"Susiok-couw..... (Kakek Paman Guru)!" serunya sambil meloncat mendekati. Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok sudah tak bergerak-gerak lagi, malah nafasnya sudah empas empis, tinggal satu-satu. Yo Wan kaget dan bingung, diguncang-guncangnya tubuh kakek itu, namun tetap tak dapat menyadarkannya. Alangkah kagetnya ketika dia mengguncang-guncang ini, dia melihat muka kakek itu agak biru dan tubuh bagian depan, dari leher sampai ke perut, terluka dengan guratan memanjang yang menghancurkan pakaiannya. Selagi dia dalam keadaan bingung sekali, dia mendengar di belakangnya suara orang mengaduh-aduh.
Cepat dia bangkit dan membalik. Dilihatnya orang itu pun mengerang kesakitan. Suaranya begitu mendatangkan iba, maka tanpa ragu-ragu lagi Yo Wan lalu menghampirinya, dan berlutut di dekatnya.
Orang itu muka hitam, matanya lebar, dilihat dari jauh tadi amat menakutkan, tetapi setelah dekat, sepasang mata yang agak biru itu ternyata mengandung sinar yang menyenangkan. Tanpa diminta, Yo Wan lalu membantu orang itu bangkit dan duduk. Terpaksa dia merangkul pundak orang asing ini karena begitu dilepaskan segera akan terguling kembali, begitu lemas dia. Orang asing itu mengedip-ngedipkan matanya, melirik ke arah tubuh Sin-eng-cu, lalu memandang kepada Yo Wan.
"Dia susiok-couwmu? Jadi, kau ini murid Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta?" Suaranya amat lemah, nafasnya terengah-engah, agak sukar bagi Yo Wan untuk dapat menangkap arti kata-kata yang kaku dan asing itu. Namun dia seorang bocah yang cerdik, maka dapat dia merangkai kata-kata itu menjadi kalimat yang berarti.
Yo Wan mengangguk, dan menjawab lantang, "Betul Locianpwe (Orang Tua Gagah). Mengapa Locianpwe bertempur dengan susiok-couw? Dia terluka hebat, apakah Locianpwe terluka?"
Sejenak orang asing itu memandang tajam. Yo Wan merasa betapa sinar mata dari mata yang kebiruan itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hatinya. Kemudian suara orang itu terdengar makin kaku dan agak keras, "Kau murid Kwa Kun Hong? Kau melihat kami bertempur? Mengapa kau sekarang menolongku? Mengapa kau tidak segera menolong susiok-couwmu yang pingsan itu?"
Diberondongi pertanyaan-pertahyaan ini, Yo Wan tidak menjadi gugup, karena memang dia tidak mempunyai maksud hati yang bukan-bukan. Semua yang dia lakukan adalah suatu kewajaran, tidak dibuat-buat dan tidak mengandung maksud sesuatu kecuali menolong. Maka tenang saja dia menjawab, "Sudah saya lihat keadaan susiok-couw, dia terluka dari leher ke perut, dia tidak bergerak lagi, saya tidak tahu bagaimana saya harus menolongnya. Karena Locianpwe saya lihat dapat bergerak dan bicara, maka saya membantu Locianpwe sehingga nanti Locianpwe dapat membantu saya, untuk menolong susiok-couw."
Sepasang mata itu masih menyorotkan sinar bengis. "Kau tadi melihat kami bertempur?"
Yo Wan mengangguk, tangannya masih merangkul pundak orang asing itu dari belakang, menjaganya agar jangan roboh terlentang.
"Jadi kau tahu bahwa aku adalah musuh susiok-couwmu, musuh gurumu?"
Yo Wan menggeleng kepala, pandang matanya penuh kejujuran.
"Kalau kami saling serang, tentu berarti kami saling bermusuhan. Kenapa kau tidak membantu susiok-couwmu, malah menolong aku? Hayo jawab, apa maksudmu? Aku musuh susiok-couwmu, aku datang untuk memusuhi gurumu. Nah, kau mau apa?"
Yo Wan mengerutkan kening. Orang asing ini kasar sekali, akan tetapi mungkin kekasarannya itu karena bahasanya yang kaku. "Locianpwe, saya tidak tahu urusannya, bagaimana saya berani turut campur? Suhu selalu berpesan agar supaya saya menjauhkan diri dari permusuhan-permusuhan, agar supaya saya jangan lancang mencampuri urusan orang lain, dan agar saya selalu siap menolong siapa saja yang patut ditolong, tanpa memandang bulu, tanpa pamrih untuk mendapat jasa. Saya lihat susiok-couw tak bergerak lagi, dan saya tidak tahu bagaimana harus menolongnya, maka saya segera membantu Locianpwe."
Sinar mata yang mengeras sekarang menjadi lunak kembali. Kumis di atas bibir itu bergerak-gerak. "Wah, suhumu hebat! Kau patut menjadi muridnya. Mana dia suhumu? Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?"
"Suhu tidak berada di sini, Locianpwe. Sudah lima tahun suhu pergi dari sini, ke Hoa-san. Yang berada di sini hanya saya seorang diri."
Mata yang kebiruan itu melotot, wajah itu berubah agak pucat. "Celaka benar.....! Heee, Sin-eng-cu, celakai Kwa Kun Hong tidak berada di sini!!"
Yo Wan menoleh dan melihat susiok-couwnya bergerak-gerak hendak bangkit, namun sukar sekali dan mengeluh panjang. "Maaf, Locianpwe, saya harus menolongnya."
Orang asing itu mengangguk dan sekarang dia sudah bersila, kuat duduk sendiri. Yo Wan melepaskan rangkulannya dan tergesa-gesa menghampiri Sin-eng-cu Lui Bok, cepat merangkul dan membangunkannya. Nafas kakek ini terengah-engah dan dia terkekeh senang melihat Yo Wan.
"Wah, kau kan bocah yang dulu itu? Kau masih di sini? Siapa namamu, aku lupa lagi."
"Teecu (murid) Yo Wan, Susiok-couw....."
"Ha..ha..ha, kau terus menjadi murid Kun Hong? Selama tujuh tahun ini?. Sin-eng-cu, kita akan mampus di sini. Pendekar Buta ternyata tidak berada di sini lagi."
Sin-eng-cu Lui Bok menggerakkan alisnya yang sudah putih. "Apa ?" la memandang Yo Wan. "Mana gurumu?"
"Susiok-couw, suhu dan subo telah pergi semenjak lima tahun yang lalu, pergi ke Hoa-san meninggalkan teecu seorang diri di sini. Tadi teecu sedang turun dari puncak untuk menyusul karena sudah terlalu lama suhu dan subo pergi."
"Lima tahun? Wah-wah, guru macam apa dia itu? Eh, Yo Wan, jadi kau menjadi muridnya hanya untuk dua tahun saja? Ha..ha..ha, kutanggung kau belum becus apa-apa. Murid Pendekar Buta yang sudah belajar tujuh tahun belum becus apa-apa. Ha..ha..ha, bukan main" Orang asing itu mencela dan mengejek.
Namun Sin-eng-cu tidak mempedulikannya. "Yo Wan, apakah suhumu pernah mengajar ilmu pengobatan kepadamu selama dua tahun itu?"
Yo Wan menggeleng kepalanya dan lagi-lagi orang asing itu yang mengeluarkan suara mengejek, "Sin-eng-cu, kau sudah terlalu tua, maka menjadi pikun. Lima tahun yang lalu anak ini paling-paling baru berusia delapan tahun. Dari usia enam sampai delapan tahun, mana bisa belajar ilmu pengobatan? He, tua bangka, umurmu hampir dua kali umurku. Apakah kau takut mampus? Tak usah takut, ada aku yang akan menemanimu ke alam halus"
Akan tetapi Sin-eng-cu sudah bersila dan diam saja, kakek ini sudah bersamadhi untuk menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh, mengobati lukanya. Dalam hal ini Yo Wan mengerti maka ia pun lalu mundur dan membiarkan kakek itu tanpa berani mengganggunya. Ketika dia menoleh, orang asing yang tadinya bicara sambil bergurau itu pun sudah meramkan mata bersamadhi.
Yo Wan pernah mendengar keterangan suhunya bahwa dengan hawa murni dalam tubuh yang sudah terlatih dengan samadhi, orang tidak hanya dapat memperkuat tubuh, namun juga dapat mencegah atau mengobati luka-luka sebelah dalam, maka dia maklum bahwa dua orang aneh ini sedang mengobati luka masing-masing, maka dia pun lalu duduk bersila, menanti dengan sabar.
Para pembaca cerita "Pendekar Buta" tentu mengenal dua orang ini. Dua orang tokoh besar yang sakti. Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang aneh yang suka merantau, dia adalah sute (adik seperguruan) dari Bu Beng Cu, mendiang guru Kwa Kun Hong. Tujuh tahun yang lalu dia meninggalkan puncak Liong-thouw-san ini, pergi merantau dengan burung rajawali emas menuju ke utara. Kakek aneh ini merantau ke bagian paling utara dari dunia, menjelajah daerah-daerah salju dan di tempat itulah burung rajawali emas yang sudah amat tua itu menemui kematiannya, tidak kuat menahan serangan salju yang dingin sekali.
Ketika kakek ini kembali ke Liong-thouw-san, di tempat ini dia berjumpa dengan Bhewakala. Orang asing ini adalah seorang pendeta yang sakti pula, tokoh dari barat, seorang pertapa di puncak Anapurna di Pegunungan Himalaya. Dia adalah seorang pendeta bangsa Nepal yang banyak melakukan perantauan di Tiongkok. Tujuh tahun yang lalu pernah dia bertanding dengan Kwa Kun Hong dan dikalahkan. Akan tetapi karena melihat sifat-sifat baik dari pendeta ini, Kun Hong tidak membunuhnya dan Bhewakala yang amat kagum terhadap Kun Hong ini berniat akan belajar lagi dan kelak mencari Kun Hong untuk diajak mengadu ilmu.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang berwatak aneh. Begitu bertemu, mereka tidak mau saling mengalah dan keduanya setuju untuk mengadu ilmu disitu. Mereka adalah orang-orang yang selain sakti, juga mempunyai pribadi yang baik. Tentu saja mereka tidak bermaksud mengadu ilmu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi setelah bertempur dengan hebat dari tengah malam sampai pagi, belum juga ada yang kalah atau menang. Akhirnya mereka setuju untuk mengeluarkan senjata dan menggunakan pukulan-pukulan yang dapat mendatangkan luka hebat.
"Takut apa dengan luka hebat?" kata Bhewakala ketika Sin-eng-cu menolak. "Bukankah Pendekar Buta berada di sini? Kalau seorang di antara kita terluka, dia pasti akan dapat menyembuhkan." Memang, di samping kepandaiannya yang amat tinggi, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga amat terkenal akan kepandaiannya mengobati. Dengan jaminan inilah Sin-eng-cu menerima tantangan Bhewakala dan bertempurlah mereka dengan lebih hebat lagi karena kini Bhewakala menggunakan cambuknya yang beracun sedangkan Sin-eng-cu mempergunakan pukulan-pukulan maut.
Dan seperti telah diketahui akibatnya, Sin-eng-cu terluka oleh cambuk, sebaliknya Bhewakala juga terkena pukulan yang mendatangkan luka dalam hebat sekali. Keduanya rebah, namun tidak putus asa karena mereka yakin bahwa Kun Hong akan dapat mengobati mereka. Dan mereka merasa lega di samping penasaran, bahwa keadaan mereka tetap seimbang, tiada yang kalah tiada yang menang!
Siapa sangka, Kun Hong tidak berada di situ! Hal ini berarti bahwa mereka akan mati, karena masing-masing cukup maklum bahwa luka yang diakibatkan oleh pukulan masing-masing itu tak mungkin dapat diobati kalau tidak oleh Kun Hong yang memiliki kepandaian luar biasa dalam hal pengobatan. Maka, seperti telah diberi komando, keduanya lalu cepat-cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menjaga agar luka itu tidak menjalar lebih hebat, setidaknya mereka dapat memperpanjang nyawa untuk tinggal lebih lama di dalam tubuh yang sudah terluka berat di sebelah dalam.
Kesabaran Yo Wan mendapat ujian pada saat itu. Sudah tiga jam lebih dia bersila di situ menanti. Tiba-tiba awan tebal menyelimuti tempat itu, menjadi halimun yang amat dingin. Pakaian Yo Wan basah semua, juga pakaian dan tubuh dua orang aneh itu. Namun, Bhewakala dan Sin-eng-cu tetap duduk bersila seperti patung, tidak bergerak-gerak. Berkali-kali Yo Wan merasa khawatir, jangan-jangan dua orang itu sudah menjadi mayat, pikirnya. Akan tetapi tiap kali dia menjamah tubuh mereka masih hangat, malah sekarang wajah mereka tidak segelap tadi.
Setelah lewat enam jam, matahari sudah naik tinggi dan halimun sudah terusir habis, dua orang itu membuka mata dan menarik nafas panjang. Malah keduanya saling pandang.
"Bagaimana, Sin-eng-cu?" Bhewakala bertanya sambil tertawa lebar.
"Hebat pukulan cambukmu, Bhewakala. Racun dapat kuhalau atau setidaknya kucegah untuk menjalar, akan tetapi-pukulanmu merusak pusat. Karena Kun Hong tidak berada di sini, tamatlah sudah riwayatku sebagai seorang ahli silat. Tiap kali aku mengerahkan Iweekang untuk mengeluarkan tenaga, pusarku terpukul dan kalau kupaksa, tentu aku akan mampus. Kau hebat! Dan bagaimana denganmu?"
Bhewakala menggeleng kepala. "Kau pun luar biasa. Pukulanmu meremukkan tulang iga. Hal ini masih tidak mengapa, akan tetapi menggetarkan pusat pengendalian tenaga Kundalini. Karena itu, tenagaku musnah dan mungkin akan dapat kembali sesudah minum obat dan berlatih sedikitnya sepuluh tahun! Hemmm, apa artinya bagi seorang seperti aku?"
Kini keduanya merasa menyesal, namun sudah terlambat. Ketika mereka menoleh dan melihat bahwa Yo Wan masih bersila tak jauh dari situ, mereka tercengang.
"Kau masih berada di sini?" Sin-eng-cu bertanya kaget.
Yo Wan mengangguk dan menghampiri kakek itu. "Ha..ha..ha, Sin-eng-cu, bocah ini hebatl Sayang bakat dan sifat begini baik tidak dipupuk oleh Pendekar Buta. Ha..ha..ha, Pendekar Buta, kali ini benar-benar kau telah buta, menyia-nyiakan anak orang begini rupa. Sin-eng-cu, kau menjadi saksi, selama hidup aku tidak suka menerima murid, akan tetapi kali ani aku ingin sekali meninggalkan kepandaianku kepada anak ini sebelum aku mampus."
Sin-eng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Yo Wan, lekas kau berlutut menghaturkan terima kasih kepada Bhewakala Locianpwe, untungmu baik sekali."
Yo Wan cepat berlutut di depan Bhewakala sambil berkata, suaranya nyaring dan tetap, "Saya menghaturkan banyak terima kasih atas maksud hati yang mulia dan kasih sayang Locianpwe kepada saya, akan tetapi saya tidak berani menerima menjadi murid Locianpwe, karena saya adalah murid suhu. Bagaimana saya berani mengangkat guru lain tanpa perkenan suhu?"
"Yo Wan, hal itu tidak apa-apa, ada aku di sini yang menjadi saksi!" kata Sin-eng-cu Lui Bok.
"Ha..ha..ha, anak baik, anak baik. Ini namanya ingat budi dan setia, teguh seperti gunung karang, tidak murka dan tamak! Eh, Yo Wan, siapakah orang tuamu?"
Yo Wan menggigit bibir, matanya dimeramkan untuk menahan keluarnya dua butir air mata. Pertanyaan yang tiba-tiba dan merupakan ujung pedang yang tnenusuk ulu hatinya. Sampai lama dia tidak tnenjawab, kemudian dia membuka mata dan berkata periahan, "Saya yatim piatu, Locianpwe...."
Kedua orang tua itu saling pandang, diam tak bersuara. Mereka itu sudah kenyang akan pengalaman pahit getir, perasaan mereka sudah kebal. Namun, membayangkan seorang bocah yang tinggal seorang diri di tempat sunyi itu bergulung dengan mega, tak ber-ayah ibu pula, benar-benar mereka merasa kasihan.
"Yo Wan, aku pun tldak bermaksud mengambil murid kepadamu, hanya ingin meninggalkan atau mewariskan kepandaianku saja. Gurumu tentu takkan marah."
"Mohon maaf sebesarnya, Locianpwe, Saya cukup maklum bahwa Locianpwe memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan hanya Tuhan yang tahu betapa ingin hati saya memilikinya. Akan tetapi, tanpa perkenan suhu, bagaimana saya berani menerimanya? Suhu adalah tuan penolong saya dan mendiang ibu saya, suhu adalah pengganti orang tua saya, harap Locianpwe maklum....."
suara Yo Wan tergetar saking terharu, dan kini tak dapat tertahan lagi olehnya, dua butir air matanya tergantung pada bulu matanya. Namun cepat dia menggunakan punggung kepalan tangannya mengusap air mata itu.
Tiba-tiba Sin-eng-cu tertawa bergelak dan suaranya terdengar gembira sekali ketika dia berkata, "He! Bhewakala pendeta koplok (goblok)! Dia seorang bocah yang tahu akan setia dan bakti, mana bisa dibandingkan dengan kau yang biarpun bertapa puluhan tahun dan belajar segala macam filsafat, kekenyangan pengetahuan lahirnya saja tanpa berhasil menyelami dan melaksanakan isinya sedikit pun juga? Lebih baik kita lanjutkan adu ilmu. Ingat, aku tua bangka belum kalah!"
"Huh, tua bangka tak tahu diri. Kau kira aku pun sudah kalah? Hayo kita pergunakan tenaga terakhir untuk mencari penentuan!" Bhewakala bangkit berdiri dengan susah payah, tapi berdirinya tidak tegak, punggungnya tiba-tiba menjadi bongkok dan dia meringis, menahan sakit. juga Sin-eng-cu tertatih-tatih bangkit berdiri, namun dia juga tidak bisa berdiri tegak, kedua kakinya menggigil seakan-akan tubuh atasnya terlalu berat bagi tubuh bawahnya.
Yo Wan bingung dan gugup sekali. "Susiok-couw...... Locianpwe...... ji-wi (Kalian) sudah terluka hebat, bagaimana mau bertempur lagi? Harap suka saling mengalah, harap sudahi pertempuran ini.....!" Yo Wan berdiri di antara mereka berdua dengan sikap melerai.
"Ha..ha..ha, cucuku. Orang-orang macam kami berdua ini hanya nafsunya saja besar tapi tenaganya kurang, malah sudah habis tenaganya! Jangan khawatir, kami tak mungkin dapat bertempur lagi, akan tetapi kami belum dapat menentukan siapa lebih unggul. He, Bhewakala, apa kau siap melanjutkan adu ilmu?"
"Boleh!" jawab Bhewakala dengan suara digagah-gagahkan. "Kalau belum ada yang kalah menang, tentu penasaran dan kelak kalau sama-sama ke alam baka, tak mungkin dapat melanjutkan pertandingan."
"Bagus, kau laki-laki sejati, seperti juga aku! Sekarang kita lanjutkan!"
"Majulah kalau kau masih kuat melangkah!" tantang Bhewakala.
"Ho..ho..ho, sombongnya si pendeta koplok! Apa kaukira aku tidak tahu bahwa kau pun tidak sanggup maju selangkah pun? Ha..ha..ha, tertiup angin pun kau akan roboh. Kita melanjutkan ilmu, bukan kepalan. Ada Yo Wan di sini, apa gunanya?"
Bhewakala tersenyum lebar, matanya yang besar itu berkedip-kedip. "Ha..ha..ha, kau benar, tua bangkotan. Ada Yo Wan, biarlah anak ini yang menjadi alat pengukur tingginya ilmu."
"Yo Wan, cucuku! Kau benar sekali, jangan sudi menjadi murid pendeta koplok ini! Kalau kau tadi mau menerimanya, aku yang tidak sudi, tidak memperbolehkan. Tapi kau tentu mau menjadi alat kami untuk mengukur kepandaian, bukan? Kau harus menolong kami, kalau tidak, kami berdua takkan dapat mati meram."
Yo Wan cepat berlutut di depan kakek itu. "Susiok-couw, tak usah diperintah, teecu tentu bersedia menolong Ji-wi. Katakanlah, apa yang harus teecu lakukan?"
Selagi Yo Wan berlutut itu, Sin-eng-cu bertukar pandang dengan Bhewakala dan saling memberi isyarat dengan kedipan mata. "Yo Wan, lebih dulu bawa kami ke puncak. Sanggupkah kau?"
"Akan teecu coba." Ia menghampiri Sin-eng-cu dan berkata, "Maaf, teecu akan menggendong Susiok-couw." Anak ini membungkuk di depan Sin-eng-cu, membelakanginya. Sin-eng-cu tidak sungkan-sungkan pula lalu menggemblok di punggung Yo Wan yang menggendongnya dan anak ini sendiri merasa heran, padahal tadinya dia meragu apakah dia akan kuat menggendong kakek itu. la terkejut dan diam-diam merasa girang sekali serta memuji kehebatan Susiok-couw ini, karena dia merasa yakin bahwa kakeknya ini tentu mempergunakan ginkang tingkat tinggi sehingga dapat membuat tubuhnya menjadi demikian ringannya! Dengan langkah lebar dan gerakan cepat dia lalu menyeberangi jurang melalui dua tambang, kemudian dia memanjat tangga tali itu ke atas puncak.
"Harap Susiok-couw beristirahat di sini lebih dulu, teecu akan menggendong Bhewakala Locianpwe ke sini."
"Yo Wan, apakah suhumu pernah mengajar Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas) kepadamu?" tiba-tiba kakek itu bertanya kepada anak yang sudah akan lari keluar kembali dari dalam pondok itu. Yo Wan berhenti, membalikkan tubuh dan menjawab dengan sinar mata tidak mengerti dan kepala digelengkan. Pertanyaan itu tak ada artinya bagi dirinya, akan tetapi mengingatkan dia akan burung rajawali emas yang dahulu pergi bersama kakek ini, maka dia cepat bertanya,
"Susiok-couw, mengapakah kim-tiauw (rajawali emas) tidak ikut pulang bersama Susiok-couw?"
"la sudah terlalu tua dan tidak kuat menghadapi hujan salju di utara, dia telah mati dan kukubur dalam tumpukan salju."
Yo Wan merasa menyesal sekaii sehingga untuk semenit dia diam saja termenung. Kemudian dia teringat akan tugasnya. "Teecu pergi dulu, hendak menjemput Bhewakala Locianpwe."
"Pergilah, tetapi kau harus waspada, siapa tahu pendeta Nepal itu di tengah jalan mencekik dan membunuhmu, ha..ha..ha!"
Yo Wah terkejut, akan tetapi hanya sejenak saja dia terpaku dan ragu-ragu, kemudian kakinya melangkah lebar dan dia sudah berlari ke luar, terus menuruni puncak itu dan menyeberangi jurang pertama. Bhewakala masih berada di situ, duduk bersila. Pendeta hitam ini tersenyum lebar ketika dia melihat Yo Wan.
"Kau sudah kembali?"
Yo Wan mengangguk, lalu membelakangi pendeta itu sambil berjongkok.
"Harap Locianpwe suka membonceng di punggung, tapi saya harap Locianpwe sudi mempergunakan kepandaian ginkang seperti Susiok-couw tadi, kalau tidak, saya khawatir tidak akan kuat menggendong Locianpwe."
Pendeta asing itu hanya mendengus, lalu merangkul pundak bocah ini dan menggemblok di punggungnya. Yo Wan bangkit berdiri dan diam-diam dia menjadi girang dan kagum. Kiranya pendeta ini pun amat sakti, ginkangnya hebat sehingga tubuhnya yang jauh lebih besar dan tinggi daripada susiok-couwnya juga terasa ringan, hanya sedikit lebih berat daripada tubuh kakek tadi. Ia mulai melangkah maju setengah berlari ke depan.
"Yo Wan, kenapa kau mau menolong aku, seorang asing yang tidak kaukenal?" tiba-tiba pendeta Nepal itu bertanya.
"Suhu berpesan kepada saya bahwa menolong orang tak boleh melihat Siapa dia, hanya harus dilihat apakah dia benar-benar membutuhkan pertolongan dan apakah kita dapat menolongnya. Locian-pwe terluka, perlu beristirahat, dan saya dapat membawa Locianpwe ke puncak untuk beristirahat di pondok kediaman suhu, kenapa saya tidak mau menolong Locianpwe?"
Diam-diam Bhewakala kagum, bukan saja oleh jawaban ini, juga melihat betapa bocah ini dapat menggendongnya sambil berjalan cepat dan ketika menjawab pertanyaannya, nafasnya tidak memburu, kelihatan enak saja. Ketika ia memandang ke arah kedua kaki bocah itu, dia terkejut. Bocah itu menggunakan langkah-langkah yang luar biasa, kadang-kadang berlari di atas tumit, kadang-kadang dengan kaki miring!
"He, kau menggunakan langkah apa ini?" tak tertahan lag Bhewakala bertanya nyaring.
Yo Wan menjadi merah mukanya. Karena selama lima tahun itu siang malam dia berlatih langkah-langkah Si-cap-it Sin-po, maka kalau dia berlari, tanpa dia sengaja kedua kakinya melakukan gerak langkah-langkah itu secara otomatis! "Bukan apa-apa, Locianpwe, saya lari biasa," jawabnya dan kedua kakinya kini berlari biasa.
Seperti juga dengan susiok-couwnya tadi, dia hendak membawa Bhewakala ke dalam pondok, akan tetapi pendeta Nepal ini tidak mau. "Turunkan saja aku di luar sini, aku lebih senang duduk di luar menikmati pemandangan alam yang amat hebat dan indah ini."
Yo Wan menurunkan pendeta itu di atas bangku di depan rumah dan Bhewakala duduk bersila di situ dengan wajah berseri gembira.
"Yo Wan! Pendeta koplok itu sudah datang? Hayo, bawa aku ke luar!" terdengar teriakan Sin-eng-cu dari dalam pondok.
Yo Wan berlari masuk dan tak lama kemudian kakek tua itu sudah digendongnya keluar. Sin-eng-cu minta diturunkan di atas sebuah batu halus yang memang dahulu menjadi tempat duduknya. la pun bersila diatas batu ini, kurang lebih lima meter jauhnya dari bangku yang diduduki Bhewakala.
"Sin-eng-cu, cucu muridmu ini benar-benar hebat, membuat aku gembira sekali!" kata Bhewakala.
"Betapa tidak? Kalau tidak hebat berarti ia bukan cucu muridku!" jawab Sin-eng-cu dengan nada suara bangga.
Yo Wan menjadi heran dan merasa malu. Yang hebat adalah mereka, pikirnya, biarpun sudah terluka hebat masih mampu mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka demikian ringannya ketika dia membawa mereka mendaki tangga tali tadi. Kalau tidak demikian, mana mungkin dia akan kuat? Anak ini sama sekali tidak tahu bahwa dua orang itu sama sekali tidak menggunakan ilmu untuk membuat tubuh mereka ringan. Hal ini tidak mungkin, apalagi mereka terluka hebat sehingga tak mampu mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang berhubungan dengan kekuatan di dalam tubuh.
Yang membuat dia merasa ringan ketika menggendong mereka bukan lain adalah karena kekuatan yang terkandung dalam tubuhnya sendiri. la telah melatih diri tujuh tahun dengan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kegesitan, di samping itu dia pun dengan amat tekun berlatih samadhi dan pernafasan. Hawa murni di dalam tubuhnya sudah terkumpul, maka dia dapat mengerahkan tenaga besar luar biasa yang membuat dia dapat menggendong kakek-kakek itu secara mudah!
"Yo Wan, kau tadi berjanji hendak menolong kami dua orang-orang tua. Apakah kau betul-betul suka menolong?" tanya Bhewakala dengan pandang mata penuh gairah.
"Betul, Yo Wan, kau harus menolong kami melanjutkan adu ilmu sampai terdapat keputusan siapa yang lebih unggul."
Yo Wan membungkuk, "Susiok-couw, teecu siap menolong dan membantu, akan tetapi teecu seorang anak yang bodoh, mana bisa menjadi perantara dalam adu ilmu? Bagaimana caranya?"
"Mudah saja asal kau mau menolong. He, Bhewakala pendeta hitam! Di dalam pondok ini terdapat empat buah kamar cukup untuk kita seorang sekamar. Kita lanjutkan adu ilmu. Kau tinggallah di kamar kiri, aku di kamar kanan, biar Yo Wan di kamar lain. Kau kuberi kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Beritahukan jurus penyeranganmu kepada Yo Wan, dan kalau dia sudah memperlihatkan jurus itu, aku akan menghadapi dengan jurus pertahananku, lalu balas menyerang dengan jurus istimewa. Dua jurus itu kuberitahukan kepada Yo Wan yang akan menyampaikannya kepadamu. Kau harus dapat memecahkannya dan boleh balas menyerang. Siapa yang tidak dapat memecahkan sebuah jurus serangan, dia itu harus mengakui keunggulan lawan. Bagaimana?"
"Setuju! Itulah yang kukehendaki. Hayo mulai sekarang juga!"
"Yo Wan, kau mendengar perjanjlan kami untuk mengadu ilmu? Maukah kau menolong, hanya menjadi perantara begitu?"
Yo Wan adalah seorang anak yang baru berusia tiga belas tahun. Apalagi dia kurang pengalaman, semenjak kecil berada di tempat sunyi mengejar ilmu dan bekerja, mana dia mampu menandingi kelihaian otak dua orang sakti ini? Secara tidak langsung, selain dua orang itu dapat memuaskan hati mencari keunggulan dalam ilmu silat, juga mereka ingin sekali menurunkan kepandaian masing-masing kepada bocah yang sudah menaklukkan hati dan cinta kasih mereka itu. Yo Wan menganggap mereka berdua ini kakek-kakek yang lucu dan aneh. Masak ada orang melanjutkan adu ilmu seperti itu? Seperti main-main saja.
Keduanya sudah terluka masih tidak mau terima, masih ingin melanjutkan terus, benar-benar gila, pikirnya.
"Kalau kau keberatan pun tidak apa," sambung Sin-eng-cu, "kami bisa merangkak turun saling menghampiri, kemudian saling cekik sampai mampus di sini!" sambil berkata demikian, Sin-eng-cu mengedipkan mata kepada Bhewakala.
"Jangan kira kau akan dapat mencekik leherku, Sin-eng-cu tua bangka bangkotan. Lebih dulu jari-jariku akan menusuk dadamu sampai bolong-bolong? Bhewakala mengancam, juga tersenyum dan mengedipkan mata pula.
"Jangan.....! Harap ji-wi jangan berkelahi terus. Baiklah, saya akan mentaati permintaan ji-wi, menjadi peran-tara. Akan tetapi saya harap ji-wi betul-betul menghentikan adu ilmu ini kalau seorang di antara ji-wi ada yang tidak sanggup memecahkan sebuah jurus. Sekarang harap ji-wi sudi menanti sebentar, saya hendak menyediakan makanan."
Tanpa menanti jawaban, Yo Wan lalu menuju ke ladang, memetik sayur-mayur, membawanya ke dapur dan memasak sayur-mayur dan ubi kentang. Pandai dia memasak setelah berlatih lima tahun selama ini dan di situ tersedia lengkap pula bumbu-bumbu yang dia tukar dari penduduk dusun dengan hasil ladangnya.
Di luar, tanpa sepengetahuan Yo Wan, dua orang kakek itu berunding. Karena mereka amat suka kepada Yo Wan dan maklum pula bahwa keadaan tubuh mereka sudah cacad akibat pertandingan semalam, agaknya tak mungkin dapat tertolong lagi karena Kwa Kun Hong tidak berada di situ. Maka mereka mengambil keputusan Untuk menurunkan ilmu-ilmu mereka yang paling iihai kepada Yo Wan.
"Jangan kau terlalu bernafsu merobohkan aku," kata Sin-eng-cu, "Kita turunkan dahulu jurus-jurus yang pernah kita mainkan malam tadi sehingga masing-masing tentu sudah mengenalnya dan dapat memecahkannya. Setelah itu, barulah kita bertanding betul-betul, mengeluarkan jurus-jurus baru yang harus dapat dipecahkan."
Bhewakala menyetujui usul kakek bekas lawannya ini. Setelah masakan sayur-mayur matang dan dihidangkan oleh Yo Wan, mereka bertiga makan dengan tenang dan lahap. Kemudian dua orang sakti itu minta diantar ke kamar masing-masing dan mulai hari itu juga, Yo Wan menjadi perantara pertandingan yang aneh ini.
Mula-mula dia harus menghafal dan menggerakkan sebuah jurus yang diturunkan oleh Bhewakala dan oleh karena jurus ini harus dipergunakan untuk menyerang, tentu saja Yo Wan diharuskan dapat memainkannya dengan baik. Pada hari-hari pertama, amatlah sukar bagi anak ini untuk menghafal dan mainkan jurus-jurus itu, karena jurus yang diturunkan itu adalah jurus ilmu silat tingkat tinggi yang sukarnya bukan main.
Andaikata dia belum diberi dasar Ilmu Si-cap-it Sin-po, yaitu langkah-langkah ajaib yang sudah mengandung inti sari dari semua jenis langkah dalam persilatan, agaknya dia tidak mungkin mampu melakukan gerakan jurus yang diturunkan oleh dua orang sakti ini. Jurus pertama yang diturunkan Bhewakala, baru dapat dia lakukan setelah dia latih selama dua minggu! Memang mengherankan bagi yang tidak tahu, akan tetapi kalau diingat syarat-syaratnya, memang berat. Dalam setiap gerak dalam jurus ini, imbangan tubuh harus tepat bahkan keluar masuknya nafas juga harus disesuaikan dengan setiap gerak!
Biarpun Yo Wan belum dapat menikmati dan membuktikan sendiri kegunaan ilmu silat karena selama belajar di situ belum pernah dia menggunakan ilmu silat untuk bertempur, tetapi mengingat sukarnya jurus ini, dia mengira bahwa Sin-eng-cu tentu akan menjadi bingung dan tidak mudah memecahkannya. Jari tengah dan telunjuk kanan menusuk mata diteruskan dengan siku kanan menghantam jalan darah di bawah telinga, dibarengi pukulan tangan kiri pada pusar yang disusul lutut kaki kanan menyodok arah kemaluan kemudian dilanjutkan tendangan kaki kanan sebagai gerak terakhir. Sebuah jurus yang "berisi" lima gerak serangan berbahaya! Bhewakala menamakan jurus ini Ngo-houw-lauw-yo (Lima Harimau Mencari Kambing), sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya yang paling lihai ketika dia bertapa di Gunung Himalaya, yaitu ilmu silat yang dinamainya Ngo-sin-hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti).
Akan tetapi alangkah herannya ketika Sin-eng-cu menyambut jurus yang dia mainkan di depan kakek ini dengan tertawa bergelak. "Ha..ha..ha..ha..ha! Pendeta koplok! Jurus cakar bebek beginian dipamerkan di depanku? Wah, terlalu gampang untuk memecahkannya!" Yo Wan hanya memandang dengan kagum dan diam-diam dia pun girang karena ternyata susiok-couwnya ini tidak kalah lihainya oleh Bhewakala. Sudah tentu saja dalam adu ilmu yang luar biasa ini sedikit banyak dia berpihak kepada Sin-eng-cu dan mengharapkan kemenangan bagi kakek ini, karena betapapun juga kakek ini adalah paman guru dari suhunya.
"Awas, dengarkan dan lihat baik-baik gerak tanganku. Sekaligus aku akan patahkan daya serang jurus cakar bebek ini." Dengan gerak tangan dan keterangan yang lambat dan jelas Sin-eng-cu mengajarkan jurusnya.
"Menghadapi serangan seorang berilmu seperti Bhewakala, kita harus bersikap waspada dan jangan mudah terpancing oleh gerak pertama, karena semua jurus ilmu silat tinggi selalu menggunakan pancingan dan makin tersembunyi gerak pancingan ini akan lebih baik. Gerak pertama menyerang anggota tubuh bagian atas jangan dihadapi dengan perhatian sepenuhnya, melainkan harus dielakkan sambil menanti munculnya gerak susulan yang merupakan gerak inti. Serangan tangan kanan ke arah mata dan leher, kita hadapi dengan merendahkan tubuh sehingga tusukan mata dan serangan siku kanan lewat di atas kepala. Serangan pukulan tangan kiri pada pusar kita tangkis dengan tangan kanan dan apabila dia berani menggunakan lututnya, kita mendahului dengan pukulan sebagai tangkisan ke arah sambungan lutut. Inilah jurusku yang menghancurkan jurus Bhewakala itu, kunamai jurus Lo-han-pai-hud (Kakek Menyembah Buddha)."
Jurus ini dilatih oleh Yo Wan dengan susah payah, apalagi karena segera disusul jurus kedua yang merupakan serangan balasan dari Sin-eng-cu, yaitu jurus yang disebut Liong-thouw-coan-po (Kepala Naga Terjang Ombak). Dua buah jurus ini adalah jurus-jurus dari ilmu silat ciptaan kakek ini yang dia beri nama Liong-thouw-kun (ilmu Silat Kepala Naga) atau ilmu silat dari Liong-thouw-san tempat dia bertapa di bekas kediaman mendiang kakak seperguruannya, Bu Beng Cu.
Untuk dua buah jurus ini Yo Wan menggunakan waktu dua puluh hari. Ia bangga sekali terhadap kakek itu dan mengira bahwa Bhewakala tentu akan repot menghadapi Liong-thouw-coan-po. Eh, kembali dia tercengang dan kecewa karena pendeta Nepal ini terkekeh-kekeh. memandang rendah sekali jurus serangan balasan Sin-eng-cu ini. "Uwaha..ha..ha..ha..tua bangka bangkotan itu sudah gila kalau mengira bahwa jurusnya monyet menari ini bisa menggertak aku. Lihat baik-baik jurusku yang akan memecahkan rahasianya dan sekali ini dengan jurus seranganku yang kedua, dia pasti akan mati kutu!" Kakek pendeta Nepal ini lalu mengajarkan dua buah jurus lain yang lebih sulit dan aneh lagi.
Demikianlah, setiap hari, siang malam hanya berhenti kalau mengurus keperluan mereka bertiga, makan dan tidur, Yo Wan melayani mereka berdua silih-berganti. Mula-mula memang setiap jurus harus dia pelajari sampai hafal baru dapat dia mainkan setelah tekun mempelajarinya sampai beberapa hari, apalagi makin lama jurus-jurus yang dikeluarkan dua orang sakti itu makin sukar. Akan tetapi setelah lewat tiga bulan, dia mulai dapat melatihnya dengan lancar, dan dapat menyelesaikan setiap jurus dalam waktu sehari saja!
Yo Wan tidak hanya harus menghafal dan dapat mainkan jurus-jurus ini untuk dimainkan di depan kedua orang sakti itu, tetapi karena tingkat itu makin tinggi, terpaksa dia harus menerima latihan siulian (samadhi), pernafasan dan cara menghimpun tenaga dalam tubuh.
"Tanpa mempelajari Iweekang dahulu, tak mungkin kaumainkan jurus ini," demikian kata Bhewakala dan karena dia sudah berjanji untuk membantu kedua orang itu menjadi perantara dalam adu ilmu, terpaksa Yo Wan tidak membantah dan mempelajari Iweekang yang aneh dari kakek Nepal ini. Demikian pula, dengan alasan yang sama, Sin-eng-cu menurunkan latihan Iweekang yang lain dan untuk latihan ini Yo Wan, mengalami kelancaran karena Iweekang dari kakek ini sejalan dengan apa yang dia pelajari dari suhunya.
Tanpa terasa lagi, tiga tahun telah lewat! Ngo-sin-hoan-kun (Ilmu Silat Lima Lingkaran Sakti) dari Bhewakala yang berjumlah lima puluh jurus itu telah dia mainkan semua. Demikian pula Liong-thouw-kun dari Sin-eng-cu Lui Bok yang berjumlah empat puluh delapan jurus. Bukan ini saja, dengan alasan bahwa ilmu pukulan tangan kosong tak dapat menentukan kemenangan. Bhewakala menurunkan ilmu cambuk yang dapat dimainkan dengan pedang. Karena ilmu pedang ini pun berdasar pada Ngo-sin-hoan-kun, maka tidak sukar bagi Yo Wan untuk menghafal dan memainkannya. Sebagai imbangannya, Sin-eng-cu juga menurunkan ilmu pedangnya.
Pada bulan kedua dari tahun ketiga, Sin-eng-cu yang keadaannya sudah amat payah saking tuanya dan juga karena kelemahan tubuhnya akibat pertempuran tiga tahun yang lalu, menurunkan jurus yang tadinya amat dirahasiakan.
"Yo Wan..... Bhewakala hebat memang. Tapi coba kauperlihatkan jurus ini dan dia pasti akan kalah. Jurus itu disebut Pek-hong-ci-tiam (Bianglala Putih Keluarkan Kilat), jurus simpananku yang tak pernah kupergunakan dalam pertandingan karena amat ganas. Coba..... bantu aku berdiri, jurus ini harus kumainkan sendiri, baru kau dapat menirunya. Ke sinikan pedangmu....." Yo Wan yang tadinya berlutut menyerahkan pedangnya, pedang dari kayu cendana yang sengaja dibuat untuk perang adu ilmu itu, sambil membantu kakek yang sudah tua renta itu bangkit berdiri.
Diam-diam Yo Wan menyesal sekali mengapa kakek yang tua ini begini gemar mengadu ilmu. Sudah sering kali selama tiga tahun itu dia membujuk-bujuk mereka untuk menghentikan adu ilmu, namun sia-sia belaka. Namun sebenarnya, di balik semua itu, ia pun mulai merasa senang sekali dengan pelajaran jurus-jurus itu.
"Nah, kaulihat baik-baik..... ." Kakek itu menggerakkan pedang kayu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram dari atas. Memang gerakan yang amat hebat dan dahsyat. Bahkan kakek yang sudah kehabisan tenaga itu, ketika mainkan jurus tersebut kelihatan menyeramkan. Terdengar suara bercuitan dari pedang kayu dari tangan kirinya kemudian..... kakek itu roboh terguling.
"Susiok-couw.....!" Yo Wan cepat menyambar tubuh kakek itu dan membantunya duduk sambil menempelkan telapak tangannya pada punggung kakek itu dan menyalurkan hawa murni sesuai dengan ajaran Sin-eng-cu.
"Sudah..... eh, balk sudah..... uh-uh-uh..... tua bangka tak becus aku ini..... Yo Wan, sudahkah kau dapat mengerti jurus tadi?"
Yo Wan mengangguk, dan maklum akan watak kakek ini, seperti biasa setelah kakek itu duduk bersila, dia mengambil pedang kayu dan mainkan jurus tadi. Suara bercuitan lebih nyaring terdengar, dan kakek itu berseru gembira, tapi nafasnya terengah-engah.
"Bagus, bagus! Nah, kalau sekali ini pendeta koplok itu dapat memecahkan jurusku Pek-hong-ci-kiam, dia benar-benar patut kaupuja sebagai gurumu!" Dengan nafas terengah-engah kakek itu lalu melambaikan tangan, mengusir Yo Wan keluar dari kamarnya untuk segera mendemonstrasikan jurus itu kepada lawannya.
Dengan hati sedih karena ketika meraba punggung tadi dia tahu bahwa kakek itu keadaannya amat payah, Yo Wan meninggalkan kamar, langsung memasuki kamar Bhewakala. Keadaan pendeta Nepal ini tidak lebih baik daripada Sin-eng-cu Lui Bok. la pun amat payah karena selain kekuatan tubuhnya makin mundur akibat luka dalam, juga dia harus mengerahkan tenaga dan pikiran setiap hari untuk mengajar Yo Wan. Ketika Yo Wan memasuki kamarnya dan mainkan jurus Pek-hong-ci-tiam, dia terkejut sekali dan sampai lama dia bengong saja, menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian mengeluh.
"Hebat..... Sin-eng-cu Lui Bok hendak mengadu nyawa...."
Akan tetapi selanjutnya dia termenung, kedua tangannya bergerak-gerak menirukan gerak jurus itu, bicara perlahan seorang diri, mengerutkan kening dan akhirnya menggeleng kepala seakan-akan pemecahannya tidak tepat. la memberi isyarat dengan tangan supaya Yo Wan keluar dari kamarnya, pemuda ini lalu mengundurkan dir dan masuk ke kamar sendiri karena waktu itu malam sudah agak larut.
Menjelang fajar, Yo Wan kaget mendengar suara Bhewakala memanggil namanya. la bangun dan cepat menuju ke kamar pendeta itu. Pintu kamarnya terbuka dan pendeta itu duduk di atas pembaringan. Cepat dia maju menghampiri.
"Yo Wan, jurus Sin-eng-cu ini hebat! Tak dapat aku menangkis atau mengelaknya....." katanya dengan suara lesu.
Diam-diam Yo Wan menjadi girang. Akhirnya Sin-eng-cu yang menang, seperti yang dia harapkan. "Kalau begitu, Locianpwe menyerah....." katanya perlahan.
Mata yang lebar itu melotot. "Siapa menyerah? Karena Sin-eng-cu hendak mengadu nyawa, apa kaukira aku tidak berani? Jurus itu memang tidak dapat kutangkis atau kuhindarkan, akan tetapi dapat kuhadapi dengan jurusku yang istimewa pula. Mungkin aku mati oleh jurusnya, tetapi dia pun pasti mampus kalau melanjutkan serangannya. Kau lihat baik-baik!"
Bhewakala lalu mengajarnya sebuah jurus sebagai imbangan dari Pek-hong-ci-tiam. Kemudian pendeta itu menyuruh Yo Wan mainkan cambuk dengan jurus itu. Hebat bukan main jurus ini. Cambuk melingkar-lingkar di udara kemudian melejit ke empat penjuru dengan suara nyaring sekali. "Tar-tar-tar-tar-tar!" Terjangan cambuk ini diiringi gempuran tangan kiri yang penuh dengan tenaga dalam ke arah pusar lawan.
"Cukup! Lekas kauperlihatkan kepada Sin-eng-cu," kata Bhewakala setelah dia merasa puas dengan gerakan Yo Wan. Pemuda ini keluar dari kamar Bhewakala memasuki kamar Sin-eng-cu. Waktu itu matahari telah naik agak tinggi, akan tetapi lampu di dalam kamar kakek ini masih menyala.
"Susiok-couw, Locianpwe Bhewakala tidak dapat memecahkan Pek-hong-ci-tiam, akan tetapi menghadapi jurus itu dengan jurus penyerangan pula, seperti ini," kata Yo Wan sambil mainkan cambuk yang memang sengaja dibawanya ke dalam kamar itu. Cambuknya melejit-lejit dan tangan kirinya mengeluarkan angin yang mematikan lampu di atas meja ketika dia mainkan jurus itu.
Akan tetapi setelah dia berhenti mainkan jurus ini, Sin-eng-cu tidak memberi komentar apa-apa. Kakek itu tetap duduk bersila dengan tangan kanan terkepal di atas pangkuan, telentang, dan tangan kiri diangkat ke depan dada jari-jari tengah terbuka dan telapak tangan menghadap keluar.
"Susiok-couw, bagaimana sekarang...?" Yo Wan menegur lagi sambil maju mendekat dan berlutut.
"Susiok-couw.....!" la berseru agak keras sambil berdongak memandang. Kakek itu masih duduk bersila dengan mata meram. Ketika Yo Wan melihat sikap yang tidak wajar ini, berubah air mukanya. Dirabanya kepalan tangan kanan di atas pangkuan itu dan dia menarik kembali tangannya. Kepalan itu dingin sekali. Dirabanya lagi nadi, tidak ada denyutan. Kakeknya itu seperti orang tidur tanpa bernafas.
"Susiok-couw.....!"
Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya, "Dia sudah mati. Ah, Sin-eng-cu, kau benar-benar hebat. Dengan jurus terakhir itu kau telah mengalahkan aku. Aku mengaku kalah!"
Yo Wan menoleh dengan heran. Bhewakala sudah berdiri di situ dan biarpun kelihatannya masih amat lemah, kiranya pendeta ini sudah dapat berjalan dengan ringan sehingga dia tidak mendengar kedatangannya. Akan tetapi dia segera menghadapi Sin-eng-cu lagi, berlutut dan memberi hormat sebagaimana layaknya sambil berkata, "Harap Susiok-couw sudi mengampuni teecu yang tidak mampu menolong Susiok-couw yang terluka sehingga hari ini Susiok-couw meninggal dunia." la tidak dapat menangis karena memang dia tidak ingin menangis.
"Yo Wan, orang selihai dia mana bisa mati karena luka pukulanku? Seperti juga pukulannya, mana bisa membikin mati aku? Kami berdua hanya terluka yang akibatnya melenyapkan tenaga dalam karena pusat pengerahan sinkang di tubuh kami rusak akibat pukulan. Tanpa pukulanku, hari ini dia akan mati juga, kematian wajar dari usia tua."
Bhewakala maju menghampiri kakek yang masih duduk bersila itu, lalu tiba-tiba pendeta Nepal ini memeluknya. "Sin-eng-cu, tua bangka.....terima kasih. Belum pernah selama hidupku merasa begitu senang dan gembira seperti selama tiga tahun kita mengadu ilmu ini. Kau hebat, sahabatku, kau hebat. Jurusmu terakhir tak dapat kupecahkan, biarlah sisa hidupku akan dapat kupergunakan untuk memecahkan jurus itu agar kelak kalau kita bertemu kembali, dapat kumainkan di depanmu....."
Pendeta ini lalu membaringkan tubuh Sin-eng-cu. Tangan dan kaki kakek itu sudah kaku, tetapi begitu disentuh Bhewakala pada jalan darah dan sambungan-sambungan tulang yang membeku itu, bagian-bagian tubuh kakek itu lemas kembali dan dapat ditelentangkan. Kemudian pendeta hitam ini berpaling kepada Yo Wan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak heran. Memang seorang yang aneh dan luar biasa pendeta hitam ini, pikirnya.
"Yo Wan, kau adalah murid Pendekar Buta akan tetapi tak pernah menerima warisan ilmu silatnya kecuali pelajaran langkah-langkah yang tiada artinya dalam menghadapi lawan. Kau bukan murid kami namun kau telah mewarisi inti sari dari ilmu silat kami berdua. Memang lucu. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dalam hatiku, aku menganggap kau murid tunggalku dan aku selalu menanti kunjunganmu ke Anapurna di Himalaya. Selamat tinggal, muridku." Setelah berkata demikian, Bhewakala berjalan ke luar dari pondok itu, wajahnya muram seakan-akan kegembiraannya lenyap bersama nyawa Sin-eng-cu.
Yo Wan tiba-tiba merasa dirinya amat kesunyian. Yang seorang menjadi mayat, yang seorang lagi telah pergi. Kembali dia hidup seorang diri di tempat sunyi itu. Namun dia segera dapat menguasai perasaannya. la bukan kanak-kanak lagi. Ketika suhu dan subonya pergi, delapan tahun yang lalu, dia baru berusia delapan tahun lebih. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda, enam belas tahun usianya seperti dikatakan Sin-eng-cu beberapa hari yang lalu. Tadinya dia sendiri tidak tahu berapa usianya kalau saja bukan Sin-eng-cu yang menghitungnya. Seorang jejaka. Jaka Lola, tidak hanya yatim piatu, akan tetapi juga tiada sanak-kadang. Di dunia ini hanya ada suhu dan subonya, akan tetapi kedua orang itu sudah pergi meninggalkannya sampai delapan tahun tanpa berita.
Dengan hati berat Yo Wan mengubur jenazah Sin-eng-cu di belakang pondok. la tidak tahu bagaimana harus menghias kuburan ini, maka dia lalu mengangkuti batu-batu besar yang dia taruh berjajar di sekeliling kuburan. la masih belum sadar bahwa kini dia dapat mengangkat batu-batu yang demikian besarnya, tidak tahu bahwa setiap batu yang diangkatnya dengan ringan itu sedikitnya ada seribu kati beratnya!
"Aku harus menyusul suhu dan subo ke Hoa-san." Pikiran inilah yang pertama-tama memasuki kepalanya. Teringat akan niatnya pergi menyusul ke Hoa-san tiga tahun yang lalu, dia merasa menyesal sekali. Mengapa dia dahulu tidak jadi menyusul? Kalau tiga tahun yang lalu dia sudah pergi ke Hoa-san, tentu saat ini dia sudah berada bersama suhu dan subonya.
Akan tetapi, dia teringat lagi betapa dua orang kakek yang mengadu ilmu itu membuat dia betah, malah selama tiga tahun ini dia tidak merasa rindu kepada suhu dan subonya, juga membuat dia tak pernah meninggalkan puncak karena kedua orang itu melarangnya. Biarpun bumbu-bumbu habis, mereka tidak membolehkan dia turun puncak, dan sebagai pengganti bumbu-bumbu itu, Bhewakala menyuruh dia mengambil bermacam-macam daun di puncak yang ternyata dapat mengganti bumbu dapur.
Dengan pakaian penuh tambalan Yo Wan turun dari puncak. Cambuk Bhewakala yang ditinggalkan oleh pendeta itu dia gulung melingkari pinggangnya, tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan dan tidak karuan potongannya. Juga pedang kayu buatan Sin-eng-cu yang dipakai untuk bermain jurus di depan Bhewakala, dia bawa pula, dia selipkan di balik ikat pinggang.
Berangkatlah Yo Wan si Jaka Lola meninggalkan puncak Liong-thouw-san, berangkat dengan hati lapang dan penuh harapan untuk segera bertemu kembali dengan dua orang yang amat dikasihi, yaitu suhu dan subonya. la tidak sadar sama sekali, betapa dirinya kini telah mengalami perubahan hebat berkat latihan Iweekang menurut ajaran Sin-eng-cu dan Bhewakala, betapa dirinya selain memiliki tenaga sinkang yang hebat juga telah memiliki berbagai ilmu silat tingkat tinggi yang tidak mudah didapat orang!
Ketika penduduk sekitar kaki gunung yang sudah mengenalnya melihat Yo Wan, mereka segera menegur dan mempersilakan dia singgah. Mereka menyatakan penyesalan mengapa pemuda itu selama tiga tahun ini bersembunyi saja. Malah yang mempunyai kelebihan pakaian segera memberi beberapa buah celana dan baju kepada Yo Wan ketika dilihatnya betapa pakaian pemuda ini penuh tambalan. Yo Wan, menerima dengan penuh syukur dan terima kasih. la sendiri tidak ingin suhu dan subonya marah dan malu melihat dia berpakaian seperti jembel itu. Segera dia menukar pakaiannya dan kini biarpun pakaiannya sederhana dan terbuat dari kain kasar, tetapi cukup rapi dan tidak robek, juga tidak ada tambalan menghiasnya.
* * *
Yo Wan melakukan perjalanan seperti seorang yang linglung. Dia seperti seekor anak burung yang baru saja belajar terbang meninggalkan sarangnya. Semenjak usia delapan tahun, dunianya hanya puncak Bukit Liong-thouw-san dan perkampungan sekitar kaki gunung. Biarpun di waktu kecilnya dia pernah melihat kota dan tempat-tempat ramai, namun selama delapan tahun dia seakan mengasingkan diri di puncak gunung. Dan sekarang, melakukan perjalanan melalui kota-kota dan dusun-dusun yang ramai, dia seperti seorang dusun yang amat bodoh. Bangunan-bangunan besar mengagumkan hatinya. Melihat banyak orang membuat dia bingung. Apalagi ilmu membaca dan menulis. la seorang buta huruf yang melakukan perjalanan melalui tempat-tempat yang asing baginya, tanpa kawan tiada sanak kadang, tanpa bekal uang di saku!
Akan tetapi kekurangan-kekurangan ini sama sekali tidak membuat Yo Wan menjadi khawatir atau susah. Semenjak kecil dia sudah tergembleng oleh segala macam kesulitan hidup. Biarpun masih muda, jiwanya sudah matang oleh asam garam dan pahit getir kehidupan, membuatnya tenang dan dapat menghadapi segala macam keadaan dengan tabah.
Tidak sukar baginya untuk mengatasi kekurangannya dalam perjalanan. Kadang-kadang dia hanya makan buah-buahan dan daun-daun muda di dalam hutan untuk berhari-hari. Ada kalanya dia makan dalam sebuah kelenteng bersama hwesio-hwesio yang baik hati dan yang tetap membagi hidangan sayur-mayur sekedarnya tanpa daging itu kepada Yo Wan. Tentu saja Yo Wan belum mau pergi meninggalkan kelenteng sebelum dia melakukan sesuatu, mencari air, menyapu lantai, membersihkan meja sembahyang dan lain pekerjaan untuk membalas budi. Kadang-kadang orang dusun atau kota ada yang mau menerima bantuan tenaganya untuk ditukar dengan makan sehari itu.
Dengan cara demikian, Yo Wan melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya jalan menuju ke Hoa-san. la berlaku hati-hati sekali, selalu menjauhkan diri dari keributan, dan tak pernah dia memperlihatkan kepada siapapun juga bahwa dia memiliki tenaga luar biasa dan kepandaian yang tinggi. Yo Wan sendiri sebetulnya belum mengerti betul bahwa dia telah mewarisi inti sari kepandaian dua orang kakek berilmu sungguhpun dia mengetahui bahwa dia memiliki tenaga dan keringanan tubuh yang melebihi orang lain. Oleh karena inilah maka dia sama sekali tidak mempunyai keinginan mencari dan membalas musuhnya, The Sun, sebelum dia bertemu dengan suhunya dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari gurunya itu.
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, akhirnya pada suatu pagi sampai juga dia di kaki Gunung Hoa-san. Dengan hati berdebar tegang dia berdiri memandang ke arah puncak gunung itu, sebuah gunung yang tinggi dan hijau, tidak liar seperti Gunung Liong-thouw-san. Membayangkan pertemuan dengan suhu dan subonya setelah berpisah selama delapan tahun, mendatangkan rasa haru dan membuatnya termenung di situ dengan jantung berdebar-debar.
Betapapun juga, dalam kegembiraan ini, ada rasa tidak enak di hatinya, rasa bahwa dia adalah seorang tamu di Hoa-san. Suhu dan subonya sendiri terhitung tamu di situ, bagaimana dia akan dapat merasa di rumah sendiri? Berpikir begitu, timbul kegetiran. Mengapa suhunya membiarkan saja dia bersunyi sampai delapan tahun di Liong-thouw-san? Mengapa gurunya itu tidak kembali?
Ya, mengapakah? Mengapa Kun Hong dan Hui Kauw tidak kembali ke Liong-thouw-san sampai delapan tahun lamanya, membiarkan murid mereka itu seorang diri saja di puncak gunung yang sunyi. Apakah terjadi sesuatu yang hebat atas diri mereka?
Sebetulnya tidak terjadi sesuatu yang buruk. Tak lama setelah Kun Hong dan Hui Kauw tiba di Hoa-san, Hui KauW melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Tentu saja peristiwa ini mendatangkan kegembiraan luar biasa di Hoa-san. Oleh kakeknya, anak itu diberi nama Kwa Swan Bu.
Ketua Hoa-san-pai sekarang adalah Kui Lok yang berjuluk Kui-san-jin, seorang tokoh Hoa-san-pai yang paling lihai karena dia dan isterinya (Thio Bwee) adalah sepasang suami isteri yang mewarisi ilmu Silat Hoa-san-pai yang paling tinggi. Suami isteri ini memimpin Hoa-san-pai, dibantu oleh suhengnya bernama Thian Beng Tosu (Thio Ki) dan Lee Giok, dan diawasi oleh kakek Kwa Tin Siong dan isterinya. Kwa Tin Siong sudah amat tua dan sudah bosan mengurus Hoa-san-pai, maka dia dan isterinya menyerahkan tugas ini kepada Kui-san-Jin dan mereka sendiri tekun bertapa.
Kedatangan putera tunggal mereka, Kwa Kun Hong dan isterinya, tentu saja menggirangkan hati kedua orang tua ini, apalagi setelah isteri Kun Hong melahirkan seorang putera, kebahagiaan suami isteri tua ini menjadi sempurna. Perlu diketahui bahwa tokoh-tokoh Hoa-san-pai tidak ada yang mempunyai keturunan laki-laki kecuali Kwa Kun Hong seorang.
Thian Beng Tosu hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Thio Hui Cu yang sudah menikah dengan Tan Sin Lee putera Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai. Juga Kui-san-jin hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Kui Li Eng yang sudah menikah pula dengan Tan Kong Bu, putera lain lagi dan Raja Pedang Tan Beng San. Semua ini dapat dibaca dalam cerita Rajawali Emas dan dan Pendekar Buta.
Karena tidak ada keturunan laki-laki di Hoa-san, tentu saja lahirnya Kwa Swan Bu amat menggirangkan hati Kakek Kwa. Juga Thian Beng Tosu dan Kui san jin ketua Hoa-san-pai amat girang. Orang-orang tua inilah yang minta dengan sangat kepada Kun Hong dan istrinya agar suami isteri itu tidak kembali ke Liong-thouw-san, setidaknya menanti kalau Swan Bu sudah besar.
Amat tidak baik membiarkan seorang anak laki-laki bersunyi d puncak bukit dengan kedua orang tuanya saja, kata Kwa Tin Siong kepada putera dan mantunya "Ia akan tumbuh besar dalam kesunyian, kurang bergaul dengan sesama manusia. Di Hoa san pai ini adalah tempat tinggalmu sendiri sejak kau kecil, Kun Hong. Oleh karena itu sebaiknya kau membiarkan puteramu tinggal di sini pula. Di sini merupakan keluarga Hoa san pai yang besar, dan puteramu tentu akan menerima kasih sayang dari semua orang. Juga aku dan ibumu sudah tua, biarkanlah kami menikmati hari-hari akhir kami dengan cucu kami Swan Bu."
Inilah yang membuat Kun Hong dan isterinya tak dapat meninggalkan Hoa-san. Kun Hong berunding dengan isterinya tentang Yo Wan. Hui Kauw yang tentu saja menimpakan kasih sayang seluruhnya kepada puteranya, menyatakan bahwa Yo Wan tentu akan menyusul ke Hoa-san.
"Bukankah dahulu kau sudah meninggalkan pesan bahwa dia harus menyusul ke Hoa-san kalau dalam waktu dua tahun kita tidak pulang? Dia sudah besar, tentu dapat mencari jalan ke sini. Pula, hal ini amat perlu bagi dia. Murid kita harus menjadi seorang yang tabah dan tidak gentar menghadapi kesukaran."
Kun Hong setuju dengan pendapat isterinya ini. Akan tetapi hatinya gelisah juga setelah lewat dua tahun, bahkan sampai lima tahun, murid itu tidak datang menyusul ke Hoa-san.
"Jangan-jangan ada sesuatu terjadi di sana?" Kun Hong menyatakan kekhawatirannya.
"Atau dia memang tidak ingin ikut dengan kita di sini," Hui Kauw berkata, keningnya berkerut. Diam-diam la merasa tidak senang mengapa Yo Wan tidak mentaati perintah suaminya. Seorang murid harus mentaati perintah guru, kalau tidak, dia bukanlah murid yang baik, "Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan Yo Wan. Kalau dia datang menyusul, berarti dia suka menjadi murid kita, kalau tidak, terserah kepadanya. Lebih baik kita melatih anak kita sendiri."
Demikianlah, setelah lewat delapan tahun, suami isteri ini sudah melupakan murid mereka yang mereka kira tentu sudah pergi dari Liong-thouw-san dan tidak mau ikut mereka di Hoa-san. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa murid mereka itu selama ini tak pernah meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan sama sekali mereka tidak pernah menduga bahwa pada pagi hari, orang muda tampan sederhana yang berdiri termenung di kaki Gunung Hoa-san adalah Yo Wan.
Yo Wan amat kagum melihat keadaan Gunung Hoa-san. Alangkah jauh bedanya dengan Liong-thouw-san. Gunung ini benar-benar terawat. Tidak ada bagian yang liar. Hutan-hutan bersih dan penuh pohon buah dan kembang. Sawah ladang terpelihara, ditanami sayur-mayur dan pohon obat. Malah jalan yang cukup lebar dibangun, memudahkan orang naik mendaki gunung.
Derap kaki kuda dari sebelah kanan terdengar, diiringi suara ketawa yang nyaring, ketawa kanak-kanak. Yo Wan mengangkat kepala memandang ke sebelah kanan dan dia menjadi kagum sekali. Ada tiga orang penunggang kuda. Kuda mereka adalah kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan nampak kuat. Akan tetapi bukan binatang-binatang itu yang mengagumkan hati Yo Wan, melainkan penunggangnya yang berada di tengah-tengah, di antara dua orang penunggang kuda.
Penunggang kuda ini adalah seorang anak laki-laki yang kelihatannya belum ada sepuluh tahun usianya. Seorang anak laki-laki yang amat tampan, yang pakaiannya serba indah, kepalanya ditutupi topi sutera yang bersulam kembang dan terhias burung hong dari mutiara. Anak laki-laki itu pandai sekali menunggang kuda dan pada saat itu dia menunggang kuda tanpa memegang kendali, karena kedua tangannya memegangi sebuah gendewa dan beberapa batang anak panah. Dua orang yang mengiringi anak ini adalah dua orang laki-laki berusia empat puluhan, dandanannya seperti tosu dan kelihatannya amat mencinta anak itu.
"Ji-wi Susiok (Dua Paman Guru), lihat, burung yang paling gesit akan kupanah jatuh!"
"Swan Bu...... jangan.....! Itu bukan burung walet....." Seorang di antara kedua tosu itu mencegah. Akan tetapi anak itu sudah mengeprak kudanya dengan kedua kakinya yang kecil. Kudanya lari congklang dengan cepat ke depan Dengan gerakan yang tenang namun cepat anak itu sudah memasang dua batang anak panah pada gendewanya, dan menarik tali gendewa, terdengar suara menjepret dan Yo Wan melihat seekor burung kecil melayang jatuh di dekat kakinya. Ia merasa kasihan sekali melihat burung itu, sebatang anak panah menembus dada. Burung kecil berbulu kuning amat cantik. Yo Wan menekuk lutut, membungkuk untuk mengambil bangkai burung itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan Tahu-tahu sebuah tangan yang kecil telah mendahuluinya, menyambar bangkai burung itu.
Yo Wan berdiri dan melihat anak kecil yang pandai main anak panah tadi telah berdiri di depannya, bangkai burung di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. "Eh, kau mau curi burungku? Burung ini aku yang panah jatuh, enak saja kau mau mengambilnya. Hemmm, kau orang dari mana? Mau apa berkeliaran di sini?"
Yo Wan tertegun. Anak ini masih kecil, akan tetapi sikapnya amat gagah dan berwibawa, sepasang matanya tajam penuh curiga, akan tetapi juga membayangkan watak tinggi hati. la tahu bahwa dia berada di tempat orang, karena Gunung Hoa-san tentu saja menjadi wilayah orang-orang Hoa-san-pai. Dengan senyum sabar dia menjura dan berkata.
"Aku tidak bermaksud mencuri, hanya kasihan melihat burung ini....."
Sementara itu, dua orang tosu juga sudah melompat turun dan kuda dan menghampiri. "Swan Bu, kau terlalu. Ilmu,memanah yang kau pelajari bukan untuk membunuh burung yang tidak berdosa. Kalau ayah bundamu tahu, kau tentu akan mendapat marah," tegur seorang tosu.
"Susiok, apakah urusan begini saja Susiok hendak mengadu kepada ayah dan ibu Kalau tidak melatih memanah burung kecil terbang, mana bisa mahir? Anggap saja burung ini seorang penjahat. Susiok, orang ini mencurigakan, aku belum pernah melihatnya. Jangan-jangan dia pencuri".
Dua orang tosu itu memandang Yo Wan. Tosu kedua segera menegur, "Orang muda, kau siapakah? Agaknya kau bukan orang sini .. eh, apalagi kau pemuda yang hendak bekerja sebagai tukang mengurus kuda di Hoa-san? Kemarin kepala kampung Lung-ti-bun menawarkan tenaga seorang pemuda tukang kuda....."
Yo Wan menggeleng kepala. Dia sejak kecil tinggal di gunung, tentu saja tidak tahu akan tata susila umum, dan gerak-geriknya agak kaku dan kasar. "Aku bukan tukang kuda, akan tetapi kalau Lo-pek (Paman Tua) suka memberi pekerjaan, aku mau mengurus kuda, asal mendapat makan setiap hari."
Entah bagaimana, melihat anak laki-laki yang sombong dan yang dia tahu tentu anak Hoa-san-pai ini, tiba-tiba hati Yo Wan menjadi tawar untuk bertemu dengan suhunya. Bukankah suhunya itu putera Hoa-san-pai dan sekarang mondok di situ? Bagaimana kalau orang-orang Hoa-san-pai memandang rendah kepadanya dan tidak suka mengangkatnya sebagai murid Pendekar Buta? Lebih baik dia menjadi tukang kuda dan tidak usah "mengaku" sebagai murid gurunya agar tidak merendahkan nama gurunya. Dengan pekerjaan ini, dia hendak melihat gelagat, melihat dulu suasana di Hoa san-pai sebelum mengambil keputusan untuk menghadap suhunya.
"Baik, kau boleh bekerja menjadi pengurus kuda. Setiap hari kau harus mencari rumput yang segar dan gemuk untuk dua belas ekor kuda, memberi makan dan menyikat bulu kuda. Tidak hanya makan, kau juga akan diberi pakaian dan upah. Eh, siapa namamu? Di mana rumahmu?"
"Namaku A Wan, Lopek, dan aku tidak mempunyai rumah. Terima kasih atas kebaikanmu, aku akan merawat kuda dengan baik-baik".
"Bekerjalah dengan baik, ketua kami tentu akan menaruh kasihan kepadamu. Jangan sekali-kali suka mencuri, apalagi melarikan kuda," kata tosu kedua.
"Susiok, kenapa takut dia mencuri dan lari? Kalau dia jahat, anak panahku akan merobohkannya!"
"Hush, Swan Bu, jangan bicara begitu ...."
"Aku paling benci penjahat, Susiok, tiap kali melihat penjahat, pasti akan panah mampus. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan basmi semua penjahat di permukaan bumi ini."
Hemmm, bocah manja dan amat besar mulut, pikir Yo Wan. Heran sekali dia mendengar omongan seorang anak kecil seperti itu. Anak siapa gerangan bocah ini? Apakah anak ketua Hoa-san-pai? Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, karena nanti pun dia akan tahu sendiri. ....
"Swan Bu kita pulang berlari sambil melatih ilmu lari cepat," kata tosu pertama kepada anak itu. "Biar tiga ekor kuda ini dituntun naik oleh A Wan. A Wan, kau tuntun kuda tiga ekor kuda ini ke puncak, sampai di sana bawa ke kandang, gosok badannya sampai kering dari keringat dan beri makan." Setelah berkata demikian, tosu itu memberikan kendali tiga ekor kuda itu kepada A Wan, kemudian dia mengajak tosu kedua dan Swan Bu untuk berlari cepat. Mereka berkelebat dan seperti terbang mereka lari mendaki gunung. Memang tosu itu sengaja tidak memberi penjelasan karena hendak menguji kecerdikan kacung kuda itu, apakah mampu dan dengan baik mengantar binatang-binatang itu ke kandang ataukah tidak. la masih ragu-ragu melihat pemuda yang bodoh itu.
Adapun Yo Wan sambil memegangi kendali tiga ekor kuda, melihat mereka berlari-lari cepat. Biasa saja kepandaian mereka itu, pikirnya, lalu dituntunnya tiga ekor kuda mendaki gunung. Sambil berjalan perlahan, dia bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan bocah yang bernama Swan Bu itu. Bocah tampan dan bersemangat, memiliki dasar watak yang gagah dan pembenci penjahat, tetapi rusak oleh kemanjaan dan kesombongan. Pertemuannya dengan anak laki-laki tadi membuat Yo Wan makin tidak enak lagi hatinya. la merasa bahwa orang-orang Hoa-san-pai kurang bijaksana, terbukti dari watak bocah tadi yang agaknya terlalu manja.
Heran dia mengapa suhunya yang jujur dan budiman, subonya yang berwatak halus dan penuh pribudi itu bisa tinggal di situ sampai bertahun-tahun. Akan tetapi dia teringat lagi bahwa suhunya adalah putera ketua Hoa-san-pai, tentu saja harus berbakti kepada orang tua, dan orang dengan watak sehalus subonya, tentu dapat menghadapi segala macam watak dengan penuh kesabaran. la menarik nafas. Dasar kau sendiri yang iri agaknya melihat bocah tadi demikian manja, pakaiannya demikian indah, dia mencela diri sendiri.
Betapapun juga, Yo Wan adalah seorang pemuda yang masih remaja dan kurang sekali pengalaman, kurang pula pendidikan, maka rasa iri itu adalah wajar. Iri karena dia tidak pernah merasa bagaimana dicinta orang tua, dimanja orang tua. la teringat akan keadaan sendiri, seorang jaka lola yang tidak punya apa-apa di dunia ini. Alangkah jauh bedanya dengan Swan Bu tadi, bagai bumi dan langit.
Selagi dia melamun sambil menuntun kudanya di jalan yang cukup lebar tapi menanjak itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang dan disusul bentakan nyaring, "Minggir.....! Minggir.....!!" Lalu terdengar bunyi cambuk di udara.
Kalau saja A Wan tidak sedang melamun, agaknya dia tidak begitu kaget dan dapat menuntun tiga ekor kuda itu ke pinggir. Akan tetapi bentakan nyaring ini seakan-akan menyeretnya tiba-tiba dari dunia lamunan, membuat dia kaget dan tak sempat menguasai seekor di antara kudanya yang kaget dan melonjak ke tengah jalan. Karena dua ekor kuda yang lain juga melonjak-lonjak ketakutan, terpaksa Yo Wan hanya menenangkan dua ekor yang masih dia pegang kendalinya, sedangkan yang seekor telah terlepas kendalinya dan kini berloncatan di tengah jalan. Pada saat itu, dua orang penunggang kuda sudah datang membalap dekat sekali. Yo Wan berteriak kaget, karena kudanya yang mengamuk itu tidak menghindar, malah meloncat dan menubruk ke arah seorang di antara penunggang-penunggang kuda itu.
"Setan.....!" Penunggang kuda yang ditubruk itu memaki, dia seorang laki-laki yang berkumis panjang, berusia kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi sepatunya baru dan mengkilap. Sambil memaki, dia menggerakkah kakinya, menendang ke arah perut kuda yang menubruknya.
"Krakkk!" Tendangan itu keras sekali dan mendengar bunyinya, agaknya tulang-tulang rusuk kuda yang menubruknya itu telah ditendang patah. Kuda itu meringkik, terjengkang ke belakang lalu roboh dan berkelojotan, tak mampu bangun lagi.
"Wah-wah-wah, Sute (Adik seperguruan), kau telah membunuh seekor kuda Hoa-san-pai!" tegur orang kedua, usianya hampir lima puluh, rambutnya putih semua digelung ke atas, mukanya licin tanpa kumis, pakaiannya juga penuh tambalan seperti orang pertama.
"Habis, apakah aku harus membiarkan kuda itu menubrukku, Suheng? Salahnya bocah ini, menuntun kuda kurang hati-hati!" Mereka berdua melompat turun dari kuda dan memandang kepada Yo Wan.
Bukan main kagetnya hati Yo Wan melihat betapa seekor di antara tiga kuda yang dia tuntun itu kini telah berkelojotan hampir mati di tengah jalan. Baru saja dia diterima menjadi kacung kuda, sudah terjadi hal ini. Karena kaget dan bingung, dia segera berkata,
"Kau membunuh kudaku. Hayo ganti kudaku!
Si kumis tersenyum. "Bocah, ketahuilah. Aku dan suhengku ini adalah dua orang utusan dari Sin-tung-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti). Urusan kuda adalah urusan kecil, tak perlu kau ribut-ribut."
"Urusan kecil bagaimana?" Yo Wan berteriak. "Mungkin kecil untuk kau, akan tetapi amat besar bagiku. Kau harus mengganti kuda ini!"
Muka si kumis menjadi merah. la heran sekali. Biasanya, orang-orang Hoa-san-pai tentu akan bersikap hormat kalau mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Sin-tung-kai-pang. Akan tetapi bocah ini, tentu hanya seorang anak murid yang masih rendah, sama sekali tidak menghormat, malah agak kasar sikap dan bicaranya.
"Kau siapa? Apakah kuda ini bukan milik Hoa-san-pai?" tanya si kumis.
"Memang kuda Hoa-san-pai, dan aku adalah kacung kuda yang baru. Bagaimana aku harus pulang kalau kuda yang kutuntun berkurang seekor? Lopek, kau harus menggantinya!" Sambil berkata demikian, Yo Wan menuntun dua ekor kudanya di tengah jalan, menghadang perjalanan karena dia khawatir kalau dua orang itu akan melarikan diri.
Si kumis menjadi makin merah mukanya karena marah ketika mendengar bahwa bocah ini hanya seorang kacung kuda saja. Seorang kacung kuda bagaimana berani bersikap sekasar itu terhadap dia, anak murid Sin-tung-kai-pang yang sudah bersepatu baru? Di perkumpulan pengemis ini terdapat peraturan yang aneh. Tingkat seseorang ditandai dengan sepatu. Yang terendah tidak memakai sepatu, yang lebih tinggi memakai alas kaki, makin tinggi makin baik, dan sandal kayu sampai sepatu kulit yang mengkilap seperti yang dipakai oleh kedua orang penunggang kuda ini. Maklumlah, mereka berdua adalah murid-murid dari ketua Sin-tung-kai-pang, maka kepandaiannya sudah amat tinggi, demikian juga "pangkatnya" karena memakai sepatu baru.
"Hemmm, bujang rendah! Kau hanya tukang kuda, banyak cerewet. Urusan seekor kuda saja kau ribut-ribut! Minggir! Biar nanti kubicarakan dengan orang-orang Hoa-san-pai tentang kuda ini, kau boleh pulang ke kandangmu!"
"Betul kata-kata, Suteku, bocah tukang kuda, jangan kau takut. Biar nanti kami bicarakan urusan kuda ini dengan majikanmu," sambung orang kedua yang rambut putih.
"Tidak!" Yo Wan membantah karena dia takut kedua orang ini akan mengadu kepada ketua Hoa-san-pai dan membalikkan duduk perkaranya sehingga dia yang akan dipersalahkan. "Kau harus ganti sekarang juga!"
"Bujang rendah, kaubuka matamu baik-baik dan lihat dengan siapa kau bicara!" bentak si kumis, marah sekali.
"Aku sudah melihat, kalian adalah dua orang pengemis aneh."
Dua orang itu tertawa. Memang aneh orang-orang dari Sin-tung-kai-pang. Kalau orang lain menyebut mereka pengemis, hal itu berarti suatu penghormatan bagi mereka! Inilah sebabnya mereka menjadi senang mendengar Yo Wan menyebut mereka pengemis aneh dan hal ini mereka anggap bahwa Yo Wan menyadari siapa mereka dan takut.
"Bocah! Kaulihat sepatu kami!"
Yo Wan mendongkol juga. Orang ini terlalu menghinanya, akan tetapi dia memandang juga ke arah sepatu mereka. "Ada apa dengan sepatu kalian? Sepatu baru, akan tetapi penuh debu!" jawabnya.
"Ha..ha..ha, anak baik, kau mengenal sepatu baru kami!" Si kumis tertawa senang. "Hayo kaubersihkan debu sepatu kami, dan nanti kami akan minta kepada majikanmu agar kau jangan dihukum karena kelalaianmu menuntun kuda."
Yo Wan menegakkan kepalanya, memandang tajam. "Harap kalian tidak main-main. Aku pun tidak ingin main-main dengan kalian. Lebih baik sekarang kautinggalkan seekor di antara kudamu untuk mengganti kudaku yang mati, baru kalian melanjutkan perjalanan."
"Apa.....??" Dua orang itu berteriak kaget, heran dan juga marah. "Kau ini kacung kuda berani bicara begitu kepada kami? Kami adalah dua orang utusan terhormat dari Sin-tung-kai-pang, tahu? Minggir dan jangan banyak cerewet kalau kau tidak ingin mampus seperti kuda itu!"
Yo Wan adalah seorang yang memiliki watak suka merendah, hal ini terbentuk oleh keadaan hidupnya semenjak kecil. la suka mengalah dan mempunyai rasa diri rendah dan bodoh, akan tetapi betapapun juga, dia adalah seorang muda yang berdarah panas. Melihat sikap dan mendengar ucapan menghina itu, kesabarannya patah.
"Biarpun kalian utusan dari Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sekalipun, karena kau membunuh kudaku, kau harus menggantinya!"
Dua orang itu mencak-mencak saking marahnya. Kalau saja mereka tidak ingat bahwa kacung itu adalah seorang bujang Hoa-san-pai dan bahwa mereka berada di wilayah Hoa-san-pai, tentu sekali pukul mereka membikin mampus bocah ini.
"Sute, jangan layani dia, Dorong minggir!"
Si kumis tertawa dan melangkah maju mendekati Yo Wan, tangan kirinya mendorong pundak pemuda itu sambil membentak, "Tidurlah dekat bangkai kudamu!" la menggunakan tenaga setengahnya karena tidak ingin membunuh Yo War, hanya ingin membuat kacung itu terjengkang dekat bangkai kuda tadi.
Akan tetapi dia salah besar kalau mengira bahwa dengan hanya sebuah dorongan seperti itu saja dia akan mampu merobohkan Yo Wan. Tangannya mendorong pundak Yo Wan yang sengaja tidak mau mengelak, akan tetapi tenaga dorongannya bertemu dengan pundak yang kokoh kuat seperti batu karang. Jangankan membuat kacung itu roboh, membuat pundak itu bergoyang saja tidak mampu!
"Kau ganti kudaku yang mati kata Yo Wan tanpa bergerak.
Si kumis terheran, penasaran lalu timbul kemarahannya. "Kau kepala batu", bentaknya dan kini dia menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong dada Yo Wan.
Yo Wan tidak mau mengalah sampai dua kali, apalagi sekarang yang didorong adalah dadanya. Tak mungkin dia mau membiarkan dadanya didorong orang karena hal ini berbahaya. Selama tiga tahun, terus-menerus siang malam dia bermain silat menurut petunjuk Sin-eng-cu dan Bhewakala, ilmu silat tingkat tinggi yang membuat ilmu itu mendarah daging di tubuhnya dan di pikirannya, seluruh panca inderanya sudah matang sehingga segalanya bergerak secara otomatis, karena memang demikianlah kehendak dua orang sakti itu.
Sekarang, menghadapi dorongan kedua tangan si kumis ke arah dadanya, secara otomatis kaki Yo Wan melangkah dengan gerak tipu Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po, yang dia warisi dari Pendekar Buta. Ketika tubuh si kumis yang mendorongnya itu lewat dekat tubuhnya, otomatis pula tangannya bergerak ke punggung dan pantat. Seperti sehelai layang-layang putus talinya, tubuh si kumis itu "melayang" ke depan dan memeluk bangkai kuda yang tadi ditendangnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar