02 Pendekar Buta

Karena ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam perutnya, tentu saja suaranya nyaring sekali mengatasi semua kegaduhan dan mendadak semua pertempuran berhenti ketika mereka melihat benda emas mengkilap terhias permata berkilauan berada di tangan kiri pemuda buta itu.

"Mahkota pusaka .......!" terdengar teriakan di sana-sini.

"Kalian bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tak tahu malu. Benda ini bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari tangan seorang pembesar. Sungguh tak baik kalian. Rakyat sudah cukup penderitaannya, kalian orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa justeru mempergunakan kekuatan itu untuk menambah kekacauan dan memperberat penderitaan rakyat? Sekarang benda ini sudah berada di tanganku, hendak kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja tidak boleh merampas benda ini dan kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"

Semua orang itu berdiri melongo. Siapa yang takkan terheran-heran menyaksikan aksi orang buta itu? Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping marah dan mendongkol. Yang paling marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Dia marah sekali kepada puterinya. Benda itu dia suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui orang, siapa duga oleh puterinya dititipkan kepada sinshe buta ini.

"Kwa-sinshe, apakah ....... apakah kau sudah gila?" bentaknya marah.

Yang lebih dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan ayahnya ketika melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan mahkota kepada semua orang. Ia cepat meloncat ke depan dengan hidung masih berdarah, menyambar dengan tangannya untuk merampas mahkota itu dari tangan Kun Hong.

"Sinshe, kau kembalikan titipanku!" katanya. Akan tetapi aneh sekali, sambarannya tidak mengenai sasaran sehingga ia terhuyung-huyung ke depan. Ia membalik dan dengan suara merayu ia membujuk, "Sinshe yang baik, kau kembalikan benda itu kepadaku."

"Nona Lauw mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tak dapat kuberikan kepada siapapun juga."

Swat-ji marah dan menyerbu untuk merampas mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan untuk kedua kalinya ia mencium tanah. Kini hidung yang tadinya berdarah, berubah menjadi bengkak.

"Aduh ......." ia mengeluh, "kau ....... keterlaluan....... kau kejam. Tadi kau begitu baik ....... sinshe, bukankah malam nanti kau mau memijati badanku? Kenapa sekarang merampas mahkota?"

Kembali beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu menjadi kemerahan. "Nona, jangan keluarkan omongan bukan-bukan!, Seharusnya sebagai seorang gadis kau tidak bertingkah seperti ini ......."

Tapi pada saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun Hong sedangkan tangan kiri berusaha merampas mahkota sambil berseru.

"Sinshe buta, kiranya kau hendak mengacau!"

Seperti halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga mahkota tidak terampas, sebaliknya entah mengapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh ketua Hui-houw-pang itu terjungkal ke bawah! Inilah hebat! Ketua Huihouw- pang ini terkenal seorang yang cukup kosen, berkepandaian tinggi.

Bagaimana ketika menyerang sinshe muda buta itu seperti tersandung batu kakinya dan terjungkal begitu mudah? Orang-orang tidak ada yang dapat mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka seakan-akan pemuda buta itu tidak bergerak apa-apa kecuali mengangkat mahkota itu tinggi-tinggi seperti takut dirampas! Hanya beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan berubah air mukanya. Mereka ini adalah Lauw Teng sendiri, ketua Kiang-liongpang, Bhe Ham Ko, tosu dan Kwan Tojin, laki-laki tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw Teng, dan juga, nona baju hitam yang baru datang. Mereka itu melihat betapa ketua Hui-houw-pang tadi roboh oleh gerakan tangan yang perlahan dan hampir tidak kelihatan dari sinshe buta itu!

Keadaan menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada si buta! Lupalah semua orang akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang, lupa pula akan si nona baju hitam yang tadinya hendak mereka keroyok.

Sekarang mahkota berada di tangan sinshe buta, tentu saja dia inilah yang menjadi sasaran. Dan hal ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong.

Setelah menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri ketika hendak merampas mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono.

Mereka memandang orang buta itu dengan heran dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan. Kun Hong juga berdiri tak bergerak, siap untuk membela diri dari setiap serangan.

Seorang anggauta Kiang-liong-pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah ruyung besi yang berat, Sejak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tidak percaya kalau tidak mampu menjatuhkan si buta ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta? Sekali pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat, pikirnya, maka harus digunakan akal. Dengan amat hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam jarak satu meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa dia, didekati lawan dari depan yang kini sudah menggeletar seluruh urat di tubuhnya untuk menghantamnya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, orang itu kini mengangkat ruyungnya tinggi-tinggi, menghimpun tenaga lalu "wherrrr!"

ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun Hong yang agaknya akan pecah berantakan tertimpa ruyung besi yang berat itu. Seperti tadi, tanpa menggeser kakinya Kun Hong miringkan kepala dan sekali jari tangannya bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena ruyungnya mencium kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur angsa.

Seorang anak buah Hui-houw-pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri dengan tombak runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk.

Tombak menusuk angin, terdengar suara keras, tombak patah menjadi tiga dan orang itu terlempar ke belakang.

Sekarang barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah seorang sembarangan, melainkan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa! Akan tetapi karena dialah yang kini memegang mahkota yang amat diinginkan itu, semua orang kini mulai mendekat dengan sikap mengancam.

Dengan kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat dan mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti tadi telah menyerangnya. Agakhya tokoh-tokoh penting dari kedua fihak mulai hendak turun tangan secara mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu bahwa gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itupun hendak menyerbu dan merampas mahkota. Kun Hong memegang tongkatnya erat-erat di tangan kanannya.

Dia tidak menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang menyerang dari kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan tongkatnya dan terdengar suara "cring-cring-cring" berulangulang disusul dengan suara gaduh dan jerit kesakitan. Orang-orang yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak keheranan. Mereka tadi melihat orang-orang pilihan dari kedua fihak menyerbu dan hanya tampak kilat berkelebatan, tapi........... tahu-tahu banyak pedang, golok dan tombak beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima orang sekaligus roboh bergulingan, menjerit-jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah, luka tergores benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah sasaran, si buta itu masih berdiri seperti biasa, dengan tangan kiri memegang mahkota tinggi dan tangan kanan membawa tongkat!

"Minggir ...........!" Bentakan ini keluar dari mulut ketua Kiang-liong-pang dan kakek ini dengan dayungnya menerjang hebat.

Lauw Teng yang tidak ingin melihat ketua fihak saingan ini dapat merampas mahkota, cepat mencabut golok besarnya dan hampir berbarengan menyerbu pula ke depan. Gerakannya ini diikuti oleh Ban Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang pedangnya karena tosu ini yang berpemandangan tajam sudah mengetahui bahwa pemuda buta ini bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang hebat. Apalagi kalau diingat keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-beng Yok-mo, tentu saja patut miliki ilmu silat yang luar biasa.

Sementara itu, gadis baju hitam berjuluk Bi-yan-cu, semenjak tadi menahan senjatanya. Ia seorang gadis yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan tajam. Melihat gerak-gerik si buta ini, jantungnya berdebar.

Segera ia dapat mengenal dasar-dasar gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang sakti. Oleh karena itu, biarpun ia ikut mendekat, namun ia tidak berani sembrono melakukan penyerangan. Ia masih belum tahu apa kehendak orang buta yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan dan apa pula yang hendak dilakukan dengan perampasan mahkota itu.

Akan tetapi melihat si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati gadis itu sudah menganggap Kun Hong sebagai kawan. Maka ia bersikap waspada, pedang di tangan untuk siap membantu si buta kalau-kalau terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang banyaknya itu.

Dalam waktu hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan terlatih itu menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di tangan Bhe Ham Ko yang menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung saking kerasnya. Dayung ini menyambar dari kanan ke kiri. Lalu disusul berkelebatnya golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini mengarah leher, juga cepat dan bertenaga sehingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian sepasang pedang di tangan Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu pun meluncur datang, yang kiri menusuk lambung yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini dilakukan oleh tosu itu dengan menekuk lutut, cepat dan berbahaya sekali datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan mata.

Diam-diam gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa tiga orang ini bukanlah merupakan lawan yang lunak dan andaikata ia sendiri yang diserang secara berbareng seperti itu, hanya dengan meloncat jauh mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat menyelamatkan dirinya. Akan tetapi orang buta itu tidak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak dengan tangan kiri yang memegang mahkota diangkat tinggi sedangkan tangan kanan memegangi tongkat melintang di depan dada.

Akan tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan gulungan sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata tajam saling bertemu dan........... tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.

Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-gulung itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua tangannya, Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya!

Apabila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang mahkota emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang! Apakah pemuda buta ini main sihir? Demikian para anak buah kedua perkumpulan penjahat itu bertanya-tanya dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar. Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Yang membikin heran mereka adalah kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga dapat mematahkan senjata-senjata tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu belaka? Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Biarpun hanya tongkat kayu, akan tetapi di sebelah dalamnya adalah pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh sekali. Apalagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah tandingannya!

Kun Hong tersenyum dan berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, akan kukembalikan kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan dan bunuh-membunuh. Lebih tidak baik lagi kalau kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti kelak tidak akan membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi ......."

Setelah berkata demikian dengan langkah perlahan pemuda buta itu berjalan maju mendahului kedua kakinya dengan tongkat yang dipakai meraba-raba ke depan. Karena dia buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia menuju ke arah kelompok pohon-pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng bukit. Kun Hong agak bingung ketika tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon, dia meraba-raba dan berjalan di antara pohonpohon.

Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang pohon ini. Kagetnya bukan main karena kalau yang memukul kepala itu adalah serangan lawan, tentu dia dapat mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya "telur kecil" menyendul di dahinya yang mencium batang pohon tadi!

Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tak terasa lagi muka tiga orang tokoh yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak mampu mereka robohkan! Malah dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan senjata! Padahal si buta itu mencari jalanpun tidak becus!

"Serang dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru. Ributlah para anak buah bajak dan rampok berlari maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan senjata mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa permusuhan mereka kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri sendiri.

Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia menggerakkan tongkatnya ke arah suara senjata yang menyerangnyai Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para pengeroyok itu beterbangan seperti daundaun kering rontok tertiup angin. Kali ini Kun Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangan mereka, luka berdarah yang biarpun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula.

Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe Ham Ko dan tosu Ban Kwan Tojin juga terluka!

Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apalagi ketika Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan penuh pengaruh, "Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tabasan pada leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin merampas mahkota ini yang bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan busuk takkan mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"

Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati sekali berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah kini agak membungkuk-bungkuk karena takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.

"Sinshe buta, berhenti kau!" tiba-tiba orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong. Mendengar angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tiga orang pengeroyoknya tadi.

"Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"

"Kau tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di sini dan menghina kakak iparku, Kiang-liong-pangcu!"

"Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.

"Buka telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jin (Si Tangan Besi) Souw Ki, seorang di antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka di dalam istana yang dicuri dan dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan diri. Siapa yang merampas mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau serahkan benda itu kepadaku!"

Fihak Hui-houw-pang terkejut sekali mendengar pengakuan orang tinggi besar ini dan mereka, terutama Lauw Teng, memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri juga terkejut. Tak disangkanya dia akan bertemu kembali dengan seorang di antara tujuh pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon kaisar karena kematian kaisar tua, dan dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat menjadi pengawal kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru dia mengenal kembali suara orang ini. Agaknya Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya. Hal ini tidak aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun yang lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan enam orang temannya datang pula mengacau, Kun Hong belum buta (baca Rajawali Emas).

Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang telah dirampok, yang katanya mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana, bukan lain adalah Tan-taijin yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!

"Tidak boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya keras. "Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, aku harus mengembalikan kepadanya juga."

"Keparat, berani kau melawan pengawal kaisar?" Tiat-jiu Souw Ki membentak dan tanpa menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi. Memang Souw Ki ini waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga kini dia memiliki Ilmu Tiatsee- ciang (Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya seperti besi kerasnya dan karena ini pula dia mendapat julukan Tiat-jiu (Si Tangan Besi).

Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong tentang keahlian lawan. Namun dia tidak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan dan memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya.

"Dukkk!" Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang putih dan halus seperti tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki marasa betapa kepalannya seperti bertemu dengan kapas, seakan-akan tenaganya tenggelam ke dalam air dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat dia menarik tangannya sambil mengerahkan tenaga. Kun Hong melepaskan dan betapa kaget hati Souw Ki melihat kepalan tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia melompat mundur dan menyeringai kesakitan.

"Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya." kata Kun Hong.

"Salahmu sendiri menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan menyerang tanganmu sendiri." Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya. Tak seorang pun akan mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan dapat dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta itu berjalan dengan tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya membawa pergi mahkota itu, benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya mengikutinya dari jauh tak seorangpun mengeluarkan suara.

Diam-diam gadis jelita baju hitam itupun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun Hong, dan ia dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mengalah begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main, dari mana datangnya. dan apa maksud sebenarnya membawa pergi mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk di hati Bi-yan-cu.

Sengaja ia menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun Hong.

Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita kaget sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa diketahuinya, orang buta itu salah jalan, menuju ke sebuah tebing yang buntu karena berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui manusia! Tanpa diketahuinya, si buta itu berjalan perlahanlahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke pinggir jurang, sedangkan di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan penjahat itu mengikutinya, siap dengan senjata di tangan malah ada yang sudah mementang busur!

Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus berbuat demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa mahkota itu berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya? Pula, orang buta itu masih muda dan tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya, bukankah orang akan menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apalagi kalau diingat betapa si buta tadi demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa orang buta itu pun bukan orang baik-baik biarpun kepandaiannya benar-benar amat lihai. Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu. Inilah siasat membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menanti kesempatan untuk menyambar daging itu!

Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali. Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Jelas bahwa tongkatnya memang meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya "lobang" di depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biarpun dia sudah mengulur lengan dan tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air sungai.

Kemudian dia mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut. Telinganya mendengar suara burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di "bawah" sana itu adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana burung-burung beterbangan!

"Kwan-sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?" tiba-tiba dia mendengar suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar kaki puluhan orang banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, dari depan dihalangi jurang yang tak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab, "Pangcu, kalau mahkota ini terjatuh ke dalam tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-pang takkan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang, tentu kau dan anak buahmu juga tidak akan mau menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan kalian tidak usah saling bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi pinggir jurang karena hal ini amat berbahaya baginya.

Akan tetapi atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera menyerbu, didahului melayangnya puluhan batang anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada yang melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri. Biarpun Kun Hong dihujani anak panah, namun tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia gerakkan merupakan perisai yang amat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.

Akan tetapi puluhan orang itu mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan scnjata-senjata panjang lain. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak dan toya, merobohkan banyak pengeroyok dengan melukai mereka tanpa membahayakan keselamatan nyawa. Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak ke sana ke mari, mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini amat, membingungkan Kun Hong. Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap pertempuran mengandalkan telinganya. Kini orang-orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau dan dia tak dapat menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan begini terpaksa Kun Hong hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan kakinya untuk menendang dan merobohkan lawan, karena untuk merobohkan lawan dengan tongkatnya, dia khawatir kalau-kalau akan menewaskannya.

Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, dipegang melintang dan dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang ditarik dan dipergunakan untuk membetot kaki orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang, Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi makin ketat.

"Manusia-manusia curang!" Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang menyilaukan mata. Pekik kesakitan susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.

"Heee........... jangan...........!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh. Celaka baginya, dia justeru melompat ke arah jurang, tepat di pinggirnya, kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling ke dalam jurang.

Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.

Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan gadis liar itu? Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali dan mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya.

Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah dan mereka lalu menyerbu dan dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen. Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti sedang menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata lawan atau melukainya.

Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li-kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) memang dapat menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.

"Ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmmm, melihat muka ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan kau!" kata Lauw Teng yang bagaimanapun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.

"Lebih baik mampus daripada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!" sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan sinar kemilauan, gadis itu memaki. "Manusiamanusia curang, kalau memang gagah jangan main keroyokan!"

Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, seorang pengeroyok menjerit dan pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia melompat mundur sambil merintih-rintih. Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lain, malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi, sudah meramkan mata menanti datangnya maut.

"Tranggg!" Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus akan tetapi gadis itu sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Ia maklum bahwa tenaga Iweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar kuat sekali.

Sebelum ia dapat mengambil kedudukannya, ia telah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi.

Sekali putar pedangnya dapat menangkis semua senjata, dan ruyung yang sudah menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya. Pada saat itu, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya, Bi-yan-cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Namun pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung yang datang dari kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.

"Bukkk!" Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang dan keluar dari kepungan.

"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houwpangcu Lauw Teng membentaknya.

Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil ia sudah digembleng tentang kegagahan. Mati bukan apa-apa bagi Bi-yan-cu. Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki!

Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.

"Cring-cring-cring ...........!" Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan ........ kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota yang diperebutkan!

Ketika Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia mengerahkan seluruh kekuatan ginkangnya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kanan kiri. Akhirnya usahanya berhasil.

Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap dinding jurang yang merupakan tanah keras.

Dia bergantung di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, lalu tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan menancapkan pedangnya di sebelah atas. Demikianlah, biarpun lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Biyan- cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.

Lauw Teng dan kawan-kawannya melihat munculnya si buta ini menjadi kaget dan khawatir sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik segera berkata, "Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-kawannya. Gadis itu tadinya merasa heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang dengan cepat ia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja ia melawan dan dapatlah ia diringkus dan diikat kaki tangannya.

"Sinshe buta, jangan bergerak atau........... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-cu.

Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya hanya dapat dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar baginya, apalagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu. Tadi dia masih dapat menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata itu, sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.

"Sudahlah," akhirnya dia berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."

Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling pandang. Lalu Tiat-jiu Souw Ki mewakili mereka semua bersuara, "Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."

Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan menjadi tawanan orang-orang kejam ini. Besar kemungkinan dia akan dibunuh mati. Sebaliknya, kalau tidak menyerah dan mengamuk, sungguhpun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itupun terancam keselamatan nyawanya. Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati, apalagi ia puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apalagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa maupun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!

"Baiklah, aku menyerah. Kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas panjang.

"Ha-ha, pengemis buta! Jangan kira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.

Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah." Seorang anak buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.

"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba Bi-yan-cu berseru nyaring.

Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh, apa sih artinya orang seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"

"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.

"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?"

"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela nyaring. "Kalau mereka berani menggangguku, ayah akan datang menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan diampuni!"

Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu, Juga mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.

"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan kepada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar dan karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."

Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung.

Kakinya terasa kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir. Ingin ia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi ia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andaikata belum terluka lengan kanannya tentu ia takkan menyerah mentah-mentah.

Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja.

Beberapa kali Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok. Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan dengan baik, tidak melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apalagi diseret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tidak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.

"Kenapa .......... kenapa kau lakukan ini...........?" gadis itu berteriak, menahan isak.

Kun Hong mendengar ini, biarpun teriakan itu sebetulnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang keluar dari bibirnya keluhan perlahan. Dia menengok dan tersenyum, berkata, "Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..........."

Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.

"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun mempunyai jasa, jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.

Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali mahkota ini ke kota raja dan di depan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar."

Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liongpang untuk mengawalnya ke kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun menyertai rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda yang kuatkuat untuk rombongan itu.

Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang berkuda paling belakang memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke depan dan terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.

Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas kedua pipinya.

*** Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu.

Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapapun pandainya seorang buta tentu mudah ditipu.

Biarpun kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, namun keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga dia terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda. Baiknya pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang membuat kulitnya kebal sehingga biarpun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali. Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia sengaja menurut saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara "membonceng" seperti ini daripada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja ketika rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.

Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa bayar, memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya. Maka ketika pada sore hari itu rombongan Tiatjiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya.

Rombongan itu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumahrumah gubuk kecil terbuat daripada bambu, rumah orang-orang miskin. Juga rumah-rumah ini biarpun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu yang cukup berharga untuk dicuri orang? Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang lelah setelah tadi mengalami pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini.

Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.

"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!" Ban Kwan Tojin menjawab.

"Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera mengusahakan adanya penjabat-penjabat kecil di setiap dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."

Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang seperti juga orang-orang lain ternyata mempunyai ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orangorangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen? Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak perduli tempat tinggal siapapun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang.

Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang berkumpul di depan rumahnya. Sepasang matanya yang bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru, "Kuda bagus....... kuda bagus.......!"

"........... A Wan .......... A Wan ........" tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.

Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong. Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu di bagian punggung robek-robek semua, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam. Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat "membonceng" rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan dapat bertemu dengan dusun atau orang.

"Kasihan paman buta ........... lepaskan........... lepas...........!" Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.

"Anak baik...........!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.

"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan "tar! tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.

Anak itu menjerit dan lari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.

"Ampun, Tai-ya........... ampunkan kami ..........." Wanita itu memohon sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah, wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu dan pakaiannya rompang-ramping mukanya kotor penuh debu, ia menjadi makin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!

Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu menahan cambuknya, lalu terdengar orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk berkata perlahan, "Aiihh, cantik..........."

Lalu terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"

Si pemegang cambuk mengajukan kudanya mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.

"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."

"Tidak ..........." perempuan itu menangis.

"Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"

"Ampun, Tai-yin........... hamba........ hamba tidak bisa ..........."

"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.

"Anakmu berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak, tapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.

Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat, sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lain si pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong!

Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanan memegang tongkat erat-erat Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.

"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawai yang jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik.

Hemm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.

Souw Ki kaget dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.

"Kau........... kau siapakah? Siapa namamu ...........?"

"Namaku Kun Hong. Kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, malah dia pernah makan minum semeja dengan aku!"

Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguhpun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya. Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang dan dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya (baca cerita Rajawali Emas).

"Kau........... kau anak Hoa-san-pai........... putera ketua Hoa-san-pai.........?"

Dia bertanya gagap.

Kun Hong tersenyum, menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"

Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi ketika dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apalagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Adapun tentang wanita itu, ah, dia hanya isengiseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.

"Pergi ...........!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya. Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan kuda pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang rendah kepada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek, "Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh? Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"

Kun Hong menggerakkan tangannya dan sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan masih menempel di pergelangan tangan menyambar ke arah muka penjahat itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan, "Aduhh........... aduh........... mulutku........... gigiku rontok semua...........

aduh ........!" Dan dia membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh.

Kun Hong masih berdiri tak bergerak, kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang tongkat melintang di depan dada, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya. Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan agak berkerut kulit di antara kedua matanya.

"In-kong (tuan penolong)........... terima kasih atas budi In-kong yang telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak ..........." dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.

Kun Hong kaget mendengar suara ini dan cepat-cepat dia menarik kakinya lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.

"Jangan berlutut ............ jangan berlebihan, yang menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bangkitlah, Twa-so (kakak), aku tidak berani menerima penghormatan seperti ini."

Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.

"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, timbul pula keberaniannya setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.

"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, ibu sudah melarang tadi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita ..........."

"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya.

"Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"

Kun Hong tersenyum, membungkuk dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang. "Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"

"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi.......... Paman buta ..........."

"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."

"Tak usahlah, Twa-so, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku."

Kun Hong mencegah, dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.

"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan........... dan........... kau harus makan dulu ..........."

suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan, "In-kong, tak boleh kau menolak.

Kau telah menyelamatkan nyawa kami, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku........... aku tak mampu membalasnya.

Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu dan memberi hidangan sekedarnya ........... untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja........... ah, In-kong, selama hidupku aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"

Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, mari kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah ..........."

"A Wan ..........." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka. Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa, "Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusiamanusia baik.................."

"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong. Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya ia sudah merasa bingung apakah ia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan ia berjalan lebih dulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya. Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah.

Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya. "Mari silakan duduk, In-kong.

Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng.............." Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.

"Sini, Paman, sini duduklah......." Anak itu pun mempersilakannya. Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di alas tanah!

Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.

"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."

Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twa-so, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini..............

aku....... aku tidak perlu berganti pakaian."

Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."

"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata. Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu hanya satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana dia boleh pakai? Ah, dia mendapat akal. Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan dia mencuci dan menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai pakaiannya sendiri lagi dan mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyakbanyak, ia dapat memuaskan hati nyonya rumah.

Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi. "Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini, sebentar kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"

"Tapi.......... tapi........" Kun Hong berusaha membantah.

"Harap In-kong jangan menolak, biarpun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam ............"

Suara itu mengandung permohonan yang mutlak tak dapat dia bantah lagi.

"Tapi badanku kotor semua............. aku harus membersihkan badan dulu....... begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"

Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itupun tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu. Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tidak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.

"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.

"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.

"Siapa mereka, A Wan?" tanyanya.

"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga, penduduk dusun ini, Paman," jawab anak itu dengan singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang kepada penduduk dusun dan anehnya, tak seorang pun di antara mereka menegur anak ini!

Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat daripada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.

Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun.

Amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakapcakap tiba-tiba menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat. Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara." Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.

"............ perduli apa kau dengan urusan pribadiku? Kuberikan kepada siapa pun juga baju suamiku, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau.............

kau selalu mengganggu................ saudara misan yang durhaka!"

"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau memperdulikan. Semua ini karena aku ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Kalau tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, kulaporkan kepada Song-wang-we (hartawan Song)!"

Terdengar suara laki-laki memaki.

".............. pergi............! Pergi.......! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi.........!" Wanita itu berseru marah.

"Ibu...............! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.

"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur dan Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya.

Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya. Memang ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenal nya, tentu ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kong-cu (tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan, "Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong."

"Terima kasih............... terima kasih............. aku menyusahkan saja," kata Kun Hong dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya. Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan tempat itu.

setelah pakaiannya sendiri kering.

Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat daripada tanah lempung dan sepasang supit dari bambu, alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui." "A Wan!!" ibunya menegurnya.

"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku............... aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah."

Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi ......................."

"Minta? Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan men-curi lagi, ibu marah-marah," kata anak itu dengan suara manja.

Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan. Senja telah lewat dan ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang di sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

"Dia sudah tidur, Twa-so. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.

Sampai lama baru terjawab lirih. "....... di sini juga.......... disini juga napas panjang, tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah................ tempat kami duduk, makan dan tidur ................"

"Maaf, Twa-so, sejak tadi aku belum mendengar twa-ko (kakak) pulang. Ke manakah dia?"

Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia sudah.............. sudah tidak ada..................."

"Tidak ada? Ke mana ??" Kun Hong tidak menduga buruk.

"............. sudah meninggal dunia .......tiga bulan yang lalu .............."

"Ahhh.............!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu.

Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin.

Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin.

Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.

Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twa-so, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?"

Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."

Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.

"............... baru dua puluh tiga umurku.

Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, "Twa-so, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."

"............ kenapa...........? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya.............."

Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Twa-so, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun ............"

Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambit menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"In-kong ............. engkau juga begitu............?? Ah, kalau begitu..............

kau pukulkan tongkatmu itu kepadaku........ kau bunuh saja aku, In-kong ........... apa artinya hidup kalau semua orang....... juga kau yang kumuliakan........... memandang serendah itu kepadaku........? Kau bunuhlah aku............ kau bunuhlah."

Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri seperti patung serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu.............

ibu."

"In-kong.................. kau bunuhlah kami.............. biar terbebas kami daripada penderitaan ini ............."

Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis dan memeluki kedua kakinya.

"Kau salah sangka.............. kau salah mengerti........" katanya sambil duduk kembali. "Aku sama sekali tidak memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twa-so..............."

"In-kong............." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong. Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur dan mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.

"Tenanglah, duduklah Twa-so, dan mari kita bicara baik-baik."

Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya. "............. ohhh......... maafkan aku, In-kong ........."

Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan ibunya sekarang.

"Twa-so, agaknya kau tadi salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya.

Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang dengan kehadiranku di sini semalam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan daripada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twa-so!"

"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Apa perduli dengan omongan orang asalkan kita benarbenar bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnahfitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak perduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."

Kun Hong menarik napas panjang, makin kagum. Wanita ini biarpun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.

"Twa-so, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir............ akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau........... menikah lagi."

"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi............... mereka hanya ingin mempermainkan, In-kong. Aku tidak sudi....... apalagi Song-wangwe, aku tidak sudi, biar dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."

Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang seperti itu wataknya. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik karena cantiknya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu saja tidak semua laki-laki demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi sebagian besar laki-laki seperti itulah sifat dan wataknya.

"Susah kalau begitu. Twa-so, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"

"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu yang keparat membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu memperdengarkan kemarahan ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.

"Orang yang datang tadi? Hemm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twa-so?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar