga dua orang lawannya tidak mampu mendekatinya.

Kwa Tin Siong yang kaget mendengar jerit sumoinya, juga menjadi lengah dan sebuah babatan golok kearah pinggangnya hampir saja membuat tubuhnya putus maenjadi dua. Baiknya dia telah mengelak dan meloncat sehingga hanya paha kirinya saja yang terluka, cukup parah namun tidak cukup untuk merobohkannya. Betapapun juga, keadaan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah amat terancam dan sewaktuwaktu dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan menjadi korban keganasan musuhmusuh mereka ini.

Pada saat itu terdengar orang tertawa dan bernyanyi-nyanyi. "Ha, ha, ha, ho, ho,"

orang itu tertawa-tawa ketika tiba di dekat tempat pertempuran, "ada anjing-anjing berebut tulang! Anjing-anjing penjilat Mongol mengeroyok … heh he heh, aku tak dapat tinggal diam saja. He iiii! Biarkan aku ikut main-main, waah, gembira benar nih!" muncullah seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya tidak karuan, berkembang-kembang seperti pakaian wanita dengan potongan pakaian bocah.

Sikapnya juga seperti seorang anak kecil padahal wajahnya menunjukkan bahwa usianya tentu empat puluhan. Koai Atong, memang tokoh yang sudah kita kenal inilah yang muncul. Dengan anak panah di tangannya dia menyerbu pertempuran. Pertamatama dia menyerbu dua orang yang mengeroyok Sian Hwa. Begitu anak panah di tangannya ditangkis dua golok orang yang mencoba untuk membabat patah pedang Sian Hwa, dua orang itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja golok mereka terlepas.

"Heh, heh, heh, teimalah pukulanku, kau dua hidung kerbau!" tangan kirinya lalu diputar-putar secara aneh dan mendorong ke depan. Dua orang itu merasa ada angina menyambar yang berbau seperti daun busuk. Mereka adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman, maka cepat mereka menghindar, namun tetap saja angina pukulan orang aneh itu membuat mereka terhuyung ke belakang sampai empat lima langkah! Akan tetapi Koai Atong tidak mendesak terus. Melihat dua orang lawannya itu mundur-mundur ketakutan, sambil bernyanyi-nyanyi dia melangkah lebar menghampiri medan pertempuran Kwa Tin Siong. Juga di sini dia memutar anak panahnya, beberapa kali menangkis golok tiga orang itu, lalu tangan kirinya mendorong-dorong dan robohlah seorang diantara mereka, yaitu si penculik tadi.

Yang dua terhuyung-huyung ke belakang dengan muka pucat karena merasa isi perut hendak muntah keluar. Melihat gelagat buruk, empat orang itu lalu menceplak kuda dan kabur dari situ sambil membawa tubuh si penculik yang pinsan dengan mata mendelik dan muka kehijauan,. Terdengar suara mereka dari jauh, "Koai Atong ….

Koai Atong….!"

Kwa Tin Siong menarik napas lega. Luka di pahanya tidak dipedulikannya. Ia terlampau tegang mendengar nama "Koai Atong" tadi. Nama ini sudah tentu saja pernah didengarnya sebagai nama seorang diantara iblis dunia persilatan. Ia segera menjuru dengan hormat kepada orang aneh itu dan berkata, "Nama besar .. Koai .. enghiong … sudah lama siauwte mendengarnya. Hari ini enghiong menolong nyawa siauwte berdua dengan sumoi dan anakku, sungguh budi besar sekali .." Kwa Tin Siong tidak berani menyebut orang itu Koai Atong yang berarti anak setan, maka diubahnya menjadi Koai enghiong (orang gagah Koai). Akan tetapi Koai Atong yang diberi hormat itu longang-longong, memandang ke kanan kiri dan berbalik dia bertanya.

"Eh, kau ini bicara kepada siapa?"

Kwa Tin Siong melengak. "Kepadamu Koai enghiong .."

"namaku Koai Atong, mana ada enghiong-enghiong segala, enghiong itu apa sih? Syang, main-main sedang ramai-ramainya, mereka pergi. Licik benar. Eh, dia apamu? Anakmu?" ia menuding kearah Sian Hwa yang msih duduk bersimpuh dan sedang berusaha membetulkan sambungan lututnya yang kena tending tadi.

"Bukan, dia sumoiku, dan anakku .." tiba-tiba muncul Kwa Hong berlari-lari. Anak ini gembira sekali nampaknya.

"Aku anaknya! Orang aneh, kau jempol sekali!" Kwa Hong memandang kagum dan mengacungkan jempol tangannya keatas. "Hanya dengan memutar tangan kiri dan menggertak sudah bisa mengusir anjing-anjing itu. Jempol!" ia lalu meniru-niru gerakan tangan kiri Koai Atong tadi yang diputar-putar dan dipakai mendorongdorong.

"Ha, ha, ha, ha,!" Koai Atong tertawa terpingkal-pingkal "kau pintar menari, ya? Bagus, ya?" ia pun lalu menari-nari dan memutar-mutar tangannya sambil meliriklirik dan tersenyum-senyum hingga seperti seorang yang sedang pandai melagak dan manja. Tentu saja ini hanya sikapnya dan melihat keadaannya dia lebih pantas disebut orang gila yang segila-gilanya.

Melihat orang itu menari-nari lucu, Kwa Hong tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya. Sian Hwa dan Kwa Tin Siong tidak berani tertawa karena mereka maklum akan kelihaian dan keanehan orang kang ouw ini. Koai Atong juga berhenti menari.

"Orang aneh, kau benar-benar hebat. Kau telah menolong Bibiku dan ayahku. Terima kasih, ya ?" kata Kwa Hong.

"Aku tidak senang kepada mereka," kata Koai Atong merengut. "Mereka itu anjinganjing Mongol."

"Koai enghiong .." bantah Kwa Tin Siong. "mereka itu adalah orang Pek lian pai, apa betul penjilat Mongol?"

"Tak peduli Pek lian pai atau Hek lian pai penjilat-penjilat Mongol aku tak suka."

"Koai Atong, kau betul!" Kwa Hong berseru girang. "Aku pun tidak suka kepada mereka Koai Atong kelihatan girang sekali, seperti seorang anak-anak yang bertemu dengan kawan baik. "Bagus, kita cocok. Mari ikut aku pergi main-main. Aku banyak mengenal tempat yang bagus-bagus!" Koai Atong menyambar tangan Kwa Hong dan sebelum Kwa Tin Siong dan Sian Hwa sempat mencegah, orang aneh itu sudah berlari cepat sekali dengan langkah-langkah yang lebar sambil menggandeng Kwa Hong.

"Koai enghiong tunggu … ! jangan bawa pergi anakku!" Kwa Tin Siong berseru sambil mengejar. Juga Sian Hwa ikut mengejar, akan tetapi karena paha Kwa Tin Siong sudah terluka sedangkan lutut Sian Hwa masih membengkak, keduanya tak dapat berlari cepat dan sebentar saja sudah tidak kelihatan lagi bayangan orang tinggi besar itu bersama Kwa Hong.

"Celaka …!" Kwa Tin Siong membanting-banting kakinya dan nampak berduka sekali.

"Jangan berduka, twa suheng. Biarpun amat aneh, kurasa orang itu takkan mengganggu Hong ji. Dia seperti seorang anak-anak mendaptkan teman dan mengajak Hong ji bermain-main. Dia lihai sekali, pasti mampu menjaga Hongji baikbaik."

Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Aku tidak mengKwa Hongawatirkan dia mengganggu Hong ji, juga tentang penjagaan, kiranya dia akan lebih baik dari padaku karena kepandaiannya lebih tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Ban tok sim Giam Kong dan muridnya itu, Koai Atong. Siapa yang tidak ngeri mendengar nama mereka? Mereka itu benar bukan tergolong orang-orang jahat akan tetapi mereka aneh sekali dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tak terduga-duga. Bagaimana hatiku tidak akan Kwa Hongawatir? Kapan aku dapat bertemu kembali dengan anakku? Ketika mengucapkan kalimat teraKwa Hongir ini, wajah Kwa Tin Siong nampak berduka sekali, membuat sumoinya terharu.

"Suheng, kalau begitu, mari kutemani kau mengejarnya. Mustahil takkan tersusul, dia kan sering kali berhenti untuk bermain-main. Kalau kita membujuknya tak berhasil, kita bisa menggunakan kekerasan."

Ktas menggeleng kepala. "Percuma sumoi. Kita masih menderita luka. Pula agaknya Hong ji juga senang bermain-main dengan orang itu. Buktinya ketika dibawa pergi tadi diam saja. Sudahlah biar hitung-hitung menambah pengalaman anak itu. Kita mempunyai persoalan yang amat penting sekarang. Aku merasa ragu-ragu dan kecewa sekali menyaksikan sepak terjang orang-orang Pek lian pai."

Sian Hwa yang tadi pikirannya penuh oleh keadaan Kwa Tin Siong, sekarang teringat akan urusannya sendiri. Ia mengertak gigi.

"Memang betul, suheng. Hampir saja kita sendiri pun menjadi korban keganasan Pek lian pai. Sudah jelas sekarang bahwa Pek lian pai sengaja memusuhi aku dan suheng, pendeknya memusuhi Hoa san pai."

Kwa Tin Siong mengangguk-angguk. "Kupikir juga begitu. Tak mungkin secara kebetulan saja mereka mengganggu kau dan aku. Hemmmm, anehnya, mereka itu beranggota banyak sekali, mempunyai banyak mata-mata, apakah tidak tahu bahwa murid Hoa san pai tadinya bersimpati kepada mereka dan berniat membantu? Sumoi, kita tidak boleh berlaku secara sembrono. Lebih baik kita berunding dua orang suhengmu, kemudian kita minta nasehat suhu."

Sian Hwa setuju. "Kalau begitu, mari kita kembali ke Hoa san, suheng, aku pun tidak betah tinggal di rumah, ingin bertemu para suheng dan minta bantuan membalaskan sakit hatiku."

Kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan tempat tadi dan langsung mereka berdua melakukan perjalanan ke Hoa san. Andaikata mereka itu bukan kakak beradik seperguruan, juga tidak sedang berada dalam keadaan berduka berhubung dengan urusan masing-masing, tentu mereka akan merasa sungkan juga melakukan perjalanan berdua saja. Seorang laki-laki dan seorang gadis, biarpun yang pria sudah berusia empat puluh tahun sedangkan yang wanita baru dua puluh tahun, namun si pria cukup tampan sehingga mereka merupakan pasangan yang cocok. Tentu saja bagi mereka sendiri tidak apa-apa karena memang semenjak Sian Hwa masih kecil, baru berusia sepuluh tahun, dia sudah menjadi adik seperguruan Kwa Tin Siong. Mereka melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Hoa san.

"Aduh …. Aduh, berhenti …. ..berhenti aku tidak bisa bernapas ….Kui bo, berhenti ….!" Beng San berteriak teriak dengan napas sengal-sengal. Bukan main cepatnya tubuhnya dibawa pergi sampai angina menyesakkan pernapasannya dan tangannya yang terbelit ujung saputangan juga amat sakitnya.

Tiba-tiba Hek Hwa Kui bo berhenti dan begitu melepas saputangannya ia menangkap tangan kanan Beng San dan membentak. "Kau pernah belajar silat kepada siapa?"

Aneh sekali, kalau tadi ia bersikap manis dan genit di depan Beng San, kini dia berubah menjadi gala dan suara serta pandang matanya penuh ancaman.

Beng San seorang bocah tabah dan ndugal (nakal) mana ia kenal takut? Ia mengerahkan tenaga dan berusaha menarik tangannya, tetapi tak berhasil, malah cekalan wanita itu makin erat.

"Aku tak pernah belajar silat" jawab Beng San akhirnya karena tangannya yang dipegang terasa sakit.

"Bohong! Kalau tidak mengaku akan kupatahkan tanganmu!" ia memijat makin keras sehingga terdengar bunyi "Kretekk…" pada tangan Beng San. Anak itu meringis kesakitan. Baiknya wanita itu tidak sampai mematahkan tulang-tulang tangannya, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali. Anehnya wanita itu nampak terheran-heran dan memandang tajam.

"Iblis cilik, kalau tak pernah belajar silat, kau tentu sudah mampus. Di tubuhmu ada hawa panas darimana kau peroleh?"

diam-diam Beng San terheran-heran. Wanita ini aneh sekali, juga kepandaiannya seperti iblis. Mungkin betul-betul kuntilanak, bukan manusia. Kalau manusia, bagaimana agaknya bisa tahu segala? "Aku pernah disiksa makan sebuah pil oleh seorang tosu bau bernama Siok Tin Cu …"

wanita itu melepaskan pegangannya dan dengan terheran-heran ia menatap wajah Beng San, lalu kembali ia memegang tangan yang tadi dicengkeram dan kini tangan itu diperiksanya baik-baik. "Aneh ….aneh…kau dipaksa makin pil oleh Siok Tin Cu? Lalu bagaimana?"

"Badanku terasa panas seperti dibakar, selanjutnya aku pingsan dan ketika sadar kembali, aku merasa tubuhku dingin sekali seperti direndam dalam es!"

"Bohong ….!" Hek Hwa Kui bo menampar dan Beng San terjungkal. Akan tetapi anak itu bangun lagi, membuat Hek hwa Kui bo makin heran. Kenapa anak ini memiliki daya tahan yang begini luar biasa? "Kau bilang badanmu panas sampai pingsan, bagaimana setelah sadar menjadidingin?"

kini Beng San marah-mrah. Perempuan atau siluman ini keterlaluan sekali. Dengan metenteng dia berdiri dan membentak, "Kau ini jahat benar! Mau bertanya atau mau tak percaya? Kalau tidak percaya, jangan bertanya. Pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, kenapa membuat cepai mulut, Tanya-tanya segala, kalau tidak percaya!"

Hek Hwa Kui bo makin terheran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang bocah seaneh ini. dia sendiri seorang tokoh besar yang sering kali diherani dan dikagumi orang, akan tetapi sekarang ia malah heran dan kagum kepada seorang bocah! Hal ini memang ada sebab-sebabnya. Hek Hwa Kui bo adalah seorang tokoh besar yang jarang mau berurusan dengan dunia ramai, apalagi memperdulikan seorang bocah seperti Beng San ini. hanya saja, ketika tadi ia melihat Beng San ia menyaksikan hawa kemerahan yang terang sekali terbit dari hawa Yang kang yang amat kuat dari tubuh bocah ini maka ia mengerti bahwa anak ini adalah seorang ahli Yang kang atau setidaknya di dalam tubuhnya terkandung sesuatu yang mengeluarkan hawa itu. Karena sudah menjadi wataknya tidak suka melihat orang-orang lihai di dunia ini di samping dia sendiri dan muridnya, maka timbul maksud hatinya untuk membunuh Beng San. Maka tadi ia sengaja membawa lari Beng San dengan cepat untuk membunuhnya, karena pegangannya tadi mengandung saluran tenaga mematikan. Alangkah herannya ketika melihat Beng San hanya tersengal-sengal saja dan tidak mati. Lebih-lebih lagi herannya ketika ia meremas tangan Beng San, ada daya tahan yang luar biasa yang mencegah tulang-tulang anak itu remuk. Inilah luar biasa! Dia sendiri seorang ahli Yang kang, masa tak dapat menguasai hawa di tubuh anak ini? demikianlah, maka Hek Hwa Kui bo jadi ingin sekali mengetahui keadaan Beng San.

Di samping ini, ada juga rasa sukanya kepada bocah ini. bocah aneh yang amat pemberani, bahkan yang suara cegahannya sudah membuat ia menurut, yaitu ketika ia hendak membunuh Kwa Tin Siong dan puterinya. Ada pengaruh yang amat ganjil dalam suara anak ini ketika mencegahnya tadi.

"Anak baik, mau bunuh kau apa sukarnya? Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu kau ini murid siapa?"

"Aku bukan murid siapa-siapa," jawab Beng San tak acuh.

"Siapa namamu?"

"Beng San."

"Siapa orang tuamu?"

"Oang tuaku …? Orang tuaku adalah …Huang ho (sungai Kuning)."

Kembali Hek Hwa Kui bo melengak. Siapa tak kan heran mendengar jawaban aneh ini. "jangan main-main! Di mana kedua orang tuamu? She apa?"

"Orang tuaku dimakan banjir Huang ho, siapa she-nya aku tak tahu. Eh, kuntilanak, mau apa kau main Tanya-tanya terus ? pergilah!"

makin kagum Hek Hwa Kui bo. Ia melihat muka Beng San kotor sekali sehingga agak sukar baginya untuk melihat cahaya muka anak ini yang agak kehijauan dan agak kemerahan. "Kau kotor sekali. Pergilah mencuci muka."

"Tidak mau".

Akan tetapi, kembali ujung saputangan panjang di tangan Hek Hwa Kui bo bergerak dan tahu-tahu tubuh Beng San terlempar jauh dan …jatuh ke dalam sebuah anak sungai tak jauh dari situ. Beng San gelagapan dan meronta-ronta. Akan tetapi kemudian dia mendapat kenyataan bahwa air anak sungai itu amat jernih, maka timbul kegembiraannya dan dia malah mandi tanpa membuka pakaian! Dia tidak memperdulikan lagi kepada Hek Hwa Kui bo. Tak lama kemudian ia merasa tubuhnya dingin bukan main. Beng San menjadi ketahutan, khawatir kalau-kalau penyakit kedinginan seperti kemarin menyerangnya lagi. Cepat-cepat dia merayap naik dari anak sungai itu. Ternyata Kui bo masih menunggu disitu sambil memandang kepadanya dengan mata tak berkedip.

Setelah muka dan tubuh Beng San bersih dari debu dan kotoran, apalagi akibat dinginnya air membuat hawa Im kang menyerangnya lagi dan kulit mukanya menjadi kehijauan, Hek Hwa Kui bo menjadi benging. Sama sekali itu bukan tanda bahwa di dalam tubuh anak ini terkandung hawa Yang, melainkan sebaliknya, kini penuh hawa Im yang aneh! Bukan main, luar biasa sekali ini! Hek Hwa Kui bo tanpa terasa lagi menggaruk-garuk rambut di kepalanya.

Beng San masih mendongkol. Tubuhnya dingin betul dan pakaiannya semua basah kuyup. Semua ini adalah karena perbuatan kuntilanak itu. Maka dia lalu menghampiri dan memaki.

"Kuntilanak galak, kau pun harus mandi!"

Merah muka Hek Hwa Kui bo, merah karena malu! Memang orang aneh, disuruh mandi begitu saja timbul pikiran bahwa alangkah memalukan kalau ia harus mandi di depan anak laki-laki ini.

"Kurang ajar, akau sudah cukup bersih. Tak perlu mandi."

Tiba-tiba Beng San tertawa bergelak. Ia mendapat kesempatan utnuk membalas menghina orang atau siluman ini. "Bersih katamu? Ha, ha, ha ! rambutmu penuh kutu busuk, masih berani bilang bersih?"

Merupakan pantangan bagi Hek Hwa Kui bo kalau ia dicela orang, apalagi tentang kebersihan atau kecantikannya. Entah sudah berapa banyaknya orang mati di tangannya hanya karena kesalahan mulut menyatakan bahwa ia sudah tua, tidak cantik dan lain celaan lagi. Sekarang ia pun amat marah, akan tetapi karena pribadi Beng San menimbulkan keheranan dan kekaguman, ia tidak segera turun tangan, hanya bertanya dengan suara dingin.

"Kau bilang rambutku penuh kutu busuk? Apa buktinya?"

Beng San masih tertawa-tawa. "Kau tadi menggaruk-garuk kepalamu, itulah tanda bahwa rambutmu banyak mengandung kutu busuk! Aku berani bertaruh bahwa disitu bersarang banyak kutu busuk dengan telur-telurnya …"

Saputangan di tangan Hek Hwa Kui bo bergerak dan tahu-tahu ujungnya telah melibat leher Beng San! Baiknya wanita aneh ini hanya menakut-nakuti saja, kalau ia menggunakan tenaga, dalam sedetik leher itu akan putus! Namun Beng San maklum bahwa nyawanya terancam, maka cepat dia mengerahkan tenaga dan berseru.

"Membunuh anak kecil, huh, mana bisa dibilang gagah? Mengalahkan musuh tangguh baru bisa dibilang gagah, akan tetapi mengalahkan diri sendiri lebih gagah lagi!" saking takutnya dia mengeluarkan ujar-ujar khong Hu Cu yang dicampur dengan kata-katanya sendiri.

Ujung saputangan itu mengendur dan Hek Hwa Kui bo tertawa. "Siapa sudi mengambil nyawa tikusmu? Hayo buktikan omonganmu, kau carilah kutu busuk itu di rambutku. Kalau tidak ada seekor pun hidungmu akan kupotong, tak perlu kuambil nyawamu!"

Bukan main kagetnya hati Beng San. Dipotong hidungnya lebih celaka daripada diambil nyawanya. Apa nanti jadinya kalau dia seterusnya harus hidup tanpa hidung, menjadi manusia yang menakutkan dan menjijikkan? Dan biarpun dia masih kecil, dia tahu bahwa wanita kuntilanak ini pasti akan membuktikan omongannya.

"Hayo cepat!" Hek hwa Kui bo membentak sambil duduk di atas rumput. Terpaksa Beng San lalu berlutut di belakangnya dan mulai mencari kutu busuk diantara rambut yang hitam, halus dan bersih serta berbau harum kembang itu. Mana ada kutu busuk diantara rambut yang begitu terpelihara rapid an bersih? "Enak saja," ia menggerutu, taruhan yang tidak adil. Kalau tidak ada kutu busuknya, kau memotong hidungku. Bagaimana kalau ada kutu busuknya? Aku tidak punya apaapa, hidungku adalah barang yang paling kusayang, kalau itu kutaruhkan, habis apa taruhanmu? Apakah kau juga mempertaruhkan hidungmu?"

Hek hwa Kui bo tak terasa lagi meraba hidungnya yang mancung. Tak mungkin ia mengorbankan hidungnya. Ia berpikir-pikir lalu berkata sambil tertawa mengejek, "Yang paling berharga padaku adalah kepandaianku. Aku pertaruhkan kepandaianku.

Setiap kali kau memperoleh kutu busuk, kuhadiahkan sebuah ilmu silat kepadamu."

"Hah, untuk apa ilmu silat?" Beng San berkata.

Perempuan aneh itu menengok dan matanya berapi. "Anak tolol! Kalau kau menerima satu macam saja ilmu silatku, apa kau kira orang-orang macam ayah anak Hoa san pai itu mampu mengganggu dan menghinamu?"

Beng San memutar otaknya. Betul juga. Wanita ini lihai bukan main. Alangkah baiknya kalau dia bisa memiliki kelihaian seperti wanita ini. Dia sebatang kara di dunia ini, sudah sering kali dihina orang. Jangan kata lagi orang-orang kota yang sering kali mengusirnya seperti anjing padahal dia tidak mengganggu mereka.

Buktinya saja yang baru saja terjadi, tosu bau Siok Tin Cu itu menghinanya, kemudian Kwa Hong … "Baik," katanya, dan tak lama kemudian jari-jari tangannya mencabut sesuatu diantara rambut Hek hwa Kui bo.

"dapat seekor …!" katanya gembira setengah bersorak. Hek hwa Kui bo tersentak kaget, cepat memutar tubuh. Ia melihat di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan Beng San terjepit seekor kutu hitam kemerahan yang menjijikan. Kakinya banyak dan jalannya miring-miring. Meremang bulu tengkuk Hek hwa Kui bo. Seorang perempuan seperti dia, yang semenjak kecil jangan kata mempunyai kutu rambut, melihat pun belum, mana bisa membedakan antara kutu rambut dan kutu baju? Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa ia kena ditipu oleh anak nakal ini. Beng San yang tadi merasa tak berdaya dan putus asa melihat rambut yang bersih itu, diamdiam mendapatkan akal. Pada bajunya banyak terdapat kutu, hal ini dia tahu betul, dan dia tahu pula di mana kutu-kutu itu paling senang bersembunyi. Karena bajunya memang hanya sebuah, tak pernah dicuci maka banyak kutunya dan karena kebiasaan, dengan amat mudahnya dia mengambil seekor kutu baju dan pura-pura mengambil itu dari rambut Hek hwa Kui bo. Biarpun perempuan ini seorang yang sakti dalam ilmu silatnya, karena dia duduk membelakangi Beng San dan tidak menduga sama sekali akan tipu muslihat ini, ia percaya penuh. Wajahnya agak pucat dan matanya melebar ketika ia melihat kutu kecil itu dijepit jari tangan Beng San.

"Celaka, darimana datangnya kutu busuk? Memalukan sekali. Hayo lekas bunuh dan cari lagi!"

Beng San tertawa dan memasukkan kutu busuk itu ke mulutnya. Ketika giginya menggigit terdengar suara "tesss!" dan dia meludahkan bangkai kutu busuk itu. Hek hwa Kui bo mengkirik penuh kengerian.

"Jahanam benar, darimana dia bisa datang ke rambutku?" tiba-tiba ia merasa kepalanya gatal-gatal sekali dan terpaksa ia menggaruk-garuk lagi, "Hayo cari terus, sampai bersih betul. Jahanam …."

"Eh, nanti dulu. jangan lupa taruhannya. Sudah dapat seekor."

Hek hwa Kui bo melotot. "Siapa lupa? Cerewet benar. Aku hutang sebuah ilmu silat kepadamu. Hayo teruskan sampai bersih rambutku. Nanti berapa dapatnya tinggal hitung berapa hutangku kepadamu."

Beng San mencari lagi dan seperti tadi, dia mengambil kutu baju dan berseru girang.

Hek hwa Kui bo makin mengkirik. "Bagaimana bisa begini banyak? Celaka, janganjangan sudah bertelur!"

Beng San tertawa. Anak cerdik ini cepat berkata. "Aku tidak melihat telurnya, mungkin sudah menetas semua.sudah dua ekor, Kui bo. Jangan lupa."

"Siapa lupa? Hayo lekas cari lagi!"

"Kui bo, aku tidak khawatir kau lupa hanya khawatir kau melanggar janji. Ada yang bilang bahwa mengikat kerbau adalah pada hidungnya, akan tetapi manusia diikat pada bicaranya. Sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat kembali, sekali mengeluarkan sepatah kata, sampai mati takkan dipungkiri. Itulah manusia gagah dan …!"

"Cerewet! Bocah ingusan macammu mau memberi pelajaran padaku? Aku tak kan lupa, juga takkan melanggar janji. Hayo lekas habiskan kutu-kutu itu gatal semua kepalaku!" dan melihat kutu busuk kedua itu, terasa makin gatal kepala Hek hwa Kui bo.

Tadinya Beng San hendak mengeluarkan kutu sebanyak-banyaknya, akan tetapi ketika teringat bahwa belum tentu ilmu-ilmu silat yang akan diajarkan kepadanya itu menyenangkan, dia berbalik khawatir kalau-kalau malah akan menyusahkan saja.

Maka setelah mendapatkan tiga ekor kutu busuk, dia berhenti dan berkata.

"Sudah habis, sudah bersih. Sekarang aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa di rambutmu sama sekali tidak ada kutunya seekorpun."

Hek hwa Kui bo menarik napas lega, lalu membetulkan rambutnya yang tadi diawutawut oleh anak itu. Kemudian ia memandang kepada Beng San dan tiba-tiba tertawa mengikik . Beng San sudah khawatir kalau-kalau perempuan kuntilanak ini hendak menipunya.

"Hi hi hi hi hi, aku berhutang tiga ilmu silat kepadamu? Bocah siapa namamu tadi?"

"Namaku Beng San."

"Bocah, aku akan mengajarkan tiga macam ilmu silat kepadamu dan andaikata kau dapat mewarisi tiga ilmu silat ini, sepuluh orang anak murid Hoa san pai takkan mampu menangkan kau. Eh, kau bilang kau dijejali obat oleh seorang tosu yang membuat tubuhmu panas semua? Apa betul kau belum pernah belajar silat?"

"Belum pernah selama hidupku."

"Coba kau pukul telapak tanganku ini, di waktu memukul meniupkan hawa dari mulut."

Beng San menurut karena mengira bahwa demikian memang caranya belajar silat. Ia memukul telapak tangan wanita itu dengan tangan kakannya sambil meniupkan hawa dari mulutnya.

"Plakkk! Hek hwa Kui bo merasa telapak tangannya dijalari hawa panas. Terang itulah tenaga Yang kang yang keluar dari kepalan Beng San.

"Hemmm, sekarang kau pukul lagi dengan tangan kiri sambil menahan napas."

Beng San menurut, memukulkan kepalan tangan kiri kearah telapak tangan itu sambil menahan napas. Hek hwa Kui bo merasa telapak tangannya menerima hawa dingin yang lebih kuat daripada hawa panas tadi. Diam-diam ia terheran-heran. Bagaimana di dalam tubuh anak ini terdapat dua macam hawa Yang kang dan Im kang tanpa diketahui oleh anakitu sendiri. Dan kenapa seorang anak yang tidak pernah belajar silat bisa mempunyai dua macam hawa ini dan tidak mati karenanya? Di dalam tubuh setiap orang manusia memang pada dasarnya sudah terdapat dua macam hawa yang bertentangan itu, akan tetapi tidak sehebat ini.

"Dengar baik-baik. Kau akan kuberi pelajaran tiga macam ilmu silat. Akan tetapi ada syarat-syaratnya. Pertama, kau tidak boleh mengaku Hek hwa Kui bo sebagai gurumu."

Beng San merenggut. "Siapa yang kepingin mengaku kau sebagai guru? Syarat ini cocok dengan pikiranku."

"Kedua, kau harus berdiam terus di dalam hutan ini sebelum kau hafal benar tiga macam ilmu silat itu. Tergantung kepada otakmu. Kalau kau berotak udang dan beku, sampai sepuluh tahun belum hafal, kau tidak boleh keluar. Begitu keluar akan kubunuh kalau kau belum hafal."

Beng San segera memprotes, "Aturan apa ini? aku tidak sudi. Kalau begitu, sudahlah, siapa yang kegilaan akan ilmu silat? Aku tidak usah belajar saja."

Hek hwa Kui bo tertawa mengejek dan saputangannya bergerak-gerak. "Kau boleh tidak belajar, akan tetapi nyawamu kucabut. Kau kira aku seorang yang suka menjilat ludah sendiri? Aku sudah berjanji, kau harus menerima tiga macam pelajaran ilmu silat dan kau harus pula memenuhi syarat-syarat itu atau ………..kau boleh mampus."

Beng San memang bocah yang nakal dan berani, akan tetapi diapun amat cerdik.

Sekarang sedikit banyak dia sudah mengenal watak kuntilanak ini yang selalu membuktikan omongannya, maka dia lalu berkata, "Baiklah, mempelajari ilmu silatmu atau tidak adalah sama saja! Apa sih gunanya? Kukira ilmu silatmu itu pun tidak akan ada artinya bagiku!"

Hek hwa Kui bo kena dibakar perutnya. "Tarrr!!" saputangannya berkelebat menyambar mengeluarkan suara keras, ujungnya melewati kepala Beng San dan menghantam sebuah batu di dekatnya. Alangkah kagetnya anak itu ketika melihat betapa pingir batu itu gompal dan remuk seperti dihantam palu besar yang kuat dengan keras sekali.

"kau bilag tidak ada gunanya? Apa kepalamu lebih keras dari batu itu?" kata Hek hwa Kui bo mendelik.

Beng San kagum sekali dan mulailah timbul keinginan dalam hatinya untuk memiliki kepandaian seperti ini. akan tetapi ia memperlihatkan sikap acuh tak acuh menyaksikan kehebatan wanita itu. Dia malah menarik napas panjang dan berkata, "Apa artinya kelihaian ilmu silat kalau toh aku takkan mungkin dapat mempelajarinya? Aku tidak pernah belajar silat, bagaimana sekarang bisa mempelajari ilmu silatmu kalau tidak kau pimpin sendiri?"

hek hwa Kui bo tertawa mengikik, "Kau tentu bisa, pasti bisa. Aku memiliki tiga macam ilmu silat yang mudah dipelajari, biarpun oleh seorang tolol seperti kau.

Pertama, adalah ilmu siulian (Samadhi) yang disebut Thai hwee (api besar) untuk mendatangkan kekuatan tenaga dalam berdasarkan Yang kang. Dalam menjalankan ilmu ini tubuhmu akan terasa panas sekali seperti terbakar, kau harus dapat menahan ini. kedua, adalah ilmu pernapasan yang disebut Siu hwee (memelihara api) untuk membikin hawa Yang kang di badanmu memasuki semua pembuluh darah dan membikin badanmu kebal."

"Apa artinya semua ini?" Beng San mencela. "Mana orang harus belajar supaya diri kuat dan tahan dipukul, apa selanjutnya aku hanya disuruh menjadi bahan pukulan? Aku ini kau ajari cara memukul batu seperti tadi."

Hek hwa Kui bo tertawa, "Tolol kau. Dua macam pelajaran itu adalah pokok dari semua pelajaran silat. Yang ketiga, adalah ilmu pukulan yang kusebut Ci hwee (keluarkan api), terdiri dari tiga jurus pukulan yang mengandung hawa Yang kang.

Nah, kau perhatikanlah sekarang semua petunjukku dan pelajari baik-baik. Aku hanya sudi memberi kesempatan belajar sehari semalam saja, setelah itu kau harus belajar sendiri."

Demikianlah, wanita aneh ini sengaja menurunkan cara bersemedhi dan latihan pernapasan yang semata-mata hanya utnuk memperbesar daya Yang kang di tubuh Beng San. Perbuatan ini sebetulnya amat licik dan jahat. Bagi orang lain, mungkin sekali ilmu-ilmu ini akan mendatangkan tenaga dalam tubuh yang luar biasa. Akan tetapi seperti telah diketahui di dalam tubuh Beng San pada waktu itu sedang mengalir hawa panas yang luar biasa, yang tentu akan menghanguskan jantungnya akibat ditelannya tiga butir pil buatan tosu Siok Tin Cu. Kalau saja dia tidak terkena pukulan Jing tok ciang dan terkena racun hijau akibat serangan Koai Atong. Hekhwa Kui bo tidak tahu akan serangan Koai Atong ini, akan tetapi wanita sakti ini cukup maklum bahwa tiga butir pil Yang tan itu secara aneh sekali telah ditahan kekuatannya oleh semacam hawa Im yang berada di tubuh Beng San. Melahat ini, biarpun ia tidak mampu memaksa Beng San mengaku, wanita ini mempunyai dugaan bahwa tentulah Beng San ini murid seorang sakti lain. Hal ini amat tidak disukainya.

Sudah menjadi watak Hek hwa Kui bo untuk tidak mau mengalah terhadap orang lain.

Siok Tin Cu adalah cucu muridnya, karena guru tosu itu, ketua Ngo lian kauw, yaitu yang bernama Kim thouw Thian li (dewi kepala emas) adalah murid tunggalnya.

Ketika mendengar bahwa Yang Tan yang ditelan bocah ini tidak mematikannya, timbul perasaan di hati Hek hwa Kui bo maka ia sekarang sengaja mengajarkan dua macam ilmu itu untuk memperbesar dan memperkuat hawa Yang di tubuh anak ini agar pertahanan hawa Im di tubuhnya kalah.

Tentu saja Beng San yang tidak tahu apa-apa tidak mengandung hati curiga dan dengan penuh ketekunan dan ketelitian dia memperhatikan segala petunjuk wanita itu.

Dasar bocah ini berotak cerdas dan terang sekali, menjelang senja jadi baru saja setengah hari Hek hwa Kui bo memberi petunjuk, dia sudah mengerti baik bagaimana harus melakukan latihan Thai hwee, Siu hwee, dan Ci hwee.

Diam-diam hek hwa kui bo terkejut bukan main dan kagum sekali. Belum pernah ia melihat bocah secerdas ini otaknya. Akan tetapi memang Hek hwa Kui Bo yang aneh.

Hal ini bukan menimbulkan rasa sayang kepadanya,melainkan ia makin membenci dan iri hatinya. Dia sendiri dulu tidak memiliki kecerdasan seperti ini.

"Nah, kauboleh tekun melatih diri dengan tiga macam ilmu ini. jangan sekali-kali berani keluar dari hutan kalau belum memiliki ilmu yang kuajarkan. Kalau kau melanggar, kau kubunuh!"

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat wanita ini telah lenyap dari depan Beng San. Anak ini berhati lega. Mungkin ia akan menjaga di luar hutan, pikirnya. Akan tetapi kalau sampai dua tiga hari, apakah ia akan sabar menjaga terus? Pula hutan ini begini besar, kalau aku keluar dari lain jurusan, bagaimana mungkin dia bisa tahu? Dengan pikiran ini, dia enak-enak saja tidak mau melatih diri, malah segera memilih tempat untuk tidur yang aman dan enak, yaitu di atas sebatang pohon yang amat besar.

Pada keesokan harinya, dia juga tidak melatih diri, melainkan berjalan-jalan di dalam hutan, memilih tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon berbuah agar tidak sukar lagi dia mencari kalau perutnya terasa lapar. Sampai dua hari Beng San hanya berkeliaran di dalam hutan tidak mau melatih diri. Dan pada malam ketiga, malam yang amat gelap, dia berjalan keluar dari hutan, mengambil jurusan yang berlawanan agar tidak diketahui oleh Hek hwa Kui bo. Hutan itu amat lebat sehingga menjelang fajar dia baru bisa keluar dari hutan.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ia mendengar suar ketawa nyaring dan cekikikan, suara ketawa kuntilanak! Dan sebelum dia sempat melihat darimana datangnya suara itu, tiba-tiba orangnya sendiri telah berkelebat dan berdiri di depannya dengan saputangan panjang itu diputar-putar dengan sikap mengancam sekali.

Beng San takut bukan main, akan tetapi dia cerdik. Cepat-cepat dia berkata "Hek hwa Kui bo, perutku lapar sekali, semalam penuh putar-putar di dalam hutan mencari makanan tidak ada. Aku tersesat sampai sini …"

Hek hwa Kui bo memandang tajam, "Kau bukannya hendak lari?"

"Tiga macam ilmu belum kuhafal sempurna, bagaimana aku berani mati meninggalkan tempat ini? seorang laki-laki sudah berjanji …." Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena memang tadinya dia bermaksud hendak lari.

Hek hwa Kui bo tertawa ganjil, sepasang matanya bersinar-sinar. "Kau pelajari saja baik-baik, dalam beberapa hari tak kan sukar menangkap binatang hutan untuk dimakan."

Beng San memasuki hutan kembali dan dia mendengar dari jauh wanita itu menggerutu, "Anak tahan uji …"

Sekarang yakinlah hati Beng San bahwa tak mungkin dia dapat pergi tanpa diketahui wanita sakti yang aneh itu. Nyawanya terancam bahaya maut kalau dia berani pergi.

Tidak ada lain pilihan lagi baginya, kecuali mulai mempelajari tiga macam ilmu itu.

Mula-mula dia melakukan Samadhi untuk meyakinkan ilmu Thai hwee seperti yang dia pelajari dari wanita itu. Dan benar saja, baru setengah malam dia duduk semadhi, dia merasa ada hawa panas sekali berkumpul di perutnya, makin lama makin panas sampai dia tidak dapat menahan lagi dan terguling pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia menderita hawa dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya seakan-akan menjadi beku.

Teringatlah dia semua pengalamannya di dalam hutan ketikaa dia bertemu dengan Kwa Hong. Begini pula penderitaannya. Kenapa setelah sekarang mulai melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Hek hwa Kui bo, agaknya penyakit aneh itu timbul kembali? Beng San memiliki ketabahan dan kenekatan, daya tahannya, lahir batin amat kuat.

Biarpun dia menderita banyak siksaan dari latihan pertama ini, dia lanjutkan terus.

Tiga empat hari pertama setiap kali siulian paling lama satu malam dia tentu roboh pingsan. Akan tetapi pada hari kelima dia tidak pingsan lagi, ia tidak tahu bahwa akibatnya, mukanya makin lama menjadi makin merah dan akhirnya menjadi hitam seperti pantat kwali. Namun dia yang tak pernah melihat bayangan mukanya sendiri, tidak tahu akan hal ini! Sebulan kemudian dia mulai dengan pelajaran kedua. Ketika dia mulai melatih pernapasan menurut ilmu Siu hwee (simpan api), dia merasa bahwa hawa panas yang dia dapat dari ilmu pertama itu berkumpul di pusarnya, lalu berpindah-pindah ke dadanya dan terasalah dada kirinya sakit seperti di tusuki jarum. Ia nekat terus dan akhirnya rasa sakit hebat itu menghilang dan sebulan kemudian, dia hanya merasa seakan-akan dalam dadanya tertekan sesuatu.

Bulan ketiga dia pergunakan untuk melatih diri dengan ilmu pukulan yang disebut Ci hwee (mengeluarkan api). Ilmu pukulan ini terdiri dari tiga jurus gerakan. Gerakan pertama menghantam kedua tangan dengan jari-jari terbuka kearah tanah di depan kakinya, kemudian gerakan kedua menghantam ke depan dan gerakan ketiga menghantam keatas. Gerakan-gerakan ini dilakukan dengan pemindahan kaki kanan kiri, yang satu di depan yang lain di belakang. Sederhana sekali akan tetapi ternyata amat sukar dilakukannya.

Baiknya Beng San sudah memperhatikan dengan teliti sekali dan akhirnya dia dapat melakukan gerakan-gerakan ini dengan baik pula setelah berlatih siang dan malam selama satu bulan. Tiap kali dia melakukan pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka, dia merasa dadanya tertekan agak enakan, seakan-akan agak berkurang tekanannya. Ia tidak tahu bahwa itu disebabkan karena ada hawa Yang kang keluar sehingga mengurangi tekanan hawa mujijat itu yang kini berkumpul di dadanya dan mengancam pekerjaan isi dadanya.

Empat bulan lewat ketika Beng San memberanikan diri keluar dari hutan. Dia tidak tahu di mana batas kesempurnaan mempelajari ilmu-ilmu itu, maka dia main-main untung-untungan saja. Kalau nanti ketemu Hek hwa Kui bo dan dia diuji dia akan mainkan sebaik-baiknya. Andaikata dinyatakan belum sempurna, bagaimana nanti sajalah. Selama empat bulan dia sudah merasa seperti terhukum. Tubuhnya tak pernah terasa enak lagi, selalu dia diserang hawa panas yang kadang-kadang membuatnya seperti gila. Dengan latihan-latihan itu, Hek hwa Kui bo telah menambah hawa Yang kang di badannya dan kalau dulu Tenaga Im kang akibat serangan Koai Atong lebih kuat, sekarang setelah dia berlatih tenaga Yang kang yang lebih kuat di tubuhnya maka tidak lagi dia terserang hawa dingin, melainkan selalu kepanasan. Ia seperti seorang yang selalu menderita demam panas, akan tetapi bukan panas biasa, melainkan panas yang takkan tertahankan orang biasa, dan dia tentu sudah mati duludulu kalau di badannya tidak terkandung racun dari jeng tok yang mengandung hawa Im.

Agaknya memang nasib Beng San harus menderita hebat waktu kecilnya. Memang agak aneh apa yang dia alami semua ini. tiga butir pil buatan Siok Tin Cu itu sebetulnya cukup untuk membunuh nyawa tiga orang dan kekuatan hawa Yang kang dari tiga butir pil itu semua terkandung di dalam tubuh Beng San. Seharusnya dia mati karena ini, akan tetapi siapa kira secara kebetulan sekali dia diserang oleh Koai Atong yang berotak miring sehingga tubuhnya kemasukan hawa Im kang yang malah lebih kuat daripada hawa Yang kang itu. Dan sekarang, Hek hwa Kui bo yang tidak tahu tentang penyerangan Koai Atong dan bermaksud membunuhnya dengan memperkuat hawa Yang dengan latihan-latihan itu, ternyata hanya menambah hawa panas sehingga bisa mengimbangi hawa dingin dari racun hijau. Dan karenanya, biarpun mukanya menjadi gosong hitam dan dadanya seperti terbakar, biarpun keselamatan nyawanya tetap terancam, namun Beng San masih hidup dan dapat tahan sampai sekian lamanya!.

Alangkah girang hati Beng San ketika dia tidak melihat munculnya Hek hwa Kui bo.

Setelah keluar dari hutan itu berdebar hatinya saking girangnya. Benar-benar dia tidak melihat bayangan wanita itu. Di samping kegirangannya, dia pun merasa mendongkol sekali.

"Siluman kuntilanak jahat," gerutunya. "Aku telah ditipunya. Disuruh mempelajari ilmu siluman selama berbulan-bulan dan dia ternyata tidak menjaga di sini. Dasar bodoh, kalau tahu begini, siapa sudi menjadi monyet didalam hutan berbulan-bulan?"

sambil memaki-maki Hek hwa Kui bo di dalam hatinya, Beng San melanjutkan perjalanan. Karena dia berada di daerah pegunungan dan disitu tidak terlihat adanya dusun atau orang lewat, dia lalu berjalan kemana saja tanpa tujuan tertentu. Akan tetapi semua pengalamannya itu mendatangkan keinginan di dalam hatinya untuk mempelajari ilmu silat yang betul-betul dan yang tinggi agar dia dapat mencegah orang lain melakukan penghinaan atas dirinya. Kalau teringat kepada Kwa Hong, dia masih mendongkol sekali.

Pada hari ketiga, ketika dia merasa amat haus dan dia minum air, dia menjadi kaget setengah mati ketika melihat mukanya di dalam air. Aduh celaka, kenapa mukanya menjadi hitam seperti setan? Beng San tak percaya lalu pindah ke air yang lebih jernih untuk melihat mukanya sendiri. Akan tetapi tetap saja, mukanya jelas nampak hitam seperti pantat kwali.

"Celaka ….ah, mukaku jadi begini …" tak terasa lagi anak ini menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya mengucur deras.

Setelah memutar otak, dia mencela diri sendiri. "Ah, kenapa aku karus menangis? Kenapa bersedih? Menilai orang bukan melihat warna mukanya, demikian kata para pujangga. Ada lagi yang bilang bahwa roman muka tidak mencerminkan keadaan hati dan watak. Aku boleh buruk, boleh hitam, mengapa pusing? Malu ….? Malu kepada siapa? Huh, …..!" dan tiba-tiba dia mendengar suara cecowetan. Ketika dia memandang, dia melihat agak jauh, di atas pohon terdapat dua ekor lutung hitam, sepasang binatang itu duduk dan saling mencumbu, kelihatan akur dan saling mencinta.

Beng San tertawa, "Mukaku pun hitam seperti mukaa lutung. Siapa bilang muka jelek? Lihat itu, bagi mereka akan jeleklah andaikata muka kawannya itu putih tidak hitam. Hitam atau putih apakah perbedaannya? Baik dan buruk.,di mana garis pemisahnya?" Beng San tanpa disengaja sudah mengeluarkan ujar-ujar dan filsafatfilsafat kuno yang pernah dibacanya di dalam kelenteng Hok thian tong ketika dia masih menjadi kacung kelenteng. Akan tetapi, biarpun ujar-ujar itu tentu saja belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia sepuluh tahun ini, sedikitnya pada saat itu menjadi hiburan baginya, melenyapkan rasa duka dan kecewanya melihat bayangan mukanya yang hitam seperti muka lutung. Setelah puas minum dan mencuci muka, dia melanjutkan perjalanan.

Pada suatu pagi dia tiba di lereng sebuah gunung yang hijau. Ketika dia sedang berjalan hai-hati sekali di jalan kecil yang amaat sunyi itu, tiba-tiba dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap jelas di sebelah depannya. Ia mengangkat muka akan tetapi tidak melihat ada orang. Ia berjalan cepat dan tibalah dia di sebuah jalan kecil.

Di kanan kiri jalan itu terdapat jurang yang panjang dan curam. Dan di tempat inilah dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap dengan jelas sekali, akan tetapi tidak kelihatan orangnya! Biarpun hari sudah terang tanah,matahari sudah naik tinggi, namun bulu tengkuk Beng San berdiri juga saking seramnya. Bagaimana ada dua orang bercakap-cakap di depannya, seperti di kanan kirinya akan tetapi tidak melihat orangnya! Ia berdiri seperti patung dan mendengarkan dua suara orang yang saling jawab di kanan kirinya itu.

"Phoa Ti, kalau tidak keburu terjerumus di sini, sekali mengenal pukulanku ilmu silat Pat hong ciang (ilmu silat delapan penjuru angin), kau tentu mampus!" demikian terdengar suara dari sebelah kiri Beng San, suara yang terbawa angin dari kiri tanpa kelihatan orangnya.

Segera suara dari kanan menjawab "Ha..ha..ha, orang she The, dari sini pun tercium mulutmu yang bau. Kalau tadi aku berlaku hati-hati sedikit dan tidak sampai terjerumus ke sini, dengan ilmu silatku Khong ji ciang (ilmu silat hawa kosong) yang belum kukeluarkan, kau akan mampus lebih dulu."

Beng San bingung sekali. Suara dari kiri terdengar kecil melengking, sedangkan yang dari kanan besar dan parau. Suara apalagi kalau bukan suara setan atau iblis? Masa kalau ada orangnya, tidak kelihatan sedangkan suaranya begitu jelas terdengar olehnya. Atau jangan-jangan semacam kuntilanak yang kejam itu, cuma kali ini pria.

Beng San yang sudah mengalami hal-hal tidak enak dengan Hek hwa Kui bo, menjadi ketakutan dan segera dia berlari pergi.

Tiba-tiba dari sebelah kanan terdengar suara yang parau tadi, "eh siapa di atas?"

Beng San mempercepat larinya. Tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar semacam hawa yang amat kuat dan tak tertahankan lagi tubuh Beng San tergelincir ke dalam juarang di sebelah kiri jalan! Tubuh anak itu bergulingan ke bawah. Untung baginya tidak ada batu-batu disitu dan jurang itu ternyata merupakan tanah lembek sehingga biarpun tubuhnya sakit-sakit, dia tidak menderita luka parah.

"Ha, ha, ha!" terdengar suara melengking tinggi tadi tertawa, kini dekat sekali. "Kau benar lihai, Phoa Ti, dalam keadaan luka parah masih mampu memukul roboh orang.

Akan tetapi kau akan malu kalau melihat bahwa yang kau robohkan hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahunan. Ha..ha..ha..ha!"

Beng San cepat menengok dan terlihatlah olehnya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah duduk bersimpuh di dasar jurang. Benar-benar menggelikan melihat seorang bertubuh begini besar akan tetapi suaranya luar biasa tinggi dan kecil seperti suara perempuan. Orang itu sudah tua sekali mukanya penuh keriput dan agaknya terluka hebat, buktinya sukar menggerakkan kedua kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang jelas, suara parau tadi tanpa kelihatan orangnya sehingga Beng San melupakan sakit –sakit pada tubuhnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Orang she The, tak perlu kau mengejek. Kalau betul kau masih mempunyai ilmu silat cakar bebek yang disebut Pat hong ciang itu, kau datanglah ke sini, biar aku melihatnya."

Orang tinggi besar itu menjawab lantang, "Kau saja yang turun ke sini kalau memang masih memiliki ilmu silat Khong ji ciang, siapa takut menghadapinya?"

Tidak terdengar jawabannya. Sampai lama tidak ada suara lagi dan Beng San hanya duduk sambil mengurut-urut kakinya yang terasa sakit ketika dia bergulingan tadi.

Kemudian si tinggi besar itu berkata lagi.

"He, Phoa Ti, di mana kau?"

"Di sini!" terdengar jawaban parau.

"Kenapa tidak turun ke sini? Kau takut padaku?"

"Muka merah, jangan jual omongan busuk. Kau saja yang ke sini, apakah kau tidak becus?"

kali ini si tinggi besar yang duduk bersimpuh di dalam jurang itu tidak menjawab, sampai lama juga. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya kepada Beng San. Anak itu segera menghampiri. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh orang itu yang berbisik, "Kaulihat keadaannya bagaimana?" sebelum Beng San meklum apa maksudnya, tiba-tiba orang itu menggerakkan kedua tangannya sambil berteriak, "He, Phoa Ti, kau terimalah anak yang kau pukul roboh tadi."

Hampir Beng San menjerit kaget ketika tiba-tiba tubuhnya melayang keatas seperti terbang cepatnya. Ternyata dia telah dilontarkan orang demikian kerasnya sehingga tubuhnya melewati jalan kecil di atas jurang tadi dan langsung tubuhnya melayang turun ke jurang sebelah kanan jalan tanpa dia dapat mencegahnya lagi. Beng San mengira bahwa tubuhnya tentu akan hancur, maka dia menutupkan kedua matanya, menerima nasib. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya berhenti melayang dan ketika dia membuka matanya, ternyata dia telah ditahan oleh sebuah tangan yang amat kuat. Ia diturunkan dan ketika dia memandang, ternyata bahwa yang menahan jatuhnya tadi adalah seorang laki-laki tua sekali yang bertubuh tinggi kurus.

Seperti kakek besar tadi, kakek ini pun terluka hebat, buktinya tidak dapat menggerakkan kedua kakinya pula, malah kakek ini hanya merebahkan diri saja di atas dasar jurang yang penuh rumput hijau. Sekarang mengertilah Beng San bahwa dua orang kakek aneh ini saling bicara dari tempat masing-masing, yaitu yang seorang di dasar jurang sebelah kiri jalan sedangkan yang kedua di dasar jurang sebelah kanan jalan.

Benar-benar aneh bukan main, bagaimana dari tempat sejauh ini bisa saling bercakap-cakap dengan seorang di seberang sana? Apalagi kalau mengingat akan pengalamannya tadi ketika dilempar dari jurang sebelah dan diterima di jurang ini, dia bergidik. Celaka, pikirnya, iblis-iblis ini kiranya tidak kalah aneh dan hebatnya daripada Hek hwa Kui bo.

Ketika kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang menyangga tubuh Beng San, anak ini terguling keatas rumput. Beng San mulai memperhatikan kakek ini. Kakek yang amat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, tubuhnya kurus seperti cecak kering, kedua kakinya tak dapat bergerak, malah tangan kirinya bunting.

Si tangan bunting ini segera berbisik "Eh, bocah sial. Bagaimana keadaan si tinggi besar itu?"

Diam-diam Beng San merasa mendongkol juga. Betapapun lihainya dua orang aneh ini dia merasa sudah dipermainkan seperti sebuah bola, dilempar ke sana kemari maka jawabnya merengut. "Tak lebih buruk daripada engkau. Duduk bersimpuh tak dapat berdiri."

Tiba-tiba si tinggi kurus yang tangan kirinya bunting ini tertawa meledak dengan suaranya yang parau dan keras sampai terngiang dalam telinga Beng San. "Ha, ha, ha, ha, The Bok Nam! Kiranya pukulanku tadi membuat kau tak berdaya di dalam jurang situ. Ha..ha..ha ha!"

Dari seberang sana terdengar jawaban, "Tak usah banyak cerewet kalau anak itu sudah mengobrol yang bukan-bukan. Kalau kau memang masih punya ilmu kepandaian datanglah ke sini, aku tidak takut!"

Mendengar ini, si tinggi kurus yang bernama Phoa Ti itu terdiam. Tiba-tiba matanya bersinar-sinar aneh ketika dia memandang Beng San. "Bagus," katanya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Beng San, "Tulang dan darahmu cukup baik.

Kau bisa menjadi penguji dan penentu kalah menang antara aku dan The Bok Nam."

Setelah berkata demikian dia berteriak lagi.

"He, orang she The. Seorang gagah tidak perlu berpura-pura. Kau terluka tak dapat keluar dari jurang, aku pun demikian. Akan tetapi kita masih seri, belum ada yang kalah atau menang. Sekarang ada saksi bocah tolol ini. Mari kita adu kepandaian melalui bocah ini!"

Dari sana sampai lama baru terdengar jawaban yang merupakan pertanyaan, "Apa maksudmu?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar