02 Pusaka Pulau Es

Tao Keng Han berangkat diantar oleh kakeknya dan Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali. Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan tinggi. Bagi dirinya sendiri, ia sudah menerima nasib. Biarlah ia tidak dijemput ke istana asalkan puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi terhibur.

Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan dapat menimbulkan gairah hidup. Kalau masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!

Karena itu, orang tidak boleh putus harapan akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekalipun,' biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain lagi yang dianggap lebih baik.

Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan agar puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran!

Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya, dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah-olah tiada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan. Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia dapat selalu membunuh binatang buas yang mengancamnya.

Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di tepi pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.

Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang amat menakjubkan. Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah kebakaran. Warna merah lagit itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali Bagian pintu gerbang sorga dalam dongeng. Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang besar sekali, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor mahluk yang aneh yang muncul dari dalam lautan. Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Dan sinarnya mulai membuat jalan jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!

Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarang takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta. Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebai menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.

Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.

Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka.

Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu, bahkan doa sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah telah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.

Keramaian yang makin terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang kini sinarnya mulai tak tertahankan oleh pandang mata, menyadarkannya dari lamunan. Apalagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana. dia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dan belasan orang nelayan yang ribut mulut.

Kami tidak peduli! kata seorang di antara tiga pendatang itu. Kalian harus menyerahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!

Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan! bantah seorang nelayan yang masih muda. Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?

Kamu berani membantah? Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh. Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapa yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!

Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui? terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, melainkan lebih mirip jagoan dengan pakaian yang ringkas. Kami yang akan membela para nelayan ini!

Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah. Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami? Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.

Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagaimana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini atau kami akan menghajar kalian!

Ah, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami! Tiga orang itu lalu maju menyerang dua orang tukang pukul itu dan terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.

Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu! kata si hidung pesek dengan nada sombong. Cepat kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?

Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini! tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.

Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.

Juragan Lui, kami dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami! kata nelayan yang tadi dipukul. Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!

Mendengar ini, si hidung pesek tertawa, Ha-ha-ha, kiranya engkau yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Kalian berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!

Hemmm, kalian bertiga yang bosan hidup! bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwenya meniupkan asap tembakau yang berbau apak itu ke arah mereka.

Keparat, berani kau! Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudahnya Juragan Lui mengelak, kemudian menangkap siku tangan yang memukul dan sekali puntir dan mendorong, orang itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.

Dua orang kawannya menjadi marah bukan main. Jahanam yang bosan hidup! bentak mereka dan mereka meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka.

Biarpun pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak ke sana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai senjata.

Trang-tranggg....! Dua batang golok tertangkis huncwe dan dua orang pemegang golok itu terhuyung ke belakang. Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong dan tiba-tiba saja ujung huncwe telah menyodok dadanya.

Dukkk....! Orang itu mengaduh, goloknya terlepas dan dia pun roboh bergulingan, nampak kesakitan. Dua orang kawannya menjadi marah dan kembali mereka menyerang dari kanan kiri. Namun gerakan juragan Lui terlalu gesit bagi mereka dan setelah mengelak, huncwe itu berkelebat dua kali dan dua orang pengeroyok itu pun roboh tertusuk huncwe bagian dada dan perut mereka. Tiga orang itu merangkak bangun dan melarikan diri. Tentu saja kemenangan Juragan Lul ini membuat para nelayan menjadi lega dan gembira. Mereka memujl-muji kegagahan Juragan Lui yang menjadi bangga dan sambil menyedot huncwenya lalu mengepulkan dari mulut dia berkata bangga.

Hemmm, segala macam bangsat kecil berani mengganggu wilayahku. Baru mengenal kelihaian Juragan Lui sekarangi Hayo kalian berkemas dan bekerja!

Para nelayan lalu sibuk mempersiapkan diri untuk mulai pergi mencari ikan. Akan tetapi Keng Han yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan hati tertarik, melihat datangnya beberapa orang berlarian menuju ke tempat itu dan hatinya merasa khawatir.

Tak lama kemudian, lima orang telah tiba di situ, dipimpin seorang yang mukanya hitam seperti dilumuri arang dan tubuhnya tinggi besar. Orang ini membawa sebatang golok besar telanjang yang berkilauan saking tajamnya, dan empat orang kawannya juga membawa golok tergantung di pinggang masing-masing. si muka hitam berteriak dengan suara lantang.

Siapa yang bernama Juragan Lui?

Para nelayan yang tadinya sibuk bekerja itu menjadi panik melihat munculnya lima orang itu. Akan tetapi Juragan Lui dengan tenang menghampiri mereka dan dengan alis berkerut dia pun menegur.

Siapakah kalian dan mau apa mencari Juragan Lui? Akulah orangnya! Dan dia mengepulkan asap huncwe dari mulutnya,

Si muka hitam melangkah maju menghampiri dan mengelebatkan golok besarnya. Jadi engkau yang bernama Juragan Lui? Engkau telah berani memukul tiga orang anak buahku, maka aku sendiri, Hek Houw (Harimau Hitam) datang untuk menghukummu!

Hemmm, bagus! Anak buahmu yang berani melakukan pengacauan di wllayahku dan engkau hendak membela mereka? Huncweku tentu tidak akan mengampunimu. Ataukah engkau akan melakukan pengeroyokan dengan empat orang kawanmu? Aku pun dapat mengerahkan semua orangku untuk mengeroyok. Katakan, engkau menghendaki keroyokan banyak orang atau hendak bertanding satu lawan satu sebagaimana layaknya orang gagah?

Ha-ha-ha, si lintah darat Lui mailh dapat bicara tentang orang gagah. Mari kita bertanding satu lawan satu, dan kalau aku menang, engkau harus menyediakan perahu-perahu untuk kami tiga puluh orang pergi ke pulau kosong!

Hemmm, kiranya kalian sebangsa perampok. Bagaimana kalau engkau yang kalah?

Aku Si Harimau Hitam, kalah olehmu. Ha-ha-ha, jangan mimpi! Kalau aku kalah, aku dan kawan-kawanku tidak akan mengganggu dusun ini lagi.

Bagus! Mari kita mulai!

Dua orang itu lalu memasang kudakuda. Si muka hitam, mengangkat goloknya tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Juragan Lui dengan sikapnya yang tenang melentangkan huncwenya di depan dada.

Lihat seranganku! bentak si muka hitam yang menyerang lebih dulu dengan goloknya. Golok itu menyambar dahsyat ke arah kepala Juragan Lui. Yang diserang menggerakkan huncwenya menangkis.

Tranggggg....!! Pertemuan antara kedua tenaga dahsyat itu hebat sekali dan nampak api berpercikan keluar dari tempat tembakau huncwe itu dan keduanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang berimbang.

Agaknya Hek Houw menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang kepala perampok yang sudah terkenal di daerah itu dan baru sekali ini bertemu tanding yang seimbang dalam diri seorang juragan nelayan! Karena marah, dia lalu menyerang lagi dan menggerakkan goloknya dengan hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya. Akhirnya, Juragan Lui terdesak juga oleh permainan golok yang amat cepat dan kuat itu. Senjatanya berupa huncwe itu tidak menguntungkan, hanya dapat dipakil untuk menotok saja, sedangkan golok lawan dapat dipergunakan untuk membacok dan menusuk.

Sing-sing-singgg....! Golok, itu menyambar-nyambar sehingga Juragan Lui terpaksa harus berloncatan ke sana kemari untuk menghindarkan diri. Dia tidak mendapat kesempatan lagi untuk balas menyerang saking cepatnya serangan lawan yang bertubi-tubi.

Trakkk....! Tiba-tiba golok itu tertahan di udara oleh sebatang kayu ranting. Si Harimau Hitam merasa betapa tangannya kesemutan dan goloknya seolah tertahan dan melekat pada ranting kayu itu. Dia cepat menarik goloknya. Dan melangkah mundur.

Ternyata yang memegang sebatang ranting dan yang menahan goloknya itu adalah seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah. Seorang pemuda yang usianya paling banyak lima belas tahun, bermata lebar, hidungnya mancung dan mulutnya senyum-senyum. Pemuda itu adalah Tao Keng Han. Tadinya dia hanya nonton saja perkelahian yang terjadi itu, akan tetapi melihat betapa Juragan Lui terdesak dan terancam, dia tidak dapat tinggal diam saja lalu memungut sepotong ranting dan turun tangan menangkis golok yang menyambar-nyambar itu.

Keparat! Engkau bocah tak tahu diri, siapakah engkau yang berani menangkis golokku?

Keng Han tersenyum. Siapa aku tidaklah penting, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendak agar ditaati orang lain. Itu merupakan perbuatan jahat yang harus kutentang. Orang-orang ini adalah para nelayan yang harus bekerja mencari nafkah, mengapa engkau mengganggu mereka dan memaksa mereka untuk mengantarmu berlayar?

Anak kecil kau tahu apa! Hayo pergi dari sini atau akan kupenggal batang lehermu?

Hemmm, hendak kulihat bagaimana caranya engkau memenggal batang leherku, sebaliknya aku akan mematahkan batang hidungmu! kata Keng Han. Dia tadi sudah menyaksikan pertandingan antara kepala perampok ini dengan Juragan Lui dan melihat betapa dakal penilainnya, gerakan kepala perampok itu hanya mengandalkan tenaga luar saja dan lamban baginya, maka dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya.

Mendengar ucapan pemuda remaja itu, Harimau Hitam menjadi marah sekali. Dia mengayun goloknya dengan penuh sambil membentak.

Hyaaaaattt....! Akan tetapi bacokan itu luput karena dengan lincahnya Keng Han sudah mengelak. Anak ini sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Gosang Lama yang tingkatnya jauh lebih tinggi daripada ilmu golok penjahat itu, maka Keng Han dapat mempermainkannya. Setelah enam tujuh kali dia mengelak dari sambaran golok kepala perampok itu, Keng Han mulai menggerakkan ranting kayu di tangannya.

Prat-prat!! Dua kali ranting kayu menyambar dan tak dapat dihindarkan lagi muka kepala perampok itu terkena lecutan ujung ranting kayu sehingga nampak dua jalur merah pada kedua pipinya! Rasa nyeri dan pedih membuat dia semakin marah dan mengamuk seperti harimau terluka. Namun, semakin hebat dia mengamuk semakin sering pula ranting kayu itu melecut dan beberapa kali mengenai batang hidungnya sehingga tulang batang hidung yang tidak keras itu menjadi patah-patah dan berdarah!

Melihat kepala perampok itu tidak menjadi jera bahkan mengamuk semakin ganas, Keng Han lalu menggerakkan tongkatnya dua kali ke arah lutut. Dia menotok kedua lutut Harimau Hitam itu dan kepala perampok itu jatuh berlutut! Empat orang anak buahnya yang tidak berani mencampuri karena di situ selain terdapat Juragan Lui, juga terdapat banyak sekali nelayan, segera membantu ketua mereka, mengangkatnya bangun dan memapahnya pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi.

Para nelayan menyambut kemenangan Keng Han dengan sorak dan tepuk tangan. Juragan Lui segera menghampiri Keng Han dan memberi hormat sambil berkata, Siauw-hiap (Pendekar Muda) sungguh lihai, mengagumkan sekali dan terima kasih atas pertolonganmu tadi.

Akan tetapi Keng Han yang tadi telah bertanya-tanya dan mendapat keterangan beberapa orang nelayan siapa adanya Juragan Lui itu, sudah berkata dengan ketus kepadanya, Engkau juga bukan orang baik-baik, Juragan Lui!

Mendengar ini, Juragan Lui terbelalak dan berseru, Engkau keliru, orang muda! Aku adalah penolong seluruh nelayan di daerah ini! Siapa yang memberi modal kepada mereka untuk memperbaiki jala dan perahu! Aku! Siapa yang memberi mereka makan dan pakaian di waktu angin besar tidak memungkinkan mereka mencari nafkah? Aku! Kalau tidak ada aku, mereka tentu banyak yang sudah kelaparan!

Hemmm, memang baik sekali kalau engkau menolong mereka dari kesukaran. Akan tetapi engkau menolong dengan pamrih untuk menarik keuntungan sebesarnya. Kalau musim menangkap ikan tiba, engkau mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil tangkapan ikan kepadamu. Engkau memperhitungkan bantuan-bantuanmu sebagai hutang dengan bunga berlipat ganda. Itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan! Engkau sepertl lintah darat, tidak baik daripada kepala perampok tadi!

Itu filtnah! Engkau lancang mulut dan perlu dihajar, orang muda! kata Juragan Lui dengan marah sekali.

Benarkah? Aku atau engkau yang perlu dihajar? Keng Han mengejek.

Karena merasa dihina di depan banyak, orang, Juragan Lui segera menyerang dengan huncwenya. Serangannya cepat dan berbahaya, namun bagi Keng Han serangan itu tidak ada artinya. Dia mengelak dan sekali tongkatnya bergerak, ujung tongkatnya telah menotok pergelangan tangan yang memegang huncwe sehingga pipa tembakau itu terlepas dari pegangan tangan Juragan Lui. Para tukang pukulnya yang ketika itu sudah berkumpul di situ dan ada belasan orang banyaknya sudah siap membantu juragan mereka, akan tetapi Keng Han menodongkan ujung rantingnya ke leher Juragan Lui dan membentak, Mundur kalian semua! Atau, aku akan membunuh juragan kalian ini lebih dulu, baru membunuh kalian!

Juragan Lui yang ditodong lehernya maklum bahwa sekali tongkat itu bergerak menotok, dia akan tewas. Dengan ketakutan dia lalu berkata, suaranya gemetar.

Ampunkan aku, Siauw-hiap. Aku akan mentaati semua permintaanmu.

Keng Han menarik tongkatnya. Aku tidak menghendaki apa pun darimu, akan tetapi mulai sekarang engkau tidak boleh memeras para nelayan. Kalau memberi pinjaman, mintalah bayaran dengan bunga yang wajar saja sehingga para nelayan berkesempatan untuk menaikkan taraf kehidupan mereka. Mereka itu manusia, sama dengan engkau dan aku yang membutuhkan kesejahteraan dan kesenangan, bukan sekedar makan saja. Kalau lain kali aku melihat engkau masih memeras mereka, aku akan membunuhmu!

Baik, Siauw-hiap. Aku akan melaksanakan perintahmu.

Sekarang, aku ingin menyewa sebuah perahu dengan tukang perahu yang dapat mengantar aku ke Pulau Es yang muncul belasan tahun yang lalu.

Wajah Juragan Lui menjadi pucat. Ah, akan tetapi di antara kami tidak ada yang berani ke sana, Siauw-hiap.

Mengapa tidak berani? tanya Keng Han dengan heran.

Karena.... karena pulau itu berhantu!

Berhantu? Apakah ada yang pernah melihat hantu di pulau itu?

Melihat sih belum, akan tetapi kabar yang tersiar di mana-mana bahwa pulau itu berhantu. Sudah beberapa orang nelayan yang berani mencari ikan agak dekat dengan pulau itu, kedapatan mati, mati dengan tubuh hangus seperti dibakar! Nah, siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan hantu? Kami.... maafkan, Siauw-hiap, tidak ada di antara kami yang berani....

Aku yang menanggung keselamatannya. Orang yang mengantarku ke sana tidak perlu ikut mendarat, cukup mengantar sampai aku tiba di sana saja. Setelah aku mengadakan penelitian di sana, dia lalu boleh mengantar aku kembali dan untuk itu aku mau membayar sewa perahu dan upah yang memadai.

Mendengar ini, Juragan Lui lalu menoleh ke belakang, ke arah para nelayan dan bertanya, Kalian semua telah mendengar permintan Siauw-hiap ini, apakah ada di antar kalian yang sanggup mengantarkan dia ke pulau itu?

Para nelayan itu nampak ketakutan, saling pandang dan menggeleng kepala. Akan tetapi seorang nelayan yang berusia lima puluh tahun segera melangkah maju dan berkata, Biarlah saya yang akan mengantar Siauw-hiap ini ke sana! Dia sudah melepas budi kepada kami, memperbaiki nasib kami, maka sebagai tanda terima kasih biar saya mengantar dia ke sana! Orang-orang bertepuk tangan memuji ketika ada seorang di antara mereka yang berani mengajukan diri. Orang itu bernama Ji Koan, seorang nelayan kawakan yang sejak kecil sudah menjadi nelayan di tempat itu.

Terima kasih, Paman. kata Keng Han. Siapakah nama, Paman?

Namaku Ji Koan, Siauw-hiap.

Paman Ji, berapa sewa perahumu? Aku akan membayarnya lebih dulu.

Tidak usah, Siauw-hiap. Soal sewanya mudah nanti saja kalau Siauw-hiap sudah berhasil sampai ke pulau itu dan kembali dengan selamat ke sini. Kapan berangkat, Siauw-hiap?

Sekarang juga, Paman Ji. Dan jangan sebut aku siauw-hiap. Namaku Tao Keng Han.

Baiklah, Tao-kongcu. Nah, saya sudah siap. Itu perahuku yang layarnya kuning. kata Ji Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu. Semua ini dia lakukan karena rasa terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di situ akan menjadi jauh lebih baik.Para nelayan yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat berlayar, semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar. mata penuh ketegangan, juga kekhawatiran. Akan tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan yang tidak berkeluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.

Semua penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau orang bicara tentang Pulau Hantu, demikiari mereka menamakan pulau kosong itu. Rasa takut adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, malapetaka yang akan menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut. Takut dan khawatir hanya merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal-hal yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian mengerikan yang mungkin menimpa diri kita. Kalau kejadian itu sudah datang menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi. Kalau ada wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba. Pendeknya, segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita di masa depan, memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan ngeri. Seperti orang takut akan hantu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang mengerikan kalau. bertemu benar-benar. Andaikata kita sudah bertemu dengan Iblis seperti kita melihat mahluk-mahluk lainnya, pasti tidak ada lagi rasa takut itu. Kalau kita tidakimembayangkan hal-hal yang belum datang, tidak membayangkan masa depan, maka kita hanya akan menghadapi saat ,ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang ini dan kita bebas daripada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang berbahagia.

Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang ter jadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apa pun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka. Bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk mendapatkan yang terbaik, akan tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan kegagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kesalahannya harus kita cari dalam sepak terjang kita sendiri!Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang dan angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han meluncur dengan sempurna. Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya ketika bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ah, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya? Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah! Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya. Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu lahir! Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau aneh itu, apalagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan. Cerita ini tidak membuatnya takut, bahkan menambah keinginan tahunya. Benar-benarkah ada hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu seperti dalam bentuknya aneh-aneh dan mengerikan?

Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru. Itulah dia.... Pulau Hantu....! ketika menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.

Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget dan cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari situ. Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan. Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali muncul dari dalam lautan. Dia tidak dapat mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu, mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.

Ah, kelihatan pulau biasa saja, mengapa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat.

Tao-kongcu.... saya.... saya takut....!

Aih, apa yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu! katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan. Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai kepandaian itu. Kini dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon-pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.

Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya dan melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.

Kongcu, lihat....! Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil. Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki. Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali. Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, akan tetapi Keng Han menggunakan dayungnya menghantam dan dua ekor ular Itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat. Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan. Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.

Kongcu.... mari kita kembali saja.... Dia mengeluh ketakutan.

Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han menambah keinginan tahunya. Tidak, Paman. Kita terus ke pulau, mendarat! katanya sambil menggerakkan dayunnya dengan penuh tenaga.

Ji Koan tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ikut pula mendayung, biarpun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.

Lihat itu, Paman! tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.

Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.

Saya takut mendarat, Kongcu.

Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini, di dekat pantai biar aku sendiri yang mendarat. Akan tetapi tunggu, jangan pergi sebelum aku kembali.

Baik, Kongcu. kata Ji Koan yang masih ketakutan.

Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat. Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.

Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih seperti kapas, sedang mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu. Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari. mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka. Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu sungguh ganas bukan main. Ke mana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan dan mati! Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar! Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan nekat, akan tetapi satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu, kan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.

Ha-ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah berani melawanku. Aku Swathai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!

Keng Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap kakek itu terlalu sombong dan terlalu kejam, membunuhi tiga puluh orang begitu saja. Dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya dan Keng Han melompat keluar dari balik batu besar sambil berseru, Kakek tua, sungguh engkau seorang manusia yang kejam seperti iblis!

Kakek itu menoleh dan ketika melihat seorang pemuda remaja memakinya kejam seperti iblis, dia tidak menjadi marah bahkan tertawa bergelak. Bagus, aku memang kejam seperti iblis, dan memang aku ini iblis Tua Lautan Salju. Karena engkau telah memujiku, maka aku mengampunimu dan tidak akan membunuhmu, ha-ha-ha!

Akan tetapi Keng Han menjadi semakin marah. Kakek iblis, bukan engkau yang hendak membunuhmu, melainkan aku yang akan membunuhmu. Iblis seperti engkau ini harus dibasmi dari permukaan bumi agar tidak lagi membunuhi manusia!

Keng Han meloncat ke depan menghampiri kakek raksasa berambut putuh itu. Dia seperti seekor burung yang baru saja dapat terbang, tidak takut apa-apa. Dia menganggap ilmu silatnyn sudah cukup tinggi untuk membela diri, tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia iblis yang selain kejam juga lihai bukan main. Dengan gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan kanannya. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak atau menangkis.

Bukkk....! Pukulan tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah. Dia seperti memukul bukit baja yang mengeluarkan tenaga mendorong amat kuatnya.

Ha-ha-ha, engkau berani melawan aku? Baiklah, engkau sudah bosan hidup, mampuslah! Kakek itu lalu mengirim pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya. Melihat ini, Keng Han teringat kepada para perampok yang roboh karena pukulan jarak jauh itu, maka dia tahu betapa berbahayanya pukulan ini. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sehingga hawa pukulan yang menyambarnya itu luput.

Pada saat itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu. Ihhh....! Kakek itu mendengus dan sekali tangannya menyampok, ular merah itu terpukul hancur. Dua ular lain melayang dan menyerangnya, akan tetapi juga dua ekor ular ini ditangkis dan jauh berkelojotan dengan kepala remuk.

Kakek itu merasa penasaran karena melihat pukulannya ke arah Keng Han tadi dapat dielakkan, dia memburu dengan langkah panjang ke arah Keng Han dan kembali melancarkan pukulan jarak jauh. Kini, biarpun Kong Han sudah melompat ke kiri untuk manghindar, tetap saja tubuhnya dilanda hawa pukulan yang membuat dia terlempar dan terbanting keras.

Hawa yang amat dingin menyerang seluruh tubuhnya membuat dia menggigil. Akan tetapi dia masih dapat bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk melawan sampai akhir. Pada saat itu, banyak sekali ular merah yang tadi mengikuti perahu Keng Han mendarat seperti barisan ular yang banyak sekali. Ketika melihat Keng Han bangkit terhuyung ke arah barisan ular, menyongsongnya di luar kesadarannya, langsung saja tiga ekor ular menyerangnya. Dia tidak mampu mengelak atau menangkis sehiingga seekor ular telah menggigit lehernya, seekor lagi menggigit tangannya dan seekor lagi menggigit kakinya!

Digigit tiga ekor ular merah itu, Keng Han seperti terkena sengatan halilintar. Dia terbelalak, tidak menggigil lagi, dan seperti mendadak menjadi gila. Keng Han tertawa dan menangis, lalu merenggut ular yang menggigit lehernya lalu.... membuka mulutnya dan menggigit ular itu, dikunyahnya seperti orang makan kue yang lezat saja! Kemudian dia berteriak-teriak sambil lari ke tengah pulau, masih memegangi tubuh ular yang berlepotan darah sedangkan dua ular masih bergantung kepada tangan dan kakinya.

Sementara itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular merah! Dia sibuk berloncatan ke sana sini sambil mengibaskan kedua tangannya.

Huo-hiat-coa (ular darah api)....!

Banyak sekali....! Wah, sungguh berbahaya. Benar-benar Pulau Hantu....! Dan kakek itu lalu melarikan diri,melompat ke atas sebuah perahu. Kebetulan dia melompat ke perahu yang ditumpangi Ji Koan yang ketakutan. Melihat ada orang di dalam perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air dalam keadaan sudah tewas karena tendangan itu kuat bukan main! Segera kakek itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan pergi cepat-cepat dari pulau itu dengan wajah membayangkan bahwa dia juga gemetar menghadapi barisan ular yang disebutnya Huohiat-coa itu.

Keng Han seperti telah menjadi gila. Dia berlari terus sambil makan ular itu. Digigitnya sepotong tubuh ular dan dikunyahnya dengan nikmat. Bibirnya berlepotan darah. Dia berlari terus sambil kadang menangis kadang tertawa, atau berteriak-teriak.

Panas....! Panas....! teriaknya akan tetapi tak lama keniudian teriakannya berubah menjadi, Dingin....! Dingin....!

Dia berlari terus ke tengah pulau yang merupakan bukit. Dia mendaki bukit gundul itu, tidak tahu dan tidak menyadari apa yang dilakukannya. Setelah seekor ular habis dimakannya, dia mengambil ular yang masih bergantung menggigit tangannya dan kembali dia makan ular itu, dimulai dari kepalanya! Sungguh mengerikan sekali keadaan pemuda remaja itu. Wajahnya kadang menjadi pucat, kadang merah sekali. Matanya terbelalak lebar napasnya kadang memburu dan terengah-engah. Akan tetapi dia terus makan ular dan setelah ular kedua habis, dia mengambil ular ketiga yang bergantung di kakinya. Akhirnya tiga ekor ular itu habis dimakannya dan dia kini tiba di sebuah gua dan terguling roboh ke dalam gua itu, pingsan!

Keadaan Keng Han mengerikan dan mencemaskan. Akan tetapi yang jelas, pukulan yang mengandung hawa sinkang amat dingin itu, yang telah membunuh tiga puluh orang dalam keadaan tubuh membeku, ternyata tidak sampai membunuh Keng Han. Dan lebih aneh lagi, gigitan tiga ekor ular merah itu pun tidak membunuhnya, padahal biasanya, sekali tergigit seekor ular darah api itu, orangnya akan tewas seketika dan tubuhnya menjadi hangus seperti terbakar!

Keadaan Keng Han yang mengherankan itu bukan tanpa sebab. Memang kematian seseorang sepenuhnya tergantung kepada kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang itu harus mati, kalau sudah tiba saat kematiannya, apa pun di dunia ini tidak akan dapat mencegahnya. Biar andaikata orang itu bersembunyi ke dalam liang semut, akhirnya sang maut akan datang pula menjemput. Sebaliknya kalau Tuhan belum menghendaki seseorang itu mati, biarpun sudah terancam bahaya maut, sudah berada di dalam mulut harimau umpamanya, dia akan dapat lolos dari maut dan selamat. Banyak orang yang sejak muda sekali menjadi seorang perajurit, sudah ratusan kali berperang dan bertempur, akan tetapi selalu saja dia lolos dari cengkeraman maut. Setelah tua dan pensiun, berhenti dari pekerjaannya yang penuh bahaya itu, berada di rumah yang aman, datang penyakit dan dia pun meninggal dunia! Demikianlah, mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apakah kalau sudah mengetahui akan kenyataan ini orang lalu bersikap masa bodoh terhadap keselamatan dirinya, menyerahkan saja kepada kekuasaan Tuhan untuk mengaturnya? Tentu saja tidak! Manusia hidup sudah memiliki kewajiban sejak dilahirkan untuk menjaga diri, untuk mempertahankan hidup ini, senang atau tidak senang. Ikhtiar itu suatu kewajiban mutlak, keputusan akhir adalah menjadi kekuasaan Tuhan.

Keng Han tentu sudah tewas akibat pukulan kakek raksasa berambut putih yang menamakan dirinya Swat-hai Lokwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena tenaga sinkang anak itu belum mampu melawannya. Dia tentu sudah tewas kalau saja pada saat itu dia tidak tergigit oleh tiga ekor ular merah! Dan dia tentu sudah mati pula oleh gigitan ular darah api itu yang gigitannya mengandung racun panas yang membuat orang yang digigit mati dengan tubuh hangus, kalau saja dia tidak terpukul oleh Swat-hai Lokwi dan karena dia tergigit oleh tiga ekor ular sekaligus, maka racun tiga ekor ular itu sebetulnya terlalu kuat bagi hawa sinkang dingin yang menyerang tubuh Keng Han. Akan tetapi dalam keadaan seperti gila karena diombangambingkan antara dua hawa dingin dan hawa panas, yang membuat dia menangis dan tertawa, dia telah makan ular-ular itu dan hal ini merupakan obat penawar yang bukan main hebatnya.

Keng Han tergelimpang dalam gua, pingsan sampai hari menjadi malam. Semalam suntuk dia seperti telah mati, dalam tubuhnya terjadi pertempuran yang hebat antara dua tenaga yang berlawanan itu. Darahnya keracunan dua macam hawa, seluruh tubuhnya dijalari hawa dingin dan panas itu.

Akhirnya, pada keesokan harinya, setelah matahari mulai memandikan permukaan pulau itu dengan sinarnya yang keemasan, Keng Han mengeluh dan membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya, silau karena kebetulan mukanya menghadap ke matahari, lalu menggosok-gosok kedua matanya. Kemudian dia teringat akan kakek raksasa rambut putih dan ular merah, maka dia cepat bangkit duduk. Ketika membuat gerakan ini, dia terkejut sendiri karena tubuhnya terasa demikian ringan seolah tidak berbobot! Dia lalu duduk bersila dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi.

Dia naik perahu bersama Paman Ji Koan nelayan tua itu menuju ke pulau kosong yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Dia telah tiba di pulau dan nampak ada tujuh buah perahu di tepi dekat batu-batu. Lalu ada ular-ular merah menyerangnya. Kemudian dia melompat ke atas batu meninggalkan Ji Koan dan melihat seorang kakek raksasa berambut putih bertempur melawan para perampok yang dipimpin oleh Hek Houw. Dan semua perampok telah dibunuh oleh kakek raksasa. Dia keluar dari balik batu menegur dan dia lalu dipukul oleh kakek itu. Dan dia digigit ular-ular merah! Hanya itulah yang diingatnya. Dia tidak tahu bagaimana kini dia berada di tempat itu, di sebuah gua yang menganga besar seperti mulut seekor naga raksasa. Mengingat bahwa dia pernah terpukul oleh kakek raksasa bernama Swat-hai Lokwi yang membuat tubuhnya terasa dingin sekali itu, dan mengingat bahwa dia digigit ular-ular merah, dia terkejut sekali. Kenapa dia tidak mati seperti yang lain? Dia lalu memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan dalam. Ternyata tubuhnya tidak mengalami luka dalam. Dia menyalurkan hawa dari tantian untuk melihat apakah tenaga sinkangnya masih ada. Dan dia terkejut. Ketika dia mulai mengerahkan tenaga, ada tenaga yang amat dahsyat bangkit membubung ke atas dari tan-tian dan hampir saja dia tidak dapat mengendalikannya dan tubuhnya terjengkang! Untung dia segera menghentikan pengerahan tenaganya sehingga dia tidak sampai terguncang dan terluka oleh hawa sakti itu sendiri. Tubuhnya mendadak menggigil kedinginan lalu berubah menjadi kepanasan. Ada dua hawa yang berlawanan berada di tubuhnya dan keduanya demikian kuatnya mempengaruhi tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa hawa dingin akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi itu menjadi berlipat ganda kuatnya setelah dia makan tiga ekor ular itu, perbuatan yang tidak diingatnya lagi. Di tubuhnya kini ada dua tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Hal ini mulai dia rasakan dan ketahui dan diam-diam Keng Han juga dapat menduga bahwa ini tentu akibat pukulan kakek raksasa dan akibat gigitan ular merah. Keng Han adalah seorang pemuda yang cerdik, maka dia sudah dapat menduga akan hal ini. Tentu saja dia merasa girang sekali. Dia lalu bangkit berdiri, keluar dari dalam gua itu dan menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dia lalu memasang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sinkangnya, memukul dengan kedua telapak tangan ke depan. Serangkum tenaga yang tadi membuatnya terjengkang keluar melalui kedua tangannya menghantam batu besar itu dan.... dan batu besar itu meledak-ledak pecah dan menggelinding sampai jauh! Keng Han cepat menyimpan kembali tenaganya dan dia memandang kagum. Ah, dia harus berhati-hati sekali dan tidak boleh bermain-main dengan tenaganya itu. Dia harus melatih diri tmtuk dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya sehingga dapat dia pergunakan seperlunya.

Kemudian dia teringat kepada Ji Koan. Paman itu masih dia tinggalkan di dalam perahu! Teringat akan ini, dia lalu melompat dan berlari turun. Hampir saja dia bergulingan jatuh kalau tidak cepat dia menyimpan tenaganya. Ketika dia mengerahkan tenaganya berlari, tubuhnya terdorong kekuatan yang demikian hebat sehingga dia seolah terbang! Dia telah lupa lagi! Dia belum menguasai benar tenaga itu sehingga seolah-olah masih liar. Tenaga liar yang menguasai tubuhnya amatlah berbahaya kalau tidak dapat dia kendalikan. Dia lalu berjalan biasa saja menuruni bukit itu, menuju ke tepi di mana dia mendarat kemarin. Dia pun tidak tahu bahwa semalam telah lewat, disangkanya hari itu masih hari kemarin ketika dia datang.

Ketika tiba di tempat itu, dia masih melihat tiga puluh orang perampok itu malang melintang dan sudah tewas semua, dan banyak barang berceceran di tempat itu. Golok dan pedang, peti-peti terisi barang berharga, mungkin barang rampokan, segala macam prabot masak dan lain-lain. Akan tetapi raksasa rambut putih itu sudah tidak berada di situ. Hal ini melegakan hatinya dan cepat dia naik ke atas batu-batu di tepi pantai. Hatinya berdebar penuh ketegangan dan kekecewaan. Bukan saja dia tidak melihat Ji Koan, akan tetapi juga dia tidak melihat sabuah pun perahu di situ! Dan melihat bekas-bekasnya, agaknya, pernah air laut pasang dan menyapu pergi semua perahu yang berada di situ. Bekas air laut sampai naik ke dekat tempat orang-orang itu bertempur dan beberapa buah peti agaknya terbawa air karena dia melihat beberapa buah peti itu terapung di laut. Tentu perahu-perahu itu telah hanyut oleh air pasang. Atau ada yang membawa pergi? Dia tidak tahu benar dan apa pun yang telah terjadi, kenyataannya bahwa dia ditinggal di situ tanpa perahu! Bagaimana dia akan dapat meninggalkan pulau itu?

Keng Han merasa lemas hatinya dan dia duduk termenung di atas batu, memandang jauh ke laut yang tidak bertepi. Dia tidak percaya kalau Ji Koan, paman nelayan yang baik hati itu, sengaja meninggalkannya! Kakek raksasa yang amat kejam itu! Dan dia mengkhawatirkan nasib Ji Koan.

Tenangkan hati dan pikiranmu, Keng Han! katanya kepada diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, dia harus bersikap tenang. Harus dapat menentukan apa yang lebih baik dan lebih dulu harus dia lakukan.

Mayat-mayat itu! Kalau dia dipaksa harus tinggal di tempat itu, lebih dulu mayat-mayat itu harus dikubur dengan baik. Kalau tidak mereka akan membusuk dan menimbulkan penyakit yang membahayakan dirinya. Setelah berpikir demikian, dia segera memilih tempat yang tanahnya agak lunak, menggunakan golok yang banyak terdapat di situ dan menggali beberapa buah lubang yang besar. Enam buah lubang besar dia gali dan ketika melakukan pekerjaan ini, dirasakan mudah sekali. Tenaganya amat besar dan menggali lubang itu dirasakan ringan saja. Setelah menggali lubang-lubang itu, dia lalu mengubur tiga puluh mayat itu.

Lima buah dalam satu liang dan setelah semua dikubur, dia menimbuni liang-liang itu dengan tanah. Setelah selesai, dia mencuci kedua tangan dan kakinya dengan air laut sampai bersih benar. Kemudian kembali dia duduk berpikir. Apa yang harus dikerjakan sekarang?

Mengumpulkan barang-barang yang akan berguna baginya. Kalau dia terpaksa hidup di pulau itu, dia harus memiliki barang-barang yang berguna. Mulailah dia memilih-milih di antara barang yang berserakan, milik para perampok itu. Dia mengambil dua batang golok yang terbaik, lalu mengambil prabot-prabot masak. Kemudian dia mengangkut barang-barang berharga seperti kain dan perhiasan-perhiasan dan mengumpulkan semua itu ke dalam, gua di atas bukit. Gua itulah satu-satunya tempat yang baik baginya untuk dijadikan tempat tinggal.

Pekerjaan ini dilakukan sampai malam tiba. Perutnya terasa lapar sekali, akan tetapi karena malam telah tiba dia tidak dapat pergi mencari makanan. Dia membuat api dan membakar api unggun di mulut gua, lalu tertidur beralaskan sehelai permadani yang diketemukannya di antara banyak kain dan barang berharga tadi. Dia merasa heran mengapa tadi dia tidak melihat ada seekor pun ular merah. Agaknya ular-ular itu pergi bersembunyi ketika air laut pasang, pikirnya. Akhirnya dia pun tertidur saking lelahnya dan lapar di perutnya tidak dirasakannya lagi.

   

Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah pertama-tama yang dilakukan Keng Han adalah mencari sumber air di pulau itu. Hal ini amatlah penting karena tanpa adanya air tawar, bagaimana dia dapat hidup. Dan dia yakin bahwa di pulau di mana terdapat begitu banyak pohon, tentu ada sumber airnya dan dia pun benar. Dia menemukan sumber air di lereng belakang bukit di mana terdapat hutan. Dengan gembiranya dan dalamnya ada sepuluh meter. Dia mencoba memasuki gua itu lebih dalam dan ternyata dia menemukan sebuah lorong yang tadinya tertutup batu besar. Setelah dengan mudah dia menggeser batu yang menutupi lorong itu, terbukalah sebuah lorong dalam tanah. Karena lorong itu gelap, dia lalu membuat obor memasuki lorong itu. Panjang lorong itu ada dua puluh meter dan ketika tiba di ujung lorong, ada sinar menerangi ujung itu. Ternyata ujung itu merupakan ruangan yang lebarnya ada empat meter persegi dan di atasnya ada lubang, maka ada sinar matahari yang masuk. Jadi ruangan itu seperti sebuah dasar sumur yang besar. Dengan obornya Keng Han memeriksa dinding ruangan itu dan dia terbelalak! Keempat dinding itu penuh dengan huruf-huruf terukir, indah dan masih jelas dapat dibaca. Dan ternyata huruf-huruf itu adalah pelajaran ilmu silat!

Keng Han merasa beruntung sekali pernah mendapat pelajaran dari Gosang Lama tentang sastra sehingga pengetahuannya cukup mendalam dan dia dapat membaca semua tulisan itu dengan jelas. Mengingat betapa pulau ini pernah tenggelam selama puluhan tahun, dan kalau tulisan itu hanya digurat di tanah liat saja tentu kini telah terhapus habis. Akan tetapi hebatnya, guratan itu dilakukan orang pada batu yang keras! Ini berarti bahwa penulisnya tentu orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan hanya seorang saja. Melihat bentuk tulisannya, Keng Han dapat membedakan dan mengetahui bahwa tulisan itu dibuat oleh tiga orang.

Dugaan Keng Han memang benar. Pulau yang kini menjadi pulau yang subur itu dahulunya memang Pulau Es. Dahulu, di situ terdapat Istana Pulau Es yang kemudian telah terbakar rata dengan bumi, dan ketika pulau itu tenggelam, maka segala sisa dari istana itu hilang sama sekali. Akan tetapi di dalam istana itu terdapat sebuah lorong bawah tanah dan lorong itu adalah yang ditemukan Keng Han sekarang ini. Istana itu sendiri kini hanya tinggal sebagai gua itulah.

Dahulu, penghuni Pulau Es ada tiga orang, yaitu seorang pendekar sakti bersama dua orang isterinya. Pendekar itu adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau juga ada yang menyebut Pendekar Siluman karena dia pandai ilmu sihir. Adapun kedua orang isterinya adalah Puteri Nirahai dan yang ke dua adalah Puteri Lulu. Kedua orang isterinya itu adalah keturunan Mancu.

Tulisan itu dibuat oleh ketiga orang ini biarpun ilmu-ilmu mereka telah diwariskan kepada anak cucu. Maksud mereka adalah bahwa mereka hendak bersikap adil, yaitu tidak hanya menurunkan kepada anak cucu, akan tetapi kalau ada orang luar yang menemukan tulisan itu dan mempelajarinya, maka hal itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang dinamakan jodoh. Mereka masing-masing menuliskan inti sari ilmu mereka yang sebetulnya tidak akan mudah dipelajari orang.

Ketika Keng Han secara kebetulan menemukan tempat itu, berarti dialah yang berjodoh mendapatkan Pusaka Pulau Es itu. Memang kebetulan sekali. Andaikata dia tidak mendapatkan dua tenaga dahsyat yang berlawanan akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi dan, gigitan ular-ular darah api, belum tentu dia akan mampu mempelajari dua macam ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) dan Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) yang dituliskan oleh Pendekar Super Sakti di dinding pertama dan kedua! Pada dinding ke tiga terdapat pelajaran Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Tangan Lembut Pencabut Nyawa) yang hanya dapat dilatih oleh orang yang memillki sinkang kuat sekali. Dan pada dinding ke empat terdapat goresan tulisan pelajaran ilmu silat Hong In Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), semacam ilmu silat yang amat hebat, berdasarkan tulisan huruf-huruf yang dapat dilakukan dengan tangan kosong maupun dengan pedang.

Setelah membaca semua tulisan itu, Keng Han yang cerdik berpendapat bahwa dia menemukan tiga orang guru yang dia tidak tahu siapa, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu dan berkata dengan lantang, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru), teecu menghaturkan terima kasih atas peninggalan ilmu-ilmu ini dan teecu berjanji akan mempelajarinya sampai sempurna! Dia tahu bahwa penghimpunan tenaga dalam merupakan inti ilmu silat, maka sebelum mempelajari yang lain, dia lebih dulu mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang. Sebetulnya, pelajaran ini amatlah sukar bagi orang lain dan biarpun Keng Han pernah digembleng oleh Gosang Lama, agaknya dia tidak akan mampu menguasai kedua ilmu ini kalau saja dia tidak memiliki dua tenaga yang sudah menjadi inti dari kedua ilmu itu. Dengan mempelajari kedua ilmu itu, berarti dia akan mampu menguasai kedua tenaga mujijat yang terkandung di dalam tubuhnya secara kebetulan sekali itu.

Keng Han sudah bersumpah dalam hatinya akan mempelajari semua ilmu itu dengan sungguh-sungguh, sampai sempurna dan dia tidak akan meninggalkan pulau itu sebelum mampu menguasai semua ilmu itu dengan baik. Pula, bagaimana dia dapat meninggalkan pulau itu kalau tidak ada perahu di situ?

Demikianlah, mulai hari itu Keng Han menjadi penghuni tunggal pulau kosong itu, setiap hari mempelajari ilmu dengan amat tekunnya. Setiap hari dia makan jamur laut, ikan dan daging ular serta daun-daun muda dan buah yang tumbuh di pulau itu dan yang dapat dimakannya. Tanpa disadarinya sendiri, makanan itu, terutama jamur laut dan daging ular merah, mendatangkan kekuatan yang semakin hebat dalam tubuhnya. Kini tubuhnya telah terbiasa menerima racun, sehingga dia tidak perlu takut lagi akan segala macam racun, betapapun hebatnya racun itu. Tubuhnya telah menjadi kebal racun!

Untuk berganti pakaian, dia juga tidak kekurangan karena para perampok itu membawa bahan kain yang serba mahal, hasil perampokan mereka. Dia membuat pakaian dari kain, sejadi-jadinya asal dapat membungkus tubuhnya dan tidak menjadi telanjang.

Bertahun-tahun Keng Han tekun belajar. Ternyata ilmu-ilmu itu amatlah sukarnya sehingga semacam ilmu harus dipelajari dan dilatihnya sedikitnya satu tahun!

Kita tinggalkan dulu Keng Hong yang terkurung di dalam pulau kosong mempelajari ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang kebetulan ditemukannya dan kita menengok bagian lain dari kisah ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan Pangeran Mahkota Tao Kuang selamat dari pengkhianatan saudara-saudaranya sendiri, yaitu kedua kakaknya, Tao Seng dan Tao San. Dia telah diselamatkan oleh seorang datuk yang berjuluk Sin-tung Koai-jin bernama Liang Cun bersama puterinya yang bernama Liang Siok Cu. Kemudian, Liang Siok Cu yang memang cantik manis itu menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang tercinta. Setahun kemudian selir ini melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Tao Kwi Hong. Dan sebagai puteri pangeran mahkota, tentu saja sejak kecli Kwi Hong amat dimanja ayah ibunya. Terutama sekali kakeknya, Sin-tung Koaijin Liang Cun amat memanjakan cucunya. Sejak anak itu masih kecil, Sin-tung Koal-jin menggemblengnya dengan dasardasar ilmu silat. Ayahnya juga tidak melupakan pendidikan ilmu surat kepada puterinya sehingga Kwi Hong menjadi seorang anak perempuan yang cerdik dan juga gagah.

Semenjak lancar membaca, Kwi Hong yang baru berusia lima belas tahun itu gemar sekali membaca dan perpustakaan istana menjadi langganannya. Perpustakaan istana itu lengkap sekali, bahkan banyak terdapat kitab-kitab kuno yang sudah sukar dimengerti oleh para pembaca sekarang. Hanya sedikit saja ahli-ahli sastra kuno yang akan mampu membacanya. Dan anehnya, gadis remaja ini bahkan paling suka memeriksa kitab-kitab kuno ini. Kebanyakan adalah kitab-kitab agama dan filsafat, juga catatan-catatan sejarah oleh para sastrawan jaman dahulu.

Pada suatu hari, Puteri Tao Kwi Hong menemukan sebuah kitab kuno yang sudah berdebu dan ia tertarik sekali karena pada sampulnya terdapat gambar segi lima dengan gambar Im-yang. Didalamnya dan ada sepasang pedang bersilang di atasnya. Gambar pedang itulah yang menarik perhatiannya dan ketika ia membukanya, ternyata itu merupakan sebuah kitab kuno ilmu pedang! Akan tetapi bahasanya kuno dan banyak sekali huruf yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengatakan kepada penjaga perpustakaan bahwa ia hendak meminjam kitab itu untuk dibacanya. Penjaga perpustakaan tidak berani menolak permintaan puteri dari Pangeran Mahkota, hanya berpesan agar setelah selesai dibaca, kitab itu harus dikembalikan dan mencatatnya dalam buku catatannya.

Kwi Hong membawa pulang kitab itu dan memperlihatkannya kepada kakeknya. Ah, aku pernah mendengar tentang adanya ilmu pedang Ngo-heng Sin-kiam yang telah hilang dari peredaran dan tidak ada lagi yang mampu memainkannya. Agaknya inilah kitabnya! Ah, engkau beruntung sekali dapat menemukan kitab ini, Kwi Hong!

Akan tetapi isinya sukar dimengerti, Kong-kong. Banyak huruf yang tidak kukenal. Bagaimana dapat mempelajarinya kalau banyak huruf tidak dapat diketahui artinya?

Sin-tung Koai-jin sendiri bukan seorang ahli sastra yang pandai. Ketika dia membuka-buka kitab itu, alisnya berkerut dan harus dia akui bahwa dia bahkan hampir tidak dapat membaca kitab itu. Kita tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada sembarang orang, Kwi Hong. Akan tetapi untuk dapat membaca ini, engkau harus menanyakan kepada ahli-ahli sastra kuno yang banyak terdapat di kota raja. Lalu bagaimana baiknya?

Kwi Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Setelah berpikir sejenak, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri.

Aku mempunyai akal, Kong-kong. Aku akan menuliskan semua huruf yang tidak aku kenal dan huruf-huruf itulah yang akan kutanyakan artinya kepada ahli sastra kuno. Dengan demikian dia tidak akan dapat membaca kitab ini, hanya beberapa huruf kuno saja.

Bagus! Akalmu itu sungguh cemerlang. Aku akan mencari ahli sastra kuno dan engkau boleh mulai menuliskan huruf-huruf yang tidak kaukenal itu!

Demikianlah, dengan akal itu, akhirnya Kwi Hong dapat membaca semua isi kitab itu dan dapat mempelajari ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Dalam melatih gerakannya yang kadang terasa sukar, dia diberi petunjuk oleh kakeknya dan akhirnya, dalam waktu dua tahun, dara ini berhasil menguasai Ngoheng Sin-kiam dengan baik. Dengan menguasai ilmu pedang pasangan itu, kakeknya sendiri akan kewalahan menandinginya! Demikian hebatnya ilmu pedang itu dan untuk mengimbangi ilmu pedang itu, kakeknya membuatkan sepasang pedang yang indah dan baik.

Kwi Hong memang manja dan sifatnya agak bengal. Seringkali, setelah menguasai ilmu silat yang cukup mendalam, ia minggat dari istana untuk merantau di dalam bahkan luar kota raja, jauh dari jangkauan para pengawal karena ia merasa tidak leluasa dan tidak senang kalau harus keluar selalu diikuti pengawal yang menjaga keselamatannya! Tentu saja sebagai seorang gadis yang cantik jelita, ketika keluar seorang diri, banyak pula yang tidak tahu bahwa ia puteri pangeran, berani kurang ajar dan menggodanya. Akan tetapi Kwi Hong merobohkan mereka satu demi satu sehingga namanya menjadi terkenal di kota raja dan daerahnya. Karena ia selalu memakai hiasan burung bangau dari emas di sanggul rambutnya, Ia mendapat julukan Si Nona Bangau Emas!

Setelah Kwi Hong berusia tujuh belas tahun dan ia telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam, ia mulai minggat lagi dari istana dan kini ia merantau sampai jauh dari kota raja. Bukan saja namanya yang terkenal membuat pria yang hendak mengganggunya menjadi jerih, akan tetapi kini ke manapun ia pergi ada sepasang pedang bersilang di punggungnya, membuat laki-laki yang hendak kurang ajar kepadanya menjadi lebih gentar lagi.

Agaknya cerita yang sering didengar dari kakeknya sebagai seorang pendekar, menumbuhkan jiwa pendekar dalam diri gadis ini. Biarpun ia seorang gadis bangsawan yang seharusnya berada di istana, dihormati dan dilayani, gerak-geriknya lembut dan halus, namun jiwa pendekar bergejolak dalam dirinya dan ia suka pergi tanpa pamit sampai berpekan-pekan, dan selama berada di luaran ia selalu bertindak sebagai pendekar wanita, menentang para penjahat dan membela yang lemah!

Pada suatu hari, Kwi Hong memasuki kota Tung-san, yaitu sebuah kota kecil di sebelah, selatan kota raja. Karena merasa perutnya lapar, gadis ini lalu memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar.Pada siang hari itu, rumah makan telah dipenuhi para tamu dan hampir semua orang menengok memandang kepada gadis yang baru masuk itu, terutama para tamu pria. Siapa yang tidak akan menoleh dan terpesona memandang gadis itu. Dalam usianya yang tujuh belas tahun, Kwi Hong memang merupakan seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali. Rambutnya hitam sekali, panjang dan halus lebat. Rambut itu digelung ke atas tinggi dan dihias burung bangau emas, di bagian belakang diikat dengan pita merah. Di atas dahinya yang halus mulus itu terdapat anak rambut yang melingkar-lingkar, terutama di depan kedua telinganya. Alisnya seperti dilukis, hitam melengkung, kecil panjang. Anggun sekali. Sepasang matanya dihias bulu mata yang lentik, dan mata itu sendiri bersinar tajam dan jeli dan jernih, dengan ujung kedua mata itu agak sipit menjungkat ke atas sehingga kalau ia mengerling nampak manis bukan main. Hidungnya kecil mancung, setimpal sekali dengan mulutnya. Mulut itu memang mempesonakan. Mulut yang kecil dengan sepasang bibir yang selalu kemerahan, merah basah dan berkulit tipis penuh. Di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipit yang membuat mulut itu makin menarik. Sukar dikatakan mana yang lebih mempesonakan. Matanya ataukah mulutnya. Di kedua anggauta muka itulah letak inti daya tarik Kwi Hong. Dagunya runcing dan lehernya panjang putih mulus. Sepasang pipinya yang selalu kemerahan seperti buah tomat walaupun tidak memakai pemerah pipi. Wajah cantik itu hanya dipolesi bedak tipis-tipis saja karena Kwi Hong bukan seorang gadis pesolek. Pakaiannya juga tidak terlalu mewah bagi seorang puteri istana, walaupun cukup indah. Celana sutera biru tua dan bajunya biru muda, dengan sabuk kuning emas, sepatunya hitam mengkilap. Seorang gadis yang amat menarik hati, akan tetapi juga gagah karena terdapat sepasang pedang melintang di punggungnya. Pedang itulah yang membuat semua mata pria yang memandang tidak memandang langsung, melainkan melirik karena mereka agak gentar melihat pedang di punggung itu. Jelas bahwa gadis jelita itu adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat.

Seorang pelayan rumah makan tergopoh menyambut. Hatinya gembira bukan main mendapat kesempatan menyambut tamu yang demikian cantiknya sehingga semua tamu yang lain menaruh perhatian. Dia membungkuk sebagai tanda menghormat dan berkata dengan suara hormat pula.

Selamat siang, Nona. Silakan, di sudut sana masih ada meja kosong.

Kwi Hong mengangguk dan tanpa mempedulikan lirikan mata begitu banyak orang ia pun melangkah mengikuti pelayan itu menuju ke meja kosong ,di sudut kiri rumah makan itu. Selama ia melakukan perjalanan merantau keluar dari istana, sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti itu. Memang tadinya hal ini amat mengganggu dan membuat ia marah, akan tetapi akhirnya ia mengetahui bahwa hampir semua laki-laki adalah mata ke ranjang dan tidak dapat melewatkan seorang gadis cantik. Asalkan tidak ada yang mengganggunya dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar, kalau hanya pandang mata saja, dara ini tidak lagi mengambil peduli dan pura-pura tidak melihatnya. Bahkan sedikit banyak ada perasaan bangga di hatinya karena diperhatikan banyak pria itu berarti bahwa dirinya memang cantik jelita dan menarik! Hanya bangga akan diri sendiri, sama sekali bukan senang karena ia tahu bahwa sebagian besar dari mereka itu pandang matanya penuh gairah dan nafsu.

Nona hendak memesan makanan apa?

Beri aku nasi dan panggang ayam, juga masak Sayur jamur dan lidah bebek.

Minumnya, Nona? Arak?

Tidak, cukup air teh saja.

Baik, Nona. Pelayan itu lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kwi Hong.

Tiba-tiba dari meja sebelah terdengar orang berbisik-bisik. Ketika Kwi Hong melirik, dia melihat tiga orang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun saling berbisik dan tersenyum-senyum. Jangan-jangan mereka akan bersikap kurang ajar, pikir Kwi Hong. Akan tetapi ia bersikap tenang saja dan berpura-pura tidak melihatnya.

Akhirnya, benar seperti yang ia duga, seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, bangkit berdiri dan menghampiri, berdiri di depannya dan berkata sambil sedikit membungkuk, Nona, makan seorang diri sungguh tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Nona kami undang makan bersama kami? Kebetulan kami hanya bertiga, dan meja kami masih dapat menerima seorang lagi. Silakah, Nona. Pesanan Nona biar diantar ke meja kami.

Kwi Hong mengerutkan alisnya. Seorang pria yang tidak dikenal menegur seorang gadis, apalagi mengundang makan, sudah merupakan hal yang tidak wajar. Akan tetapi karena laki-laki jangkung kurus ini bersikap sopan, ia pun menahan kemarahannya.

Tidak, terima kasih. Aku ingin makan sendirian saja dan harap jangan mengganggu aku.

Mendengar jawaban ini, laki-laki tinggi kurus itu hanya senyum-senyum agak malu karena penolakan itu didengar oleh para tamu lain. Akan tetapi seorang di antara kawan-kawannya, yang bertubuh gendut dan bermuka merah karena terlalu banyak minum arak, berkata dengan suara mengejek, Aih, nona manis, harap jangan menjual mahal! Kami adalah pemuda-pemuda hartawan yang mampu membayar pesanan makanan apa saja yang Nona sukai!

Mendengar ucapan kurang ajar ini, sekali melompat Kwi Hong sudah berada di dekat si gendut itu. Apa yang kaukatakan? bentaknya.

Laki-laki gendut itu agaknya tidak tahu diri atau dia sudah terlalu mabuk. Ha-ha-ha, aku bilang jangan jual mahal, nona manis, aku....

Tiba-tiba tangan kiri Kwi Hong bergerak menjambak rambut kepala pria itu dan membenamkan mukanya pada panci terisi kuah panas di depannya.

Haepp....haeppppp....! Laki-laki itu gelagapan dan setelah Kwi Hong melepaskan jambakannya, laki-laki itu melonjak-lonjak kepanasan karena mukanya seperti dibakar, matanya tidak dapat dibuka.

Kwi Hong sudah duduk kembali ke depan mejanya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa dua orang Laki-laki teman si gendut menjadi marah melihat teman mereka diperbuat seperti itu oleh Kwi Hong.

Mula-mula dua orang itu menolong si gendut, mencuci dan membersihkan mukanya yang menjadi semakin merah seperti udang direbus dan ketika dia sudah mampu membuka matanya, kedua matanya menjadi sipit dan kemerahan. Kemudian dua orang itu meloncat ke depan meja Kwi Hong dengan sikap marah.

Nona, engkau kejam sekali! Berani engkau menghina kami? Kami adalah murid-murid dari Pek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Putih)!

Melihat kedua orang itu kini nampaknya marah kepadanya, Kwi Hong tersenyum mengejek. Tidak peduli kalian dari perguruan Harimau Putih atau Harimau Belang, siapa berani menghinaku pasti akan kuhajar! Masih untung aku tidak menghancurkan mulutnya!

Engkau sombong! kata orang yang tubuhnya pendek besar dan dia sudah mengayun tangannya untuk menampar muka Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong sudah mengelak sambil duduk dan sekali kakinya menendang, orang itu pun terjengkang dan mengaduh karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas terkena tendangan ujung kaki yang bersepatu hitam itu.

Si tinggi kurus kini menerjang maju dengan kedua tangannya, agaknya hendak menangkap Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong tetap duduk di atas kursihya dan ketika kedua tangan itu datang ia sudah menggerakkan kedua tangannya menotok ke arah pergelangan tangan, lalu kembali kakinya menendang ke depan. Si tinggi kurus merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kaku dan sebelum dia sempat mengelak, tahu-tahu kaki gadis itu sudah menendangnya dan dia pun terjengkang ke belakang seperti si pendek besar.

Kini si gendut sudah dapat bangkit. Dia menghunus sebatang pedang dari atas meja, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, Kwi Hong sudah menyambar sebatang sumpit dan sekali sambit, pemuda gendut itu mengaduh-aduh dan pedangnya jatuh ke lantai. Ternyata lengan kanannya sudah ditembusi sumpit itu!

Dua orang kawannya terkejut, akan tetapi sebelum mereka mencabut pedang, Kwi Hong menggertak, Kalau kalian nekat, sumpit-sumpit ini akan menembus jantung kalian! Berkata demikian, dia melemparkan sumpit ke arah tembok dan dua batang sumpit itu menancap sampai, setengah lebih ke dalam tembok! Melihat ini, dua orang itu terbelalak dan tidak jadi mencabut pedang mereka, lalu menarik kawan si gendut yang terluka dan lari dari rumah makan itu. Terdengar teriakan si gendut.

Nona kejam, kalau engkau memang gagah, tunggu pembalasanku!

Akan tetapi Kwi Hong duduk kembali seolah tidak ada terjadi sesuatu dan ketika hidangan yang dipesannya tiba, ia segera makan dengan sikap tenang sekali. Para tamu lain yang menyaksikan peristiwa itu, segera bicara sendiri membicarakan gadis yang mereka anggap hebat luar biasa itu. Semua orang di Tung-san mengenal siapa murid-murid perguruan Harimau Putih yang suka bersikap ugal-ugalan mengandalkan perguruan mereka yang memiliki banyak murid dan guru mereka yang terkenal dengan julukan Pek-houw-eng (Pendekar Harimau Putih)? Tidak ada yang berani menentang mereka. Para murid itu bukan orang-orang jahat dan tidak pernah melakukan kejahatan, hanya sikap mereka ingin menang sendiri saja dan tidak mau ditentang, seolah mereka yang menguasai kota Tung-san.

Tidak jauh dari situ, di tengah-tengah itu, sejak tadi seorang pemuda memperhatikan peristiwa itu dan melihat betapa gadis itu menghajar tiga orang tadi, dia tersenyum-senyum puas. Pemuda itu seorang pemuda yang berusia antara dua puluh atau dua puluh satu tahun. Pakaiannya sederhana, akan tetapi wajahnya tampan dan gagah. Tubuhnya sedang saja, matanya lebar, hidung mancung dan mulutnya ramah selalu dihias senyum. Dagunya agak berlekuk sehingga menambah kejantanannya. Siapakah pemuda gagah tampan sederhana ini? Dia bukan lain adalah Tao Keng Han.

Seperti kita ketahui, Keng Han terjebak di pulau kosong, tidak dapat meninggalkan pulau karena tidak ada perahu. Akan tetapi dia pun tidak ingin meninggalkan pulau itu sebelum dia menguasai ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang dia temukan tergores pada dinding sebuah ruangan bawah tanah. Dia melatih diri dengan Hui-yang Sin-kang dan Swatim Sin-kang, dua tenaga sakti yang sifatnya panas dan dingin, dan dia dapat menguasai ilmu ini karena dalam tubuhnya sudah terdapat kekuatan dahsyat yang sifatnya dingin dan panas itu. Dengan menguasai dua ilmu sinkang itu, dia kini dapat mengendalikan dua tenaga sakti dalam tubuhnya. Hampir tiga tahun dia hanya melatih diri dengan dua ilmu pengerahan tenaga sakti ini. Setelah dia berhasil baik, barulah dia melatih dua ilmu silat yang terdapat di dinding itu, yaitu ilmu silat Toat-beng Bian-kun yang sifatnya lemas namun mengandung kekuatan dahsyat sekali dan kedua adalah Hong In Bun-hoat yang halus dan nampak indah seperti orang menari sambil menuliskan huruf, akan tetapi mengandung daya serangan yang luar biasa hebatnya. Dua tahun dia menghabiskan waktu untuk melatih ilmu ini dengan baik sehingga tanpa terasa lagi dia sudah lima tahun tinggal di Pulau Hantu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar